Senin, 19 September 2011

Ketidakadilan Sikap Terhadap Libya dan Palestina

Setelah dipenuhi berita tentang memburuknya ekonomi Uni Eropa, berita tentang peringatan 1dekade tragedi 911, dan meluasnya kontrol NTC (Dewan Transisi Libya) merebut wilayah – wilayah yang dikontrol loyalis Khaddafi, pemberitaan internasional mulai terfokus pada perdebatan status Palestina di PBB. Dari hari ke hari mendekati pelaksanaan Sidang Majelis Umum PBB / SMU PBB (19 September 2011), silih berganti perubahan isu tentang siapa saja negara yang akan mendukung keanggotaan penuh Palestina dalam PBB.

Makin dekat pelaksanaan SMU PBB, Perancis dan Inggris mulai terbelah dalam isu Palestina. Inggris dikabarkan beralih mendukung keinginan Palestina menjadi anggota penuh di PBB. Sementara Perancis masih berusaha menjalankan rencana yang sama seperti AS, yaitu memveto. Rusia dan China sejak lama mendukung keberadaan Palestina mendapat keanggotaan penuh di PBB. Jerman cenderung mendukung posisi veto AS karena beban moral terhadap Yahudi, padahal negara – negara anggota tidak tetap DK PBB lainnya memilih mendukung Palestina. Sikap Brasil yang secara resmi mendukung posisi Palstina, disinyalir akan mendorong makin banyak negara berkembang makin menunjukkan kesediaan mendukung Palestina.

Amat ironis jika kita membandingkan nasib Palestina dengan nasib Libya. Dibandingkan puluhan tahun perjuangan Palestina yang tak kunjung diakui seluruh dunia sebagai suatu negara (utamanya AS dan negara – negara Eropa), tapi hanya sekitar 1 tahun eksistensi NTC sudah cukup membuat AS dan negara – negara Eropa mengakui sebagai pengganti rezim Khaddafi dalam keanggotaan PBB. Hal ini ironisnya, mungkin diantara kita pun tak menyadari, bahwa NTC akan secara resmi menggantikan rezim Khaddafi dalam keanggotaan PBB melalui SMU PBB, jalur yang sama yang dijalankan Palestina.

Apakah kita selalu harus menyangkut – pautkan penolakan keanggotaan penuh bagi Palestina di PBB hanya karena Israel ? Apakah kita bisa mengharapkan Joseph Deiss yang akan menjadi presiden SMU PBB nantinya akan mendesak tiap – tiap anggota tetap DK PBB untuk tak memakai hak vetonya untuk menolak permohonan Palestina, sementara wewenang Majelis Umum tidak ada apa – apanya dibanding kekuatan anggota tetap DK PBB ? Bukankah amat tak seimbang apa yang bisa dinikmati pihak NTC dibanding segala upaya yang selama puluhan tahun telah diupayakan Palestina ? Mengapa Obama bertindak setengah hati, dimana disatu sisi mendesak Israel kembali pada keadaan 1967 untuk menentukan batas wilayah dengan Palstina, tapi disisi lain terlalu cepat mengancam akan memveto (ditambah mencabut bantuan dana) jika pihak Palestina terus mendesak keanggotaan penuh di PBB? 

Tapi yang menjadi lebih penting, apakah sebetulnya Palestina siap jika benar – benar merdeka dan mendapat keanggotaan penuh di PBB ? Misal, karena keanggotaan penuh akan memberi akses bagi Palestina ke berbagai lembaga dibawah PBB sehingga bisa mengajukan kejahatan Israel selama ini ke Mahkamah Internasional dan atau Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court), lalu siapa (pihak Palestina) yang akan ajukan gugatan ? Petinggi Palestina yang berafiliasi dengan Fatah atau yang (berafiliasi) HAMAS? 

Bukankah kejahatan kemanusiaan Israel lebih parah terjadi di Gaza (terutama invasi Israel 27 Desember 2008) yang kebetulan basis HAMAS. Padahal belum ada pembagian yang lebih rinci antara Fatah dan HAMAS terkait posisi pemerintahan seiring masih lambatnya perkembangan rekonsiliasi diantara kedua pihak. Jika benar AS mengancam membekukan bantuan ke Palestina jika Palestina bersikeras meminta keanggotaan penuh di PBB, apa benar selama ini masyarakat internasional benar – benar peduli dengan kehidupan ekonomi rakyat Palestina ? Kehidupan ekonomi suatu negara, sekalipun dalam keadaan terburuk, bukan semata membutuhkan bantuan internasional, tapi menyerap produk negara tersebut. Bukankah usaha ekonomi asli Palestina seperti kafiyeh sudah nyaris mati karena rusaknya pabrik – pabrik kecil dan kalah bersaing dengan kafiyeh buatan (ironisnya dari) China ? Bukankah produksi pangan dari Palestina sendiri sudah nyaris mati karena banyak lahan pertanian rusak dan para petani Palestina khawatir ada serangan terbuka dari udara? 

Sekalipun Palestina amat hancur lebur secara infrastruktur, dan sekalipun masih terjadi perpecahan antara Fatah dan HAMAS dalam kontrol pemerintahan, Palestina tetap memenuhi segala syarat yang dirinci dalam Pasal 1Konvensi Montevideo 1933 terkait Hak dan Kewajiban Negara. Bahkan Palestina masih lebih memenuhi syarat dibanding NTC yang masih belum jelas kepemimpinannya jika rezim Khaddafi yang melarikan diri mampu melakukan destabilitasi pemerintahan Libya melalui para loyalisnya yang bisa saja menyusup di dalam NTC. Bisa dikatakan, amat hipokrit sikap (utamanya) AS dan negara – negara Eropa yang memperlakukan Libya dan Palestina dengan standar ganda.

Apa kita harus selalu menyangkut – pautkan isu NTC dengan keberadaan minyak yang masih amat banyak di Libya, untuk menjelaskan betapa cepatnya negara – negara Barat mendukung posisi NTC ? Jangan salah, Palestina sebetulnya memiliki kekayaan alam yang amat kaya yang selalu diupayakan untuk dirahasiakan. Beberapa data dari pemerintah Israel sendiri yang menyebutkan kekayaan alam energi dalam jumlah amat besar dan terbukti keberadaannya (proved reserve) di sekitar lepas pantai Gaza. Data – data rahasia juga banyak terkuak seiring penyelidikan Mubarak pasca kejatuhannya, dimana Mesir selama kepemimpinan Mubarak dan pihak Israel berusaha memonopoli kekayaan energi di sekitar Gaza dengan menyembunyikan fakta – fakta hasil eksplorasi di sekitar perairan Gaza. 

Mungkin ini yang sebetulnya lebih ditakutkan AS, negara – negara Eropa, dan (apalagi) Israel. Dimana jika Palestina berhasil mendapat pengakuan penuh di PBB, akan terbuka kesempatan bagi seluruh rakyat Palestina mengubah nasibnya menjadi lebih makmur dengan kekayaan alam yang ada. Atau lebih spesifik lagi, karena HAMAS amat kuat posisinya di Gaza, banyak negara Barat (termasuk Israel) khawatir HAMAS akan mendapat kekuatan ekonomi berlimpah dengan memiliki kontrol energi di sekitar Gaza jika Palestina lebih diakui sebagai negara yang benar – benar merdeka. Isu kekayaan alam di perairan Gaza inilah yangmungkin bisa menjadi benang merah mengapa Israel selalu bersikeras mengusir segala kapal bantuan yang menuju ke Gaza. Hal ini karena Israel ingin menunjukkan bahwa pihaknya punya otoritas mutlak atas seluruh area perairan Gaza, area yang benar – benar harus diamankan Israel untuk makin mengeruk keuntungan ekonomi terhadap kekayaan energi yang berada di wilayah itu. 

Turki secara terang – terangan (melalui PM Reccep Erdogan) mendukung sepenuhnya keinginan Palestina mendapat keanggotaan penuh di PBB, dengan mengunjungi berbagai negara Timur Tengah dalam bulan ini untuk mengumpulkan dukungan politik sebelum menuju ke New York (markas PBB). Bahkan Erdogan bersikeras dengan rencana akan mengunjungi langsung wilayah Gaza sebagai dukungan nyata Turki terhadap kemerdekaan sepenuhnya bagi Palestina, suatu rencana kunjungan yang ditolak dan dikecam keras oleh pemerintah Israel. Sementara AS masih tergagap dengan yang sebetulnya terjadi dalam gejolak demokratisasi di Timur Tengah. Tergagap, karena sebagai negara yang (katanya) menjunjung demokrasi dan demokratisasi, justru AS terancam kehilangan sekutu – sekutunya di Timur Tengah. 

Mubarak yang selama ini amat nyata membantu kepentingan AS dan Israel di Timur Tengah, sudah tak mungkin lagi menjadi “pion” bagi AS. Apalagi sikap muak terhadap Israel makin menjadi di Mesir, seperti terlihat dari kerusuhan di sekitar Kedubes Israel untuk Mesir di Kairo, suatu keadaan yang ikut pula merisaukan bagi AS. Bagaimana jika pemimpin Yaman yang amat membantu AS dalam mematikan Al – Qaeda, nantinya terguling ? Atau rezim – rezim petrodollar di sekitar Teluk Persia yang selama ini amat dekat dengan AS, tiba – tiba digulingkan oleh demokratisasi ? Padahal situasi Israel yang selama ini dijaga keberadaannya oleh AS, juga makin kritis di dalam negeri. Popularitas PM Netanyahu makin merosot karena harga properti makin melambung. Kondisi inilah yang mungkin mendesak Netanyahu untuk terus bersikeras menolak desakan Palestina untuk menghentikan perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, karena akan membuat harga properti di Israel makin melambung. Terlebih jika Palestina benar – benar merdeka seutuhnya, Palestina punya peluang menggugat setiap tanah yang telah dicaplok Israel bahkan sejak Deklarasi Balfour. 

Benar, “tak ada makan siang yang gratis”. AS dan negara – negara Eropa harus sesegera mungkin mendukung keberadaan NTC sebagai rezim baru yang sah, agar NTC memiliki hutang budi besar, dan konsekuensinya, Barat akan meminta konsesi dan akses lebih besar terhadap kekayaan minyak setempat. Inilah analogi yang mungkin bisa menjadi jawaban mengapa begitu aktifnya Barat mendukung keberadaan NTC, sementara Palestina dibiarkan nasibnya dengan ketidakjelasan. 

Ide agar Palestina mendapat status seperti Vatikan di PBB, yaitu negara pengamat bukan anggota, hanyalah akal – akalan agar Palestina mendapat kemenangan semu terkait status kemerdekaannya. Status seperti Vatikan tetap membuat Palestina tak leluasa untuk menjadi negara yang butuh pembangunan dari warganya sendiri, karena akses – akses ekonomi masih akan dibatasi oleh Israel. Pihak HAMAS menyebut, hadirnya opsi cadangan semacam ini semakin memperkuat bukti bahwa Presiden Mahmoud Abbas hanya mencari popularitas dalam tempo singkat ditengah warga Palestina, karena menjebak / menghadirkan konteks yang rentan multi tafsir dalam menerjemahkan status kemerdekaan yang diharap warga Palestina sedemikian lama. Justru opsi cadangan seperti ini akan menghambat proses rekonsiliasi kedua faksi. Pengakuan kemerdekaan terhadap suatu negara, entah kapan tercapai, akan lebih optimal jika negara itu memiliki pemerintahan yang solid dan seia sekata. Terlebih dengan beban harus membangun benar – benar dari nol. Kemerdekaan mungkin tinggal menunggu waktu bagi Palestina, tapi bagaimana mengisinya, ialah pekerjaan amat panjang bagi tiap warga Palestina. 

Adi Mulia Pradana
www.kompasiana.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails