Kitab Sutasoma digubah oleh Mpu Tantular dalam bentuk kakawin (syair) pada masa puncak kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk (1350 – 1389). Kitab yang berupa lembaran-lembaran lontar ini demikian masyhur dalam khazanah sejarah negeri ini karena pada pupuh ke-139 (bait V) terdapat sebaris kalimat yang kemudian disunting oleh para ‘founding fathers’ republik ini untuk dijadikan motto dalam Garuda Pancasila lambang Negara RI. Bait yang memuat kalimat tersebut selengkapnya berbunyi:
Hyāng Buddha tanpāhi Çiva rajādeva
Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā,
Bhimukti rakva ring apan kenā parvvanosĕn,
Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan bebasnya:
Hyang Buddha tiada berbeda dengan Syiwa Mahadewa
Keduanya itu merupakan sesuatu yang satu
Tiada mungkin memisahkan satu dengan lainnya
Karena hyang agama Buddha dan hyang agama Syiwa sesungguhnya tunggal
Keduanya memang hanya satu, tiada dharma (hukum) yang mendua.
Dengan demikian pernyataan bhinneka tunggal ika tersebut sebenarnya merupakan bagian amat kecil dari buah karya Mpu Tantular. Sebagai bagian yang amat kecil, tak ada yang istimewa pada kata tersebut, apa lagi kemuliaan, bahkan arti harfiahnya pun sangatlah sederhana: berbeda itu satu itu (bhinne = berbeda; ika = itu; tunggal = satu; ika = itu). Lain dari itu, kalimat tersebut pun adalah bagian dari konsep beragama, samasekali jauh hubungannya dengan konsep politik seperti pada pengertian sekarang.
Lebih jauh, kitab itu pun bukanlah kitab keramat atau pantas dikeramatkan. Mpu Tantular tidak memaksudkannya sebagai kitab tempat orang berguru untuk menyelenggarakan pemerintahan di suatu Negara. Kurang-lebihnya ia adalah kitab yang bernuansa Buddha, dan menceritakan sebuah kisah yang diharapkan dapat diteladani oleh umat Buddha. Kisah tersebut adalah mengenai seorang pemuda bernama Raden Sutasoma. Dari nama tokoh utama tersebutlah kitab tersebut mendapatkan judulnya.
Adapun kisah ringkasnya:
Sang Buddha menjelma ke dunia sebagai Raden Sutasoma putra raja Mahaketu dari kerajaan Hastina. Putra raja tersebut sangat alim dan taat menjalankan berbagai perintah agama Buddha, dan selalu belajar untuk memperdalam pengetahuan agamanya. Setelah cukup umur, oleh ayahandanya ia diperintahkan untuk menikah, dan selanjutnya menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Akan tetapi titah ayahandanya ia tolak dengan halus. Ia belum ingin menikah ataupun menduduki singgasana Hastina, karena merasa pengetahuannya tentang agama masih terasa amat kurang.
Guna menghindari desakan lebih jauh dari ayahandanya, pada suatu malam Raden Sutasoma dengan diam-diam pergi meninggalkan istana. Tujuannya adalah ke gunung Himalaya, untuk bertapa sambil belajar agama Buddha pada para pertapa yang ditemuinya di sana. Setelah tiba di tujuan, ia mendapat berita dari seorang pertapa bahwa ada seorang raja bernama Purusaha atau Kalmasa, seorang raja penjelmaan raksasa, suka sekali memakan daging manusia.
Adapun mengapa Purusaha suka memakan daging manusia, ceritanya adalah sebagai berikut:
Suatu ketika juru masak raja tersebut kehabisan akal karena persediaan daging untuk makanan raja habis dimakan anjing. Ia telah berusaha keras mencari gantinya, namun tidak berhasil. Karena sangat takut akan murka sang Purusaha, ia terpaksa mengambil daging orang yang belum lama mati, dan memasaknya untuk baginda.
Tatkala baginda bersantap, ia merasa masakan itu sangat nikmat lebih dari masakan-masakan yang dihidangkan juru masak pada waktu-waktu sebelumnya. Maka ia pun memanggil sang juru masak, dan menanyakan apa sebabnya masakan yang ia santap menjadi selezat itu. Juru masak yang ketakutan akhirnya terpaksa berkata terus-terang tentang daging apa yang telah diolahnya di dapur istana.
Baginda ternyata tidak marah, bahkan memerintahkan untuk memasak daging-daging manusia lainnya, karena ia sangat menyukai daging jenis itu. Bertahun-tahun kebiasaan Purusaha berlangsung, bertahun-tahun pula rakyat baginda bermatian di dapur sang raja untuk memuaskan kerakusannya. Akibatnya penduduk negeri baginda tinggal sedikit karena habis dilalap raja atau mengungsi ke negeri lain yang rajanya tidak doyan makan orang.
Pada waktu Raden Sutasoma bertemu dengan pertapa itu, Purusaha atau Kalmasa sedang sakit, dan tinggal di sebuah hutan sebagai seorang raksasa. Ia berjanji jika sakitnya kelak sembuh, maka ia akan melakukan kurban seratus orang raja untuk dipersembahkan kepada dewa Kala.
Pertapa yang bercerita itu mohon kepada Raden Sutasoma untuk membunuh raksasa tadi. Tetapi Raden Sutasoma menolak permohonan itu.
Maka sang Sutasoma pun pergi dari tempat pertapa itu untuk melanjutkan perjalanan berkelana untuk berguru kepada pertapa-pertapa lain. Dalam perjalanan ini ternyata ia bertemu dengan seorang raksasa berkepala gajah. Raksasa itu mengancam akan membunuh Raden Sutasoma. Tetapi berkat kearifan dan ilmu yang dimilikinya sang pangeran dapat menundukkan raksasa tersebut dan memberinya pelajaran tentang agama Buddha. Setelah itu keduanya lalu melanjutkan perjalanan bersama.
Dalam perjalanan itu berselang beberapa waktu kemudian Raden Sutasoma melihat seekor harimau hendak menerkam anaknya sendiri. Sang pangeran segera mendapatkan harimau tersebut dan menasehati agar sang harimau mengurungkan niatnya. Karena harimau tersebut bersikeras hendak melaksanakan niatnya maka Sutasoma menawarkan dirinya menjadi mangsa sang harimau agar anak harimau tersebut terhindar dari maut. Tawaran tersebut diterima sang harimau, dan ia pun menerkam sang pangeran.
Tewasnya Raden Sutasoma membuat harimau tersebut menyesal dan amat masygul akan tindakannya. Saat itu datanglah dewa Indra ke tempat terjadinya peristiwa itu dan sang pangeran dihidupkan kembali. Harimau lantas menyerahkan diri kepada sang pangeran, bahkan menyatakan diri bersedia menjadi muridnya.
Dari sini Sutasoma melanjutkan perjalanannya kembali dan akhirnya bertapa di gunung Himalaya. Setelah masa bertapa selesai, ia pun kembali ke istana ayahnya di Hastinapura. Belum lama kemudian datanglah ke negeri itu para raksasa pengikut raja Purusada untuk meminta perlindungan. Mereka menghaturkan sembah pada Raden Sutasoma dan menyatakan bahwa mereka baru saja mengalami kekalahan dalam perang melawan raja Dasabahu. Tatkala raja Dasaahu mengetahui bahwa Sutasoma memberikan perlindungan kepada musuh-musuhnya, ia menjadi sangat marah. Tetapi manakala akhirnya ia mengetahui bahwa ia dan keluarga kerajaan Hastina masih memiliki hubungan keluarga, maka kemarahannya pun reda bahkan ia bersedia menikahkan adik perempuannya dengan Raden Sutasoma. Tak lama setelah menikah lalu sang pangeran dinobatkan oleh ayahandanya menjadi raja Hastina. Sejak itu duduklah Raden Sutasoma di atas tahta kerajaan Hastina.
Sementara itu, raja Purusada telah sembuh dari sakitnya. Ia menepati janjinya dengan menangkap seratus orang raja untuk dipersembahkan sebagai kurban kepada dewa Kala. Tetapi dewa Kala menolak persembahan tersebut, dan mengatakan bahwa ia ingin memakan daging Sutasoma raja Hastina. Mendengar itu raja Purusada pun pergi ke Hastina dan menghadap Sutasoma, lalu menceritakan apa yang telah ia lakukan dan apa pula niat dewa Kala. Sutasoma tidak berkeberatan dengan ajukan Purusada untuk menghadap dewa Kala. Kepadanya Sutasoma berkata bahwa ia bersedia menjadi mangsa dewa Kala asalkan ia membebaskan seratus orang raja yang telah diserahkan oleh Purusada padanya dibebaskan.
Mendengar ucapan Sutasoma itu raja Purusada terperanjat. Tak ia sangka Sutasoma demikian rendah hati dan rela menebus segala kejahatan yang ia lakukan. Ia merasa bersalah dan berdosa atas tindakan-tindakannya, lalu bertobat dan sejak itu tidak lagi memakan daging manusia.
Selanjutnya Sutasoma kembali ke kerajaan, dan memerintah Hastina yang menjadi kerajaan aman dan sentosa hingga akhir hayatnya.Sumber: margani's.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar