Minggu, 24 Oktober 2010

Nelangsanya Masjid Kita

 http://i28.tinypic.com/j17c4y.jpg

Sulit didirikan di daerah mayoritas non-Islam. Kalaupun ada, dikelilingi anjing dan babi.

Syahdan, dengan menggunakan jet pribadi miliknya, pengusaha Probosutejo mengajak Ketua MUI KH Hasan Basri, Sekretaris Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Husein Umar, Ketua Muhammadiyah Sutrisno Muhdam, Kassospol ABRI Syarwan Hamid, dan Pang¬dam Udayana, mendarat di Timor Timur. Probo membawa segerobak uang tunai untuk membangun sebuah masjid yang megah.

Namun, sesampainya di tujuan mereka dipingpong pejabat daerah setempat. Camat bilang pembangunan masjid harus minta izin Bupati. Sebaliknya, Bupati mengatakan yang punya wilayah dan kewenangan adalah Camat. Begitu bolak-balik, hingga izin membangun masjid tak jua keluar.

Kasus pada tahun 90-an itu dikisahkan Ustadz Syuhada Bahri, Ketua Umum Dewan Da’wah yang pernah blusukan berdakwah di Timor Timur semasa masih menjadi bagian Indonesia.

Pasca Referendum 1998 yang berujung kemerdekaan Timor Leste, Islam di Timor Timur mengalami kemunduran hebat. Mengutip laporan Sekjen Centro da Comunidade Islamica de Timor Leste (Cencistil)  Domingus Marlim da Silva MA pada Juli 2008, dari sekitar 35.000 warga Muslim Timor pada 1998 tersisa 5000-an muslim saja. Jumlah ini hanya 3% dari total penduduk Timor Leste.

Rumah ibadah muslim di Timor Leste tinggal 13 dari semula 64 unit. Jumlah lembaga Islam dari 20 tersisa 7. Dan jumlah da’i dari 116 orang tinggal 21.

Sebagian rumah ibadah muslim itu hancur terbengkelai. Misalnya Masjid Nurul Huda di Kecamatan Uatolari, Al Ikhlash di Maliana, At Taqwa di Lospalos, dan Masjid Nurul Ikhwan di Lurumata, Dili. Demikian juga Mushola Al Hidayah dan bekas Gedung Yayasan Yakin di Kuluhun, Dili. Juga Mushola At Taqwa di Gleno, Ermera.



Jadi Kandang Babi

Sementara itu, bekas rumah ibadah atau bangunan lembaga Islam yang tersisa dalam kondisi baik, telah beralih fungsi. Sebagian diantaranya menjadi kisah yang menyesakkan dada. Misalnya, dimanfaatkan oleh umat agama lain seperti gedung sekolah Islam Yayasan Yakin. Demikian juga mess Da’i An Nuur Dili. Mushola Al Ma’ruf di Kompleks Handayani Becora, sekarang disewa oleh seorang Frater (pemuka agama Katolik). Demikian juga Mushola Ad Darurah di PU Campo Baru, Comoro.

Sementara itu, Mushola As Salam di LP Becora, Dili, dijadikan tempat praktik ketrampilan kayu oleh para penghuni penjara setempat. Sedangkan Mushola Fathur Rahman Bairo-Pite, Dili, menjadi kantor polisi.

Yang mengenaskan adalah nasib Mushola Al Muhajirin di Mercado Lama, Dili. Bangunan luas yang dulunya rumah ibadah muslim ini sekarang dikapling-kapling multi-fungsi. Ada yang dijadikan tempat tinggal, bengkel motor, studio film, dan... kandang babi! Astaghfirullah.

Usai Referendum, sekitar 25.000 warga Timor yang memilih tetap dalam naungan Indonesia, mengungsi ke perbatasan NTT-Timor Leste. Mereka kini menghuni penampungan di Halewen, Sukapetete, Aikiok, Aitaman, dan Aipupu. Nasib mereka makin mengenaskan karena menjadi incaran misionaris pemurtad.



Dikelilingi Babi dan Anjing

Rumah ibadah muslim minoritas di daerah mayoritas non-Islam, tidak lebih baik dari cerita di Timtim tadi. Misalnya Masjid Al Furqon Dusun Gantang, Desa Gantang, Kec Sawangan, Magelang, Jawa Tengah.

Dari sekitar 200 KK warga Dusun Gantang, yang muslim hanya 23 KK. Itu pun yang murni keluarga muslim hanya 17. Sedang 5 KK lagi agamanya campur-campur muslim dan nasrani.

Saat LAZIS Dewan Da’wah menggelar ifthor (buka bersama) di Masjid Al Furqon, Jumat 20 Agustus lalu, banyak anjing dan babi milik warga mayoritas berkeliaran di sekitar masjid. ‘’Kami terpaksa memagari masjid dengan bambu dan triplek yang agak tinggi biar anjing atau babi tidak masuk masjid,’’ kata Wandi, aktivis Islam setempat.

Hal yang sama dialami masjid atau mushola di Kabupaten Karo. Di sini, warga muslim sekitar 30% dari keseluruhan penduduk. Ketika LAZIS Dewan Da’wah menyalurkan bantuan bagi warga Desa Limang, Kecamatan Tiga Binanga, Karo, 23 September lalu, anjing berkeliaran bebas di sekitar Masjid Harapan. Bahkan seekor anjing sempat berkeliaran di teras masjid. Di sini warga muslim hanya seperempat warga keseluruhan.

‘’Anjing di sini sudah dianggap seperti warga desa. Padahal tadinya hanya untuk menjaga ladang, bukan menjaga kampung yang sudah aman,’’ ujar Ustadz Sahlul Lubis, da’i muda setempat.

Di Dusun Salappa, Desa Munthei, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, warga non-muslim membuat tempat penjagalan babi berdampingan dengan Musholla Nurul Ikhlas yang diasuh Ustadz Afdal. Akibatnya, darah babi yang dijagal sering muncrat ke dinding papan mushola.

LAZIS Dewan Da’wah pada tahun 2007 membeli lahan jagal babi itu beberapa ratus ribu, guna membersihkan mushola dari ancaman najis.



Terbanyak di Asia

Berdasarkan data Depag, rumah ibadah umat Kristen melonjak 131,38 persen dari 18.977 pada tahun 1977 menjadi 43.909 buah pada tahun 2004. Gereja Katolik naik 152,79 persen dari 4.934 pada tahun 1977 menjadi 12.473 buah pada tahun 2004.

Sementara itu, rumah ibadah umat Islam hanya mengalami pertumbuhan sebesar 64,22 persen dari 392.044 pada tahun 1977 menjadi 643.834 pada tahun 2004.

Mengacu pada catatan Depag itu, persentase jamaah masjid jumlahnya jauh lebih padat ketimbang jemaat gereja. Satu masjid dipadati 4.050 muslim, sedang satu gereja Kristen dipadati 269 penganutnya, dan satu gereja Katolik dipadati 491 jemaat.

Data Depag tadi belum termasuk gereja-gereja liar yang berdiri di mal-mal, kantor-kantor, ruko-ruko, atau gedung-gedung mewah di Jakarta. Juga gereja-gereja sementara, gereja kapel, dan rumah-rumah yang disulap menjadi gereja, terutama di daerah-daerah terpencil.

“Indonesia merupakan negara terbanyak gerejanya di Asia,” simpul KH Hasyim Muzadi, Presiden World Conference on Religion for Peace. (nurbowo)


Makmurkan Masjid Kita

Masjid adalah pusat kegiatan ummat. Hal ini ditegaskan Ketua Dewan Da’wah, KH Cholil Ridwan Lc, saat berceramah dalam Haflah 'Idul Fithri 1429 H/2008 M bertema  "Rajut Ukhuwah, Selamatkan Indonesia dengan Da'wah" di Aula Masjid Al Furqon, Kramat Raya 45, pada 8 November dua tahun lalu.

Menurut Kyai Cholil yang juga ketua MUI, dulu Nabi SAW menjadikan masjid sebagai pusat segala kegiatan. ‘’Dari mulai shalat hingga latihan perang," ujar pimpinan Ponpes Husnayain, Pasar Rebo, Jakarta Timur. 

Karena itu, Kyai Cholil berharap Dewan Da'wah khususnya dan Ummat Islam umumnya menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan.

Seruan Kyai Cholil memang sudah menjadi agenda mendesak untuk memajukan ummat. Mengingat, potensi masjid di Tanah Air yang demikian besar namun masih jauh dari optimal pemanfaatannya. Misalnya untuk dijadikan sebagai basis perekonomian ummat.

Di negara lain seperti Turki, masjid terbukti sukses sebagai basis ekonomi masyarakat. Misalnya Masjid As Shofiyah, Istanbul, yang di sekitarnya dibangun restoran-restoran waralaba yang sebagian keuntungannya untuk operasional masjid. Termasuk menggaji para ulama setempat.

Sedangkan di Indonesia, kini tercatat sekitar 679 ribu masjid berukuran besar. 70% diantaranya sudah bersertifikat tanah wakaf. Dari jumlah itu, 20% berhalaman luas tapi belum optimal difungsikan. Lahan nganggur itu, bila dijumlah, mencapai 200 km persegi atau seluas Singapura!


www.suara-islam.com


1 komentar:

  1. Mushola Al Ma'ruf di BTN handayani, Becora. Itu dulu mushola depan rumahq. T_T

    BalasHapus

Related Posts with Thumbnails