Ketidakadilan Sikap Terhadap Libya dan Palestina
Setelah dipenuhi berita tentang memburuknya ekonomi Uni Eropa,
berita tentang peringatan 1dekade tragedi 911, dan meluasnya kontrol
NTC (Dewan Transisi Libya) merebut wilayah – wilayah yang dikontrol
loyalis Khaddafi, pemberitaan internasional mulai terfokus pada
perdebatan status Palestina di PBB. Dari hari ke hari mendekati
pelaksanaan Sidang Majelis Umum PBB / SMU PBB (19 September 2011), silih
berganti perubahan isu tentang siapa saja negara yang akan mendukung
keanggotaan penuh Palestina dalam PBB.
Makin
dekat pelaksanaan SMU PBB, Perancis dan Inggris mulai terbelah dalam
isu Palestina. Inggris dikabarkan beralih mendukung keinginan Palestina
menjadi anggota penuh di PBB. Sementara Perancis masih berusaha
menjalankan rencana yang sama seperti AS, yaitu memveto. Rusia dan China
sejak lama mendukung keberadaan Palestina mendapat keanggotaan penuh di
PBB. Jerman cenderung mendukung posisi veto AS karena beban moral
terhadap Yahudi, padahal negara – negara anggota tidak tetap DK PBB
lainnya memilih mendukung Palestina. Sikap Brasil yang secara resmi
mendukung posisi Palstina, disinyalir akan mendorong makin banyak negara
berkembang makin menunjukkan kesediaan mendukung Palestina.
Amat ironis jika kita membandingkan nasib Palestina dengan nasib Libya. Dibandingkan puluhan tahun
perjuangan Palestina yang tak kunjung diakui seluruh dunia sebagai
suatu negara (utamanya AS dan negara – negara Eropa), tapi hanya sekitar
1 tahun eksistensi NTC sudah cukup membuat AS dan negara – negara Eropa
mengakui sebagai pengganti rezim Khaddafi dalam keanggotaan PBB. Hal
ini ironisnya, mungkin diantara kita pun tak menyadari, bahwa NTC akan
secara resmi menggantikan rezim Khaddafi dalam keanggotaan PBB melalui
SMU PBB, jalur yang sama yang dijalankan Palestina.
Apakah
kita selalu harus menyangkut – pautkan penolakan keanggotaan penuh bagi
Palestina di PBB hanya karena Israel ? Apakah kita bisa mengharapkan
Joseph Deiss yang akan menjadi presiden SMU PBB nantinya akan mendesak
tiap – tiap anggota tetap DK PBB untuk tak memakai hak vetonya untuk
menolak permohonan Palestina, sementara wewenang Majelis Umum tidak ada
apa – apanya dibanding kekuatan anggota tetap DK PBB ? Bukankah
amat tak seimbang apa yang bisa dinikmati pihak NTC dibanding segala
upaya yang selama puluhan tahun telah diupayakan Palestina ? Mengapa
Obama bertindak setengah hati, dimana disatu sisi mendesak Israel
kembali pada keadaan 1967 untuk menentukan batas wilayah dengan
Palstina, tapi disisi lain terlalu cepat mengancam akan memveto
(ditambah mencabut bantuan dana) jika pihak Palestina terus mendesak
keanggotaan penuh di PBB?
Tapi yang menjadi lebih penting, apakah sebetulnya Palestina siap jika benar – benar merdeka dan mendapat keanggotaan penuh
di PBB ? Misal, karena keanggotaan penuh akan memberi akses bagi
Palestina ke berbagai lembaga dibawah PBB sehingga bisa mengajukan
kejahatan Israel selama ini ke Mahkamah Internasional dan atau
Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court), lalu
siapa (pihak Palestina) yang akan ajukan gugatan ? Petinggi Palestina
yang berafiliasi dengan Fatah atau yang (berafiliasi) HAMAS?
Bukankah
kejahatan kemanusiaan Israel lebih parah terjadi di Gaza (terutama
invasi Israel 27 Desember 2008) yang kebetulan basis HAMAS. Padahal
belum ada pembagian yang lebih rinci antara Fatah dan HAMAS terkait
posisi pemerintahan seiring masih lambatnya perkembangan rekonsiliasi
diantara kedua pihak. Jika benar AS mengancam
membekukan bantuan ke Palestina jika Palestina bersikeras meminta
keanggotaan penuh di PBB, apa benar selama ini masyarakat internasional
benar – benar peduli dengan kehidupan ekonomi rakyat Palestina ?
Kehidupan ekonomi suatu negara, sekalipun dalam keadaan terburuk, bukan
semata membutuhkan bantuan internasional, tapi menyerap produk negara
tersebut. Bukankah usaha ekonomi asli Palestina seperti kafiyeh sudah
nyaris mati karena rusaknya pabrik – pabrik kecil dan kalah bersaing
dengan kafiyeh buatan (ironisnya dari) China ? Bukankah produksi pangan
dari Palestina sendiri sudah nyaris mati karena banyak lahan pertanian
rusak dan para petani Palestina khawatir ada serangan terbuka dari udara?
Sekalipun
Palestina amat hancur lebur secara infrastruktur, dan sekalipun masih
terjadi perpecahan antara Fatah dan HAMAS dalam kontrol pemerintahan,
Palestina tetap memenuhi segala syarat yang dirinci dalam Pasal
1Konvensi Montevideo 1933 terkait Hak dan Kewajiban Negara. Bahkan
Palestina masih lebih memenuhi syarat dibanding NTC yang masih belum
jelas kepemimpinannya jika rezim Khaddafi yang melarikan diri mampu
melakukan destabilitasi pemerintahan Libya melalui para loyalisnya yang
bisa saja menyusup di dalam NTC. Bisa dikatakan, amat hipokrit sikap
(utamanya) AS dan negara – negara Eropa yang memperlakukan Libya dan
Palestina dengan standar ganda.
Apa kita harus selalu menyangkut – pautkan
isu NTC dengan keberadaan minyak yang masih amat banyak di Libya, untuk
menjelaskan betapa cepatnya negara – negara Barat mendukung posisi NTC ?
Jangan salah, Palestina sebetulnya memiliki kekayaan alam yang amat
kaya yang selalu diupayakan untuk dirahasiakan. Beberapa data dari
pemerintah Israel sendiri yang menyebutkan kekayaan alam energi dalam
jumlah amat besar dan terbukti keberadaannya (proved reserve) di sekitar
lepas pantai Gaza. Data – data rahasia juga banyak terkuak seiring
penyelidikan Mubarak pasca kejatuhannya, dimana Mesir selama
kepemimpinan Mubarak dan pihak Israel berusaha memonopoli kekayaan
energi di sekitar Gaza dengan menyembunyikan fakta – fakta hasil
eksplorasi di sekitar perairan Gaza.
Mungkin
ini yang sebetulnya lebih ditakutkan AS, negara – negara Eropa, dan
(apalagi) Israel. Dimana jika Palestina berhasil mendapat pengakuan
penuh di PBB, akan terbuka kesempatan bagi seluruh rakyat Palestina
mengubah nasibnya menjadi lebih makmur dengan kekayaan alam yang ada.
Atau lebih spesifik lagi, karena HAMAS amat kuat posisinya di Gaza,
banyak negara Barat (termasuk Israel) khawatir
HAMAS akan mendapat kekuatan ekonomi berlimpah dengan memiliki kontrol
energi di sekitar Gaza jika Palestina lebih diakui sebagai negara yang
benar – benar merdeka. Isu kekayaan alam di perairan Gaza inilah
yangmungkin bisa menjadi benang merah mengapa Israel selalu bersikeras
mengusir segala kapal bantuan yang menuju ke Gaza. Hal ini karena Israel
ingin menunjukkan bahwa pihaknya punya otoritas mutlak atas seluruh
area perairan Gaza, area yang benar – benar harus diamankan Israel untuk
makin mengeruk keuntungan ekonomi terhadap kekayaan energi yang berada
di wilayah itu.
Turki
secara terang – terangan (melalui PM Reccep Erdogan) mendukung
sepenuhnya keinginan Palestina mendapat keanggotaan penuh di PBB, dengan
mengunjungi berbagai negara Timur Tengah dalam bulan ini
untuk mengumpulkan dukungan politik sebelum menuju ke New York (markas
PBB). Bahkan Erdogan bersikeras dengan rencana akan mengunjungi langsung
wilayah Gaza sebagai dukungan nyata Turki terhadap kemerdekaan
sepenuhnya bagi Palestina, suatu rencana kunjungan yang ditolak dan
dikecam keras oleh pemerintah Israel. Sementara AS masih tergagap dengan
yang sebetulnya terjadi dalam gejolak demokratisasi di Timur Tengah.
Tergagap, karena sebagai negara yang (katanya) menjunjung demokrasi dan
demokratisasi, justru AS terancam kehilangan sekutu – sekutunya di Timur
Tengah.
Mubarak
yang selama ini amat nyata membantu kepentingan AS dan Israel di Timur
Tengah, sudah tak mungkin lagi menjadi “pion” bagi AS. Apalagi sikap
muak terhadap Israel makin menjadi di Mesir, seperti terlihat dari
kerusuhan di sekitar Kedubes Israel untuk Mesir di Kairo, suatu keadaan
yang ikut pula merisaukan bagi AS. Bagaimana jika pemimpin Yaman yang
amat membantu AS dalam mematikan Al – Qaeda, nantinya terguling ? Atau
rezim – rezim petrodollar di sekitar Teluk Persia yang selama ini amat
dekat dengan AS, tiba – tiba digulingkan oleh demokratisasi ? Padahal
situasi Israel yang selama ini dijaga keberadaannya oleh AS, juga makin
kritis di dalam negeri. Popularitas PM Netanyahu makin merosot karena
harga properti makin melambung. Kondisi inilah yang mungkin mendesak
Netanyahu untuk terus bersikeras menolak desakan Palestina untuk
menghentikan perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, karena akan
membuat harga properti di Israel makin melambung. Terlebih jika
Palestina benar – benar merdeka seutuhnya, Palestina punya peluang
menggugat setiap tanah yang telah dicaplok Israel bahkan sejak Deklarasi
Balfour.
Benar,
“tak ada makan siang yang gratis”. AS dan negara – negara Eropa harus
sesegera mungkin mendukung keberadaan NTC sebagai rezim baru yang sah,
agar NTC memiliki hutang budi besar, dan konsekuensinya, Barat akan
meminta konsesi dan akses lebih besar terhadap kekayaan minyak setempat.
Inilah analogi yang mungkin bisa menjadi jawaban mengapa begitu
aktifnya Barat mendukung keberadaan NTC, sementara Palestina dibiarkan
nasibnya dengan ketidakjelasan.
Ide agar Palestina mendapat status
seperti Vatikan di PBB, yaitu negara pengamat bukan anggota, hanyalah
akal – akalan agar Palestina mendapat kemenangan semu terkait status
kemerdekaannya. Status seperti Vatikan tetap membuat Palestina tak
leluasa untuk menjadi negara yang butuh pembangunan dari warganya
sendiri, karena akses – akses ekonomi masih akan dibatasi oleh Israel.
Pihak HAMAS menyebut, hadirnya opsi cadangan semacam ini semakin
memperkuat bukti bahwa Presiden Mahmoud Abbas hanya mencari popularitas
dalam tempo singkat ditengah warga Palestina, karena menjebak /
menghadirkan konteks yang rentan multi tafsir dalam menerjemahkan status
kemerdekaan yang diharap warga Palestina sedemikian lama. Justru opsi
cadangan seperti ini akan menghambat proses rekonsiliasi kedua faksi.
Pengakuan kemerdekaan terhadap suatu negara, entah kapan tercapai, akan
lebih optimal jika negara itu memiliki pemerintahan yang solid dan seia
sekata. Terlebih dengan beban harus membangun benar – benar dari nol.
Kemerdekaan mungkin tinggal menunggu waktu bagi Palestina, tapi
bagaimana mengisinya, ialah pekerjaan amat panjang bagi tiap warga
Palestina.
Adi Mulia Pradana
www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar