PLURALISME BUKAN SOLUSI; (Tanggapan terhadap tulisan Teuku Jafar Muhammmad Sulaiman)
Written By|Muhammad Husni Mukhtar[1]
Teuku Jafar Muhammad Sulaiman (TJMS) dalam tulisannya “Syariat Islam Tidak Perlu Dibela” mengemukakan pendapatnya tentang penerapan Syariat Islam di Aceh. Menurutnya, Syariat Islam yang sedang berjalan di Aceh saat ini masih perlu kita “rekayasa”—begitu bahasa yang Teuku Jafar gunakan. Untuk menguatkan pendapatnya, TJMS tidak sungkan-sungkan mengutip beberapa pendapat pakar untuk ‘melegalisasi’ pandanganya.
Apa yang TJMS tawarkan dalam tulisan tersebut sama sekali tidak ada hal baru. Gaung pluralisme sudah lama terdengar di berbagai belahan dunia Islam. Para ulama Islam pun sudah menulis karangan-karangan yang menolak pemikiran-pemikiran seperti itu. Namun, kali ini tulisan tersebut ingin membangkitkan pemikiran-pemikiran itu dalam konteks pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Bolehlah akhirnya kita katakan tulisan itu sebagai sebuah ide tua, namun sedang dimainkan di lapangan baru.
Pemikiran TJMS yang dituangkan dalam tulisan tersebut tak lebih dari sebuah penerapan dari pandangan para orientalis terhadap Islam. Sayangnya, penerapan tersebut tidak melalui sebuah analisa yang ilmiah. Dalam literatur Islam, mengikuti pendapat seseorang tanpa menganalisa terlebih dahulu, biasa kita kenal dengan istilah “taklid”.
Dalam pembahasan tentang syariat Islam, sangatlah perlu untuk kita tampilkan juga referensi utama dari Islam itu sendiri. Namun, hal ini tidak saya jumpai dalam tulisan TJMS. TJMS hanya mengutip pendapat dari Charles Kimball, lalu menunjuk Taliban sebagai sebuah contoh kegagalan penerapan Syariat Islam dalam sebuah negara.
Syariat Islam membawa kebaikan
Dalam paragraf pertama TJMS menuliskan ” …karena ada hukum Tuhan lainnya yang bermain di sini, yaitu perubahan ke arah yang lebih baik dan itu adalah sunnatullah.” Kalimat ini Jafar gunakan untuk membuktikan bahwa bila tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik, pertanda ada yang salah. Dari sini dapat dipahami bahwa bila penerapan Syariat Islam tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik, bisa jadi Syariat Islam boleh dihapuskan. lalu pernyataan TJMS: “… dan apabila sampai pada pembahasan bahwa dengan Syariat Islam itu pula kebaikan tidak bisa terwujud, apakah Syariat Islam perlu dihapuskan? Bisa jadi ya.”
Benar, bahwa kehidupan ini akan selalu mengalami perubahan, tidak ada yang tetap. Tapi, tidak ada yang mengatakan bahwa perubahan itu selalu ke arah kebaikan. Adakalanya perubahan yang terjadi malah menuju kemunduran dan kehancuran. Sehingga, yang menjadi sunnatullah adalah perubahan yang mutlak. Tanpa ada keharusan untuk menuju kebaikan atau kerusakan.
Lain halnya bila yang TJMS maksudkan adalah fitrah manusia yang selalu menginginkan perubahan ke arah kebaikan. Pernyataan seperti ini ma’qul (masuk akal), karena secara naluri kita memang selalu menginginkan kebaikan dan kedamaian. Sehingga menjadikan perubahan kea rah kebaikan itu sendiri bukanlah sebuah ukuran yang tepat untuk mengukur sukses tidaknya pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Selanjutnya mengenai ukuran “kebaikan” yang TJMS maksud itu sendiri, menyebutkan bahwa ukuran apa yang akan digunakan untuk menentukan arah perkembangan Syariat Islam di Aceh. Apakah dengan melihat dari segi keamanan, atau ekonomi, atau pendidikan, ataupun dari segi pengaruhnya terhadap jumlah tindak kriminal judi dan khamar?
Satu hal yang saya ketahui, jumlah tindak kriminal judi dan khamar menyusut tajam setelah pelaksanaan qanun maisir dan judi. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh Prof. Muslim Ibrahim ketika berkunjung ke Kairo, tepatnya dalam dialog yang dilaksanakan oleh mahasiswa Indonesia di Mesir. Apakah hal ini bisa termasuk ke dalam “kebaikan” yang dimaksudkan oleh TJMS?
Pasca penerapan Syariat Islam, baru ada dua qanun yang pengaruhnya bisa kita lihat secara jelas. Salah satunya adalah qanun Maisir dan Khamar. Seperti yang saya sebutkan di atas, penerapan qanun ini telah membawa perubahan ke arah kebaikan. Artinya, qanun ini layak untuk dipertahankan. Kecuali jika berkurangnya judi dan khamar tersebut, tidak dianggap sebagai sebuah kebaikan.
Kemudian yang kedua adalah qanun jinayat. Walaupun sudah disahkan oleh DPRA pada 14 September 2009, namun timbul banyak pertentangan terhadap pelaksanaannya. Hingga saat ini setahu saya qanun tersebut belum diterapkan. Sehingga, untuk mengetahui apakah qanun ini membawa kebaikan atau tidak, masih belum tiba saatnya. Namun demikian, dari segi konsep yang ditawarkan oleh qanun tersebut kita dapat memprediksi ke arah mana perubahan yang akan terjadi.
Sampai di sini, saya menyimpulkan bahwa Syariat Islam yang sedang berjalan tidak menunjukkan perubahan Aceh ke arah yang tidak baik. Tapi, bila ada yang mengatakan sebaliknya dengan alasan bahwa saat ini khalwat di masyarakat kian menjadi-jadi, saya akan menjelaskan hal tersebut pada paragraf-paragraf selanjutnya.
Islam tidak pernah dan tidak akan menjadi evil
Dengan mengutip pendapat Charless Kimball, TJMS juga menyimpulkan bahwa Syariat Islam harus kita bersihkan dari beberapa sifat yang disebutkan oleh Charles Kimball. Pertanyaan saya, apakah sifat-sifat tersebut terkandung dalam ajaran Islam? Apakah menjalankan Syariat Islam akan menjadikan Islam jahat dan corrupt? Saya kira tidak pada tempatnya untuk berbicara panjang lebar tentang masalah tersebut dalam tulisan ini. Terlebih lagi, sebagai sesama muslim Aceh kita dengan mudah dapat menemukan apa yang terkandung dalam Islam.
Tanda pertama dari lima tanda yang TJMS kutip adalah: “bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Bila hal ini terjadi, agama tersebut akan membuat apa saja untuk membenarkan dan mendukung klaim kebenarannya.”
Apa artinya bila seseorang mengaku beragama Islam, namun tidak yakin bahwa Islamlah agama yang paling benar? Pengakuan bahwa ada agama lain yang benar selain Islam, sama saja mengatakan bahwa ada Tuhan lain selain Allah. Na’uzubillah min zalik. Dengan kata lain, prinsip tersebut bertolak belakang dengan prinsip “la ilaha illallah” . Sehingga menjadi wajar bila MUI mengeluarkan fatwa mengharamkan pluralisme.
Abdul Moqsith Ghazali sendiri dalam sebuah tulisannya[2]mengakui bahwa pluralisme agama itu sebenarnya adalah sebuah bentuk pengakuan terhadap eksistensi agama lain, dan berlaku adil terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan. Jadi, pluralisme sama sekali tidak mengatakan bahwa semua agama itu sama. Frans Magnis Suseno, sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Moqsith Ghazali, juga berpendapat bahwa menghormati agama lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama sama.
Selain itu kita juga mengenal bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai toleransi. Prinsip “la ikraha fid din” menjadi semacam peraturan inti dalam penyebaran agama Islam. Selain itu, “lakum dinukum wa liyadin” menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap keyakinan para non-muslim. Sehingga agama Islam bisa dikatakan adalah pelopor utama dalam hal toleransi beragama. Bahkan, saya mengatakan bahwa Islam mendukung semangat pluralisme, selama pluralisme di sini tidak berarti mengakui kebenaran agama selain agama Islam.
Sehingga apa yang dikatakan oleh Charles Kimball sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Semua orang Islam pasti dan mesti meyakini bahwa tidak ada agama yang haq selain Islam. Namun, dalam Islam tidak ada anjuran untuk memaksa orang lain menjadi Islam atau menganiaya pemeluk agama lain.
Tanda kedua yang disebutkan oleh Teuku Jafar mengatakan bahwa agama menjadi jahat dan corrupt ketika muncul ketaatan buta terhadap pemimpin mereka. Hal ini sama sekali tidak kita dapati dalam sejarah Islam, apalagi dalam ajaran Islam. Sejarah kehidupan Rasulullah Saw. dan Khulafa’ Ar-Rasyidin secara gamblang menceritakan tentang kehidupan yang sangat demokratis. Jauh dari nilai-nilai otoriter dan taklid buta.
Lagi-lagi alasan ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Islam membolehkan rakyatnya untuk menolak tunduk kepada pemimpin bilamana pemimpin tersebut berada di luar koridor Islam. Sehingga kekhawatiran seperti ini sama sekali tidak perlu ada. Islam itu aman, damai, dan demokratis.
Tanda ketiga yang menunjukkan agama bisa menjadi jahat menurut Kimball adalah ketika agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut kedalam zaman sekarang.
Semua manusia merindukan hadirnya sebuah zaman yang ideal. Tidak ada yang salah dengan keinginan tersebut. Walaupun, kita akui bahwa ukuran ideal tersebut berbeda-beda. Mempunyai mimpi untuk memiliki masa depan yang ideal menjadi semangat yang mendasari usaha kita untuk terus menjadi lebih baik.
Seseorang yang hari ini hidup dalam kekurangan, pasti merindukan suatu saat untuk bisa menikmati hidup yang ideal. Apalagi seseorang yang pernah merasakan kehidupan yang ideal, tentu saja keinginan untuk kembali mendapatkan kondisi ideal tersebut ada. Bahkan, bisa jadi lebih besar dari keinginan orang lain.
Islam selama berabad-abad telah merasakan kehidupan yang ideal. Peradaban besar yang Islam wariskan untuk kemanusiaan telah menyelamatkan manusia dari masa kegelapan. Sedangkan pada hari ini kondisi umat Islam sedang berada pada posisi yang lemah. Lalu apakah salah bila umat Islam merindukan kembalinya masa-masa gemilang seperti dulu? Apakah salah bila umat Islam menginginkan hukum-hukum Islam kembali ditegakkan, sehingga mereka bisa menjalankan kehidupan beragama dengan damai dan harmonis?
TJMS mengatakan: ” Zaman ideal itu berlawanan dengan zaman sekarang ketika pemeluk agama hidup, yaitu suatu zaman yang penuh dengan dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian dan kesia-sian.” Ini pernyataan yang salah. Dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian dan kesia-sian juga ada pada zaman dulu. Namun, hukum yang berlaku saat itu mampu mengendalikan hal-hal tersebut. Sehingga, walaupun dosa, kesombongan dan sebagainya terdapat dalam masyarakat, tidak sampai menguasai masyarakat.
Pada zaman sekarang, dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian dan kesia-sian itu masih ada. Tapi, hukum yang ada sekarang tidak mampu menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Sehingga akhirnya masyarakat dikuasai oleh hal-hal negatif tersebut. Oleh karena itu, langkah yang paling bijak yang harus kita ambil adalah menghadirkan kembali hukum (syari’at) yang terbukti mampu mengendalikan dosa, kesombongan tersebut.
Kerinduan terhadap zaman kegemilangan Islam adalah kerinduan terhadap zaman keharmonisan dan toleransi antar agama. Muslim, Kristen, dan Yahudi pernah hidup berdampingan dengan damai di bawah naungan hukum Islam. Hari ini, kita semua bermimpi agar masa-masa indah itu kembali, agar pertikaian berdarah antar agama tak lagi ada.
Mengenai masalah perlunya mendirikan sebuah negara Islam, menurut saya adalah suatu keharusan. Namun, saya tidak menyangkal bahwa masalah ini masih bisa kita diskusikan. Mengingat masih ada silang pendapat tentang perlu tidaknya mendirikan sebuah negara Islam. Namun yang pelu kita ingat bahwa berdirinya negara Islam, sama sekali tidak berarti akan terjadi penindasan terhadap agama lain. Buang jauh-jauh pemikiran seperti itu.
Tentang tanda keempat, TJMS menuliskan pendapat Kimball sebagai berikut: ” Tanda keempat tentang agama komponen-komponen dari agama sendiri yang korup adalah apabila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara.” Hal ini tentu saja tidak diakui dalam Islam.
Ketika Islam membebankan kepada umatnya dengan suatu kewajiban, Islam juga menjelaskan sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh kita gunakan. Sehingga, bila seseorang melaksanakan kewajibannya dengan menggunakan sarana yang salah, dia tetap akan dianggap bersalah. Seseorang yang meledakkan bom dengan niat berjihad, tidak bisa dibenarkan jika korban yang jatuh adalah orang Islam sendiri, ataupun kafir dzimmi.Jihad ada aturannya dalam Islam. Begitu juga pencuri tidak bisa membenarkan perbuatannya dengan alasan hasil curiannya digunakan untuk membangun mesjid. Dia tetap dianggap pencuri dan berhak mendapat hukuman.
Lagi-lagi tanda seperti ini tidak ada dalam Islam. Sehingga Islam tidak akan pernah menjadi evil , sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Kimball.
Tanda terakhir, diungkapkan oleh TJMS sebagai berikut: ” Dan ketika perang telah dipekikkan itulah tanda kelima bahwa agama telah mejadi korup dan jahat.” Jangankan umat Islam, semut pun akan membalas bila disakiti dan diserang.
Selama 13 tahun rasulullah Saw. Bersama para sahabat bersabar menghadapi gangguan dan penzaliman dari pihak Qurays di Mekah. Baru ketika sampai ke Madinah umat Islam mendapatkan perintah untuk membela diri dengan mengangkat senjata. Ini menunjukkan bahwa perang dalam Islam adalah perang untuk membela diri, bukan bertujuan untuk penjajahan.
Bila hari ini kita menyaksikan perang Iraq, Afghanistan, Palestina dan lain-lain, jelas terlihat bahwa umat muslim di sana sedang melakukan perjuangan membela agama dan tanah air mereka. Sekali lagi, perang dalam Islam bukanlah senjata utama dalam penyebaran Islam. Para orientalis tahu tentang hal ini. Namun, kebencian sebagian mereka terhadap Islam telah mengalahkan kejujuran mereka.
Penjelasan saya terhadap tanda-tanda di atas adalah penjelasan tentang konsep yang saya pahami dari Islam. Ini adalah penjelasan tentang sebuah “car” yang bernama Islam. Tanda-tanda di atas jelas sekali tidak terdapat dalam Islam. Sehingga, kekhawatiran akan ke-evil-an Islam bisa dikatakan sebagai sesuatu yang berlebihan, tidak mendasar, dan terlalu mengada-ada.
Dari sini saya juga menyimpulkan bahwa solusi pluralisme yang ditawarkan oleh Teuku Jafar, tidak pada tempatnya. Islam telah mengenal toleransi agama lebih dari apa yang dipahami oleh kaum pluralis. Pluralisme mungkin saja cocok untuk agama Kristen atau Yahudi, tapi tidak untuk Islam. Toleransi Islam adalah toleransi tanpa kehilangan harga diri. Sedangkan pluralisme adalah toleransi yang mengajarkan untuk membuang rasa percaya diri bahwa agama kita adalah yang paling benar.
Blame the driver, not the car
Bila kita menyalahkan mobil, atau menuntut perusahaan yang memproduksi mobil, kita telah melakukan langkah yang salah. Kenapa salah? Karena mobil yang telah membawa perubahan yang tidak baik bagi kita, pada dasarnya tidak diciptakan dengan tujuan tersebut. Sebaliknya, langkah bijak yang bisa kita ambil adalah menuntut si driver.
Kecuali, jika kita telah memeriksa mobil tersebut dan menemukan bahwa mobil tersebut tidak dilengkapi dengan standar keamanan yang memadai. Bila demikian, peraturannya berubah. Blame the carnot the driver, atau blame both the carand the driver. Kesalahan sidriverjika dia sengaja mengemudikan mobil tersebut, walaupun dia tahu bahwa mobil itu cacat yang bisa membawa perubahan tidak baik terhadap orang lain.
Secara umum, sah-sah saja bila muncul kekecewaan terhadap orang-orang yang berjuang atas nama Islam, namun bukan dengan cara yang islami. Hanya saja, kekecewaan ini seharusnya mengembalikan kita kepada Islam yang sebenarnya. Bukan malah mencari solusi dari para orientalis yang tidak ada hubungan antara mereka dengan Islam. Secanggih apapun pemikiran mereka, yang ditawarkan kepada kita hanyalah pengalaman mereka dari masa kegelapan yang telah mereka lalui. Padahal, khazanah Islam begitu kaya dengan solusi dan sarana untuk menuju kehidupan yang islami, kehidupan yang ideal.
Teuku Jafar juga mengatakan: ” Keinginanan dan pembenaran itu biasanya mendorong para pemeluknya untuk mendirikan suatu negara agama, negara teokratis. Sejarah menunjukkan betapa fatal jika negara teokratis itu benar-benar diwujudkan.” Dari mana TJMS menyimpulkan bahwa negara Islam adalah negara otokrasi?
Sejak awal berdirinya negara Islam Madinah, rasulullah Saw. sudah mengenal sistem musyawarah. Pada saat itu juga sudah terbentuk sebuah badan musyawarah yang terdiri dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan beberapa sahabat yang lain[3]. Sehingga, pendapat yang mengatakan negara Islam adalah negara otokrasi hanyalah tuduhan belaka.
Teuku Jafar juga menjadikan kekuasaan Taliban di Afghanistan sebagai contoh berbahaya dari penerapan Syariat Islam sebagai hukum negara. Kita tidak sedang berdebat tentang benar tidaknya cara pemerintahan Taliban. Namun, yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa Taliban hanyalah salah satu “driver” dari Islam. Bila memang Taliban melakukan kesalahan, bisa saja apa yang Taliban lakukan tidak sesuai dengan konsep dasar dalam Islam. Sehingga tidak layak kesalahan mereka dijadikan alasan untuk mendukung pendapat ketidaklayakan penerapan Syariat Islam dalam kehidupan bernegara.
Sama kejadiannya bila seorang polisi melakukan pungutan liar di jalan. Salah besar jika kita menuntut korps kepolisian karena telah menyuruh anggotanya untuk melakukan pungutan liar. Salahkan si polisi yang jahat tadi, bukan korps kepolisian! Sebagaimana Islam membawa kedamaian ke dunia, begitu juga kepolisian menjaga kedamaian dalam masyarakat. Bila ada salah satu indvidu yang bernaung dibawah institusi Islam atau kepolisian melakukan kejahatan, salahkan individu tersebut. Bukan institusinya.
Penutup
Menjadikan ide pluralisme sebagai jalan keluar terhadap permasalahan Islam di Aceh adalah tindakan yang salah. Saya katakan salah karena tiga hal; Pertama, karena akidah seorang muslim mustahil bisa menerima ide pluralisme. Tidak ada seseorang yang mengaku muslim namun pada saat yang sama dia juga mengakui bahwa Kristen, Yahudi, Hindu dan lain-lain adalah agama yang benar. Kedua, bila memang selama ini Islam terkesan tidak humanis dan cap-cap jelek lainya, maka kesalahannya bukan pada konsep Islam karena Islam adalah agama yang sudah sempurna. Sehingga yang harus dikritisi adalah pemahaman kita terhadap Islam. Ketiga, permasalahan yang ada di Aceh pada hari ini (pluralisme) bukanlah hal yang baru. Mari kita buka kembali khazanah Islam untuk menemukan solusi Islami yang tepat untuk Aceh. Tanpa perlu mengikuti jalan pikiran para orientalis.
Solusi yang kita butuhkan saat ini adalah kembali ke nilai-nilai Islam yang murni. Nilai-nilai yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw dan penerusnya. Mari hindari anarkisme dalam menjalankan Syariat Islam. Tunjukkan toleransi tanpa harus kehilangan jati diri sebagai agama yang paling benar.
Di akhir tulisan ini saya mengutip ajaran Al-Quran dalam surat Ali Imran ayat 149, yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.”[4] Shadaqallahul adhim wa rasuluhul karim.[]
Tulisan ini sudah di muat di: http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=815:pluralisme-bukan-solusi-tanggapan-terhadap-tulisan-teuku-jafar-muhammmad-sulaiman&catid=133:paradigma&itemid=280
——————————————————————————–
1] Penulis adalah Mahasiswa Aceh di Al-Azhar University, Kairo. Alumnus MA Ruhul Islam Anak Bangsa. Selain itu saat ini juga tercatat sebagai salah satu penggiat diskusi di Zawiyah KMA Mesir.
[2] http://islamlib.com/id/artikel/islam-dan-pluralitasisme-agama/
[3] Salahuddin Basyuni Ruslan. Qawanin AL-Wizarah ‘inda Al-Mawardi, Penerbit Nahdhah Al-Syarq. Kairo, t.t. Hal. 8
[4] Al-quran dan terjemahannya, komplek Percertakan Mushaf Raja Fahd. Madinah. 1412 H. Hal. 100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar