Kasus pembantaian ratusan warga Indonesia
di Rawagede oleh prajurit Belanda terus bergulir. Setelah pengadilan
Belanda memutuskan para korban mendapat kompensasi, sekarang muncul
peristiwa lain.
Sebuah surat tanpa nama pengirim tiba di tangan Komite Utang
Kehormatan Belanda(KUKB) di Belanda. Surat tidak disampaikan lewat pos,
melainkan diberikan seseorang yang mengaku menerima dari seorang veteran
perang Belanda di Indonesia.
Isinya menunjukkan sebuah guratan penyesalan seorang tentara Belanda yang diduga ikut dalam proses pembunuhan warga Rawagede. Seberapa jauh surat ini orisinil, tidak ada yang tahu. Sang penyampai, dan sang penulis, tetap ingin tidak diketahui.
Berikut isi suratnya:
Isinya menunjukkan sebuah guratan penyesalan seorang tentara Belanda yang diduga ikut dalam proses pembunuhan warga Rawagede. Seberapa jauh surat ini orisinil, tidak ada yang tahu. Sang penyampai, dan sang penulis, tetap ingin tidak diketahui.
Berikut isi suratnya:
Wamel Rawa Gedeh
Nama saya tidak bisa saya sebutkan, tapi saya bisa ceritakan kepada Anda apa yang sebenarnya terjadi di desa RAWA GEDEH.
Nama saya tidak bisa saya sebutkan, tapi saya bisa ceritakan kepada Anda apa yang sebenarnya terjadi di desa RAWA GEDEH.
Anda
tahu, antara tahun 1945 – 1949, kami mencoba merebut kembali jajahan
kami di Asia Tenggara. Untuk itu dari tahun 1945 sampai 1949, sekitar
130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang
Indonesia. Di sana terjadi berikut ini:
Di Jawa Barat, timur Batavia, di daerah Krawang, ada desa Rawa Gedeh. Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.
Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)
Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati.
JUMLAHNYA RATUSAN.
Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Rawa Gedeh telah menerima 'pelajarannya'.
Semua lelaki ditembak mati – kami dinamai 'Angkatan Darat Kerajaan'.
Semua perempuan ditembak mati – padahal kami datang dari negara demokratis.
Semua anak ditembak mati – padahal kami mengakunya tentara yang kristiani
Pekan adven 1947
Sekarang saya siang malam teringat Rawa Gedeh. Itu membuat kepalak saya sakit dan air mata saya terasa membakar mata. Terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka terbelalak, ketakutan dan tak faham.
Saya tidak bisa menyebut nama saya, karena informasi ini tidak disukai kalangan tertentu.
Tapi mungkin dari Wamel, justru dari Wamel, akan muncul inisiatif.
Saya tidak tahu bagaimana.
Parsifal
*Wamel merupakan sebuah desa di propinsi Gerderland, Belanda Timur. Desa ini pada tanggal 20 September 1944 diserbu tentara Jerman. 14 warga sipil tewas dibunuh secara keji oleh tentara Jerman. Sekarang di sana dibangun monumen peringatan. Uniknya di antara nama-nama yang tercantum pada monumen, terdapat satu nama satu korban kekejaman perang di Hindia Belanda.
www.republika .co.id
Di Jawa Barat, timur Batavia, di daerah Krawang, ada desa Rawa Gedeh. Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.
Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)
Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati.
JUMLAHNYA RATUSAN.
Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Rawa Gedeh telah menerima 'pelajarannya'.
Semua lelaki ditembak mati – kami dinamai 'Angkatan Darat Kerajaan'.
Semua perempuan ditembak mati – padahal kami datang dari negara demokratis.
Semua anak ditembak mati – padahal kami mengakunya tentara yang kristiani
Pekan adven 1947
Sekarang saya siang malam teringat Rawa Gedeh. Itu membuat kepalak saya sakit dan air mata saya terasa membakar mata. Terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka terbelalak, ketakutan dan tak faham.
Saya tidak bisa menyebut nama saya, karena informasi ini tidak disukai kalangan tertentu.
Tapi mungkin dari Wamel, justru dari Wamel, akan muncul inisiatif.
Saya tidak tahu bagaimana.
Parsifal
*Wamel merupakan sebuah desa di propinsi Gerderland, Belanda Timur. Desa ini pada tanggal 20 September 1944 diserbu tentara Jerman. 14 warga sipil tewas dibunuh secara keji oleh tentara Jerman. Sekarang di sana dibangun monumen peringatan. Uniknya di antara nama-nama yang tercantum pada monumen, terdapat satu nama satu korban kekejaman perang di Hindia Belanda.
www.republika .co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar