Sebuah berita yang menggigit disampaikan oleh Ali Kastela, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Hanura, yang menyatakan bahwa ia menemukan adanya 70 tentara aktif AS yang ditempatkan di Freeport Papua. “Saat kunjungan kerja ada 70 personel militer Amerika aktif yang bekerja di Freeport,” ujar Ali saat rapat tim monitoring Papua dan Papua Barat dengan pemerintah di DPR Senayan, 25 November lalu.
Pernyataan terus bergulir menjadi berita yang efeknya kurang baik bagi pemerintah karena dianggap kedaulatan negara diinjak-injak oleh negara asing khususnya Amerika Serikat. Informasi adanya militer AS di Freeport yang sensitif menjadi menarik karena secara psikologis para elit politik mengkaitkan dengan rencana penggelaran Marinir AS di Darwin. Seperti kita ketahui, sebelum mengikuti KTT Asia Timur di Bali pada 17 November lalu, Presiden Barrack Obama sempat singgah di Canberra dan menyatakan akan menempatkan secara bertahap 2500 Marinirnya di Darwin.
Banyak pihak kemudian membahas dan menyimpulkan bahwa penempatan Marinir itu erat sekali hubungannya dengan memanasnya situasi Papua beberapa bulan terakhir. Penulis pernah menuliskan masalah serta latar belakang penggelaran pasukan tersebut di Darwin dengan judul “Perseteruan AS dan China di Laut China Selatan,” http://ramalanintelijen.net/?p=4336 (Ditayangkan di Harian Seputar Indonesia (22/11/2011).
Duta Besar Amerika Serikat (Dubes AS) untuk Indonesia Scot Marciel menjelaskan bahwa penempatan pasukan AS di wilayah Asia tidak bertujuan untuk mengganggu negara lain dan AS menghormati kedaulatan setiap negara. Selanjutnya lebih ditegaskan lagi oleh Dubes AS untuk ASEAN David Carden, di Kedutaan Besar AS Jakarta, Selasa (22/11/2011), “Ini adalah perjanjian dan bentuk aliansi dari AS dan Australia yang sudah terjalin sejak dulu. Kami berada di wilayah itu untuk memelihara perdamaian.” Mungkin pernyataan Carden berkait dengan kasus perebutan kepulauan Spratly, dimana AS diminta oleh negara Filipina dan Vietnam yang merasa terancam dan ditekan oleh China. Penempatan pasukannya di Darwin adalah sebagai simbol pancangan kaki AS di kawasan Asia Tenggara.
Secara logika, penempatan marinir sekitar empat batalyon (setara dengan satu Brigade) serta dukungan satuan udara tempur di Australia Utara agaknya terlalu berlebihan apabila dikaitkan langsung dengan kondisi Papua. Secara psikologis mungkin saja bisa diartikan demikian. Entah siapa yang akan di perangi oleh Marinir tersebut. Apabila dikaitkan dengan gangguan keamanan, penembakan sporadis oleh kelompok OPM hanyalah serangan teror dengan skala kecil. Dalam hal ini AS yakin bahwa pemerintah Indonesia masih mampu mengontrol situasi.
Atau, apakah AS akan berperang dengan Indonesia? Nampaknya juga tidak. Indonesia kini jelas dinilai bukan ancaman bagi AS. Bahkan ancaman teroris terhadap kepentingan AS di Indonesia mampu dinetralisir. Sebanyak 700 lebih teroris ditangkap atau ditembak mati di Indonesia sejak 2002. Pemerintah AS akan melakukan perang terhadap sebuah negara apabila negara tersebut menjadi ancaman langsung atau juga melindungi kelompok yang merupakan ancaman langsung terhadap negara AS (Contoh studi kasus pemerintah Taliban di Afghanistan yang melindungi Al-Qaeda diserbu dan dijatuhkan pasukan AS).
Selain itu AS akan ikut campur di sebuah negara apabila terjadi tindak kekerasan, kesewenang-wenangan sebuah pemerintahan terhadap rakyatnya, berupa pelanggaran keras HAM. Dalam hal ini AS umumnya akan bergabung dengan NATO, dan secara resmi melakukan serangan. Keduanya berlindung dan terlindung dibawah keputusan/maklumat PBB (Contoh studi kasus Libya).
Negara AS disebelah Barat berbatasan dengan Samudera Pasifik, karena itu kekuatan militer AS di Pasifik Selatan sangat besar. Apabila dibutuhkan, pengerahan militer Amerika di Pasifik Selatan dapat dilakukan dengan cepat oleh Pacific Air Forces (PACAF) yang bermarkas di Hickam Air Force Base, Hawai. Dislokasi kekuatan tempur udaranya berada di Yokota Air Base Jepang, Osan Air Base, Korea Selatan, Elmendorf Air Base Alaska dan Thirteenth Air Force (AFPAC), Hickam AFB, Hawaii.
PACAF adalah komponen udara dari Komando Pasifik Amerika. Organisasi perang ini adalah komponen udara dari Komando Pasifik Amerika dan merupakan salah satu dari dua Komando Utama Angkatan Udara AS diluar benua Amerika. Komando satunya adalah United States Air Forces in Europe (USAFE). Komando ini memiliki sekitar sekitar 45.000 personil militer dan sipil, dilengkapi dengan 300 pesawat tempur penyerang. Pacific Air Forces yang dipimpin oleh seorang Jenderal berbintang empat, pernah terlibat dan mempunyai pengalaman dalam perang dunia kedua, perang Korea, perang Vietnam dan Operasi Desert Storm 1991.
Untuk keterangan lebih lanjut, penulis saat masih aktif bertugas di TNI pernah mendampingi pimpinan (Kasau) melakukan peninjauan ke PACAF, tertuang dalam artikel “Meninjau Pacific Air Forces,” http://ramalanintelijen.net/?p=1582.
Nah, kini bergulirnya berita adanya 70 militer AS di Papua, langsung dibantah oleh Duta Besar AS di Jakarta. Pemerintah AS juga melalui Dubesnya menegaskan keberadaan militer AS itu juga tak ada kaitannya dengan masalah Papua. “Keberadaan militer AS tidak berkaitan dengan Papua, kami mendukung kedaulatan Indonesia,” tegas Dubes Marciel. Disini berarti tidak ada pasukan yang melanggar kedaulatan negara Indonesia, begitu kira-kira. Asisten Menteri Luar Negeri AS Kurt M Campbell pada bulan lalu juga menyatakan prihatin dengan kasus Papua. Mereka menyadari isu ini merupakan isu sensitif yang di alami Indonesia. Campbell tetap menyarankan agar diadakannya dialog antara pihak PT Freeport, Pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua.
Bagaimana penjelasan pemerintah terhadap berita sensitif tersebut? Menko Polhukkam Djoko Suyanto membantah adanya isu penempatan 70 tentara Amerika Serikat di PT Freeport Indonesia, Papua. Dari hasil klarifikasi menunjukkan beberapa orang konsultan keamanan diambil dari perusahaan pengamanan seperti banyak digunakan negara lain. Pihak perusahaan mengakui memang ada beberapa pensiunan militer yang bekerja di Freeport.
Kepala BIN Marciano menyatakan, BIN sedang menyelidiki dan mempertajam isu adanya tentara aktif yang bekerja di PT Freeport. BIN hanya menemukan purnawirawan AS yang bekerja Freeport. “Di Freeport kita tidak menemukan ada tentara aktif di sana. Apalagi dengan perlengkapannya. Tidak ada. Kalau mungkin, mereka sudah purnawirawan dan bekerja. Itu mungkin saja, tapi tentara aktif tidak ada,” tegas Marciano.
Memang penjelasan para pejabat tadi sudah mempunyai kekuatan hukum dan politis sendiri dalam menjelaskan masalah. Sesuai dengan Keppres No.63/2004 tentang pengamanan obyek vital, pengelola PT Freeport harus bertanggung jawab atas pengamanan obyek vitalnya berdasarkan prinsip pengamanan internal, dan Polri berkewajiban memberi bantuan pengamanan. Apabila dibutuhkan, maka Polri dapat meminta bantuan kepada TNI berdasarkan dengan UU yang berlaku. Itulah aturan yang selama ini diterapkan.
Dalam melakukan pengamanan internal terhadap obyek vital yang sangat penting tersebut, dapat dipastikan Freeport menggunakan tenaga sekuriti profesional bertaraf internasional, umumnya menyewa mantan pasukan khusus. Mengingat luasnya wilayah operasi AS di dunia dan besarnya kebutuhan personil intelijen serta akses ke wilayah negara lain, CIA-pun sebagai Badan Intelijen utamanya juga menyewa tenaga profesional setempat yang disebut sebagai kontraktor. Seperti yang umumnya terjadi di semua Kedutaan Besar di negara manapun, wajar saja apabila beberapa personilnya adalah petugas dari Badan Intelijen dengan “cover” yang ketat. Demikian sistem yang diterapkan.
Entah bagaimana kita bisa menyelidiki para personil Freeport tersebut yang hanya diketahui oleh PT Freeport itu sendiri. Pemerintah AS pasti akan sangat berhati-hati dalam menjaga Freeport, karena tambang tersebut adalah salah satu harta kekayaan mereka di luar negeri yang akan mereka pertahankan mati-matian.
Prayitno Ramelan ( http://ramalanintelijen.net )
Sumebr: http://hankam.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar