(Potret Agama dan Sosial)
Apabila kita melihat fenomena kepluralan yang ada di sekitar kita, baik di wilayah cara pandang hingga pada amaliah, sering ditemui “pergulatan” yang mengedepankan “ke-aku-an”, sehingga manakala kubu-kubu yang berbeda dipertemukan dalam “satu meja”, yang demikian bukan saja menjadi masalah yang mempersulit untuk tercapainya toleransi, namun juga menjadikan sebuah “persinggungan” yang lain. Adanya pertemuan keragaman yang demikian bukannya menjadi perenungan akan kenyataan dalam kehidupan, malah seolah perbedaan adalah sebuah benda sandungan yang harus disingkarkan jauh-jauh. Tentu bagi yang menyadari akan fakta ketidaksamaan, memandang kondisi yang demikian akan miris dan sakit. Terlebih lagi telah banyak pakar sosial dan tokoh agama yang mencoba mengusahakan mengentaskan problematika tersebut, namun hingga hari ini masih saja ditemui ketidakakuran, baik individu maupun kelompok. Pada sisi yang lain, adanya pihak yang untuk menjelaskan apa itu pluralisme saja menggunakan penyampaian yang sulit dipahami oleh umum, lebih memainkan kata-kata yang terkesan berat agar dianggap hebat, yang kemudian melahirkan multi tafsir dari audiensnya, yang tanpa disadari menimbulkan “pertarungan” sendiri di antara penafsir-penafsirnya.
Ironisnya lagi, ada pula kalangan pemuka agama maupun para ilmuwan yang justru terjerumus di jurang polemik atas “kepluralan”, yang berlanjut konflik di bawahnya. Semisal, ada pihak dari kalangan ilmuwan yang berusaha melakukan “perekatan” antara agama-agama yang berbeda dengan memberikan argumen bahwasanya semua agama benar dan hanya beda jalan, namun atas pernyataan ilmuwan itu, muncul penolakan dari tokoh agama, dan tokoh agama menganggap pernyataan yang demikian adalah sebuah pelecehan atas kepercayaan masing-masing orang. Tidak mau kalah karena dianggap sebagai penoda agama oleh pihak dari tokoh agama, ilmuwan itu kemudian membuat analogi yang berbeda dengan tokoh agama tentang penodaan atau pelecehan agama. Dari sini berlanjutlah “polemik keras” di antara kedua tokoh itu, hingga berlanjut di kalangan para pengagum-pengagum keduanya. Dengan demikian, sampai sekarang, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain di seluruh dunia, tak terkecuali negara yang konon sangat moderat seperti Amerika, seolah “pluralisme” adalah mutiara yang belum ditemukan. Kalau analogi ini kurang sesuai, maka dengan analogi yang sedikit berbeda, ‘pluralisme” adalah benda yang belum bisa tersentuh secara keseluruhan.
Melalui sedikit alasan di atas, hati saya merasa sangat miris. Oleh karena itulah saya mencoba menawarkan pengertian pluralisme yang saya miliki. Bagi saya, untuk kata “isme”, di sini dipahaminya sebagai kesepakatan. Sehingga saya memahami pluralisme adalah, kesepakatan akan realitas kepluralan. Pengertian pluralisme dari saya memang berbeda dengan istilah yang ada, baik Wikipedia, kamus bahasa Indonesia, maupun buku-buku yang lain. Perbedaan memberikan istilah akan pluralisme ini semoga tidak menjadi tambahan masalah, melainkan dapat dijadikan sebagai “warna lain” dari warna yang ada dalam pengertian “pluralisme”, berharap akan mempercantiknya. Saya mempunyai pengertian yang demikian, karena saya memiliki diri saya sendiri, dan saya mempunyai hak untuk tidak sama. Akan tetapi, pada dasarnya pemahaman saya pun bukanlah hal baru, mengingat di Indonesia sendiri telah lama menslogankan akan terjalinnya persatuan dalam perbedaan, “Bhineka Tunggal Ika.”
Langsung saja. Bagi saya, menyamakan semua agama, atau menganggap semua agama itu benar, itu adalah singularisme. Sedangkan pluralisme menurut saya adalah, menganggap semua agama yang ada di alam ini, itu memang benar nyata keberadaannya. Sehingga pluralisme akan meyakini dan memercayai bahwasanya perbedaan merupakan hukum alam (ciptaan Tuhan), yang bertujuan agar saling kenal dan mengenali, bukan justru memaksakan membuat kesamaan. Pun mereka bisa saling berjalan beriringan tanpa kehilangan warnanya masing-masing. Pentingnya memahami pluralisme, dikarenakan kepercayaan dengan Tuhan merupakan sesuatu yang metafisik yang tidak mungkin dipaksakan antara satu dengan lainnya.
Dengan demikian, diharapkan melalui “pluralisme yang saya maksudkan”, dari masing-masing agama memiliki kepercayaan diri dalam ritualnya masing-masing, tanpa merusak penciptaan warna-warni Tuhan. Dengan kata lain, sosial maksimal tanpa menutupi apalagi mengubah identitasnya masing-masing.
Mudahnya, yang Islam percaya diri dengan identitas Islamnya, yang Kristen, Budha, Hindu, Katolik, dan agama yang lain juga demikian. Semua boleh membuka warnanya masing-masing dengan semangat sosial yang tinggi yang berprinsip pada hakekat “penciptaan”. Sehingga orang Islam yang hidup di kalangan non muslim bisa diajak dan mau bekerjasama tanpa kehilangan keyakinannya. Begitu sebaliknya, orang non Islam yang berada di kalangan orang-orang Islam juga dapat hidup bersama tanpa kehilangan kepercayaannya bahkan boleh menunjukkan identitasnya tanpa ragu apalagi takut! Baik di kalangan formal maupun kultural, toleransi mutlak dipegang erat!!!!
Sedikit bercerita….
Saya, dengan sangat percaya diri, mengatakan bahwasanya diri saya adalah seorang muslim. Saya memiliki sahabat karib Tionghoa bernama Rudi. Dia beragama non muslim. Kemana-mana, saya sering bersama dia. Saya sering berdiskusi dengannya, dari masalah politik, sosial, tentang agama (baik agama yang saya anut, yang dia anut, juga agama yang lain), maupun tema-tema lain yang sedang hangat di masyarakat.
Saya, dengan sangat percaya diri, mengatakan bahwasanya diri saya adalah seorang muslim. Saya memiliki sahabat karib Tionghoa bernama Rudi. Dia beragama non muslim. Kemana-mana, saya sering bersama dia. Saya sering berdiskusi dengannya, dari masalah politik, sosial, tentang agama (baik agama yang saya anut, yang dia anut, juga agama yang lain), maupun tema-tema lain yang sedang hangat di masyarakat.
Saya seringkali tidur di rumahnya, begitupun sebaliknya dengan dia. Kami juga sering tidur bersama, minum satu gelas (join) dan lainnya.
Namun demikian, keyakinan yang berbeda antara saya dan Rudi sama sekali tidak mempengaruhi jalinan persahabatan kami. Dia yang bangga dengan kalung salibnya, dan saya yang suka dengan kopyah kultur Arabnya, sama-sama tidak luntur. Bahkan saya juga sering sholat di rumahnya yang dipenuhi dengan aksesoris salib. Saya juga pernah beberapa kali di tempatnya membaca Al-Qur’an dengan suara yang “merdu” (dilantunkan dengan suara yang cukup terdengar). Begitu halnya Rudi, teman dekat saya ini juga sering melantunkan lagu-lagu gereja di tempat saya.
Tentunya, dengan perbedaan keyakinan ini, saya pernah berkata kepada sahabat saya, Rudi, kalau orang di luar Islam pasti masuk neraka, termasuk Rudi. Pun dengan Rudi, dengan membawa keyakinannya, mengatakan yang sebaliknya akan hal itu. Dia berkata kalau saya pasti masuk neraka, melihat agama yang dianut. Melalui perbedaan yang berasas saling menghormati atas nama ciptaan Tuhan, hubungan kami tetap terjalin dan mesra selayaknya seorang teman. Inilah pluralisme agama yang saya maksud. Langkah ini juga bisa dikembangkan lebih luas pada perbedaan-perbedaan yang lain….
NB: Warna-warni Tuhan adalah bukti cinta Tuhan. Apabila Tuhan tidak memaksa kepada yang diciptakan untuk menyembah-Nya, mengapa justru dari yang diciptakanlah yang saling memaksa untuk menyembah pencipta-Nya. Biarlah masing-masing dari kita menentukan pilihannya masing-masing….
Oleh:
Wahyu NH. Al_AlySumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar