Kisah Gagak Hitam dan Merpati Putih
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (podium kanan) menyampaikan kata pengantar saat menerima sejumlah Tokoh dan Pemuka Lintas Agama di Istana Negara, Jakarta, Senin (17/1) malam. (ANTARA/Widodo S. Jusuf)
Merpati itu pulang. Ia telah terbang sepanjang malam dan tak menemukan tempat istirhat. Semalaman dia terbang di atas laut yang bergolak, dan di bawah atap kapal.
Ia terbang dan melakukan pencarian sepenuh hati, hanya untuk satu tujuan; memperbesar dan mempercantik tempat tidur sang harimau, demi perdamaian.
Tiga hari kemudian, si burung gagak mencoba terbang. Warna gagak itu seperti laba-laba. Namun, bukan awan yang dia temui. Hanya lumpur, tempat dia berjalan tertatih.
Dalam kisah lainnya, seekor gagak hitam bertengger di luar rumah. Burung itu mengamati seseorang yang sedang menulis puisi tentang merpati putih yang selalu memimpikan perdamaian dan hal-hal baik.
Gagak hitam ingin sekali menjadi merpati putih, dan bergelut dengan segala hal tentang kebaikan.
Namun apa daya, di luar jendela, si gagak hitam hanya mampu menatap sang penyair, sambil membayangkan bagaimana rasanya memiliki hati yang penuh kasih.
Dua penggal cerita itu adalah intisari dari buah pena pujangga asal Amerika Serikat, Robert Bly, dan penyair muda Sonya Florentino.
Kedua pujangga itu menerapkan prinsip-prinsip semiotika ketika bercerita tentang merpati putih dan gagak hitam.
Dalam puisi bertajuk "Where We Must Look For Help", Robert Bly menyandingkan merpati dengan hal-hal yang secara umum dianggap sebagai kebaikan. Misalnya, dia berkisah bahwa merpati rela terbang semalam suntuk dalam upaya memperbaiki ranjang sang harimau, demi perdamaian.
Sonya Florentino melakukan hal yang sama dalam puisi "Black Crow (The Outsider)". Ia jelas-jelas menyatakan, gagak hitam tidak akrab dengan kasih dan perdamaian. Alhasil, sang gagak hitam hanya bisa bertengger dan menyaksikan seorang yang sedang menulis puisi tentang merpati putih, sambil membayangkan bagaimana rasanya memiliki hati yang penuh kasih.
Di Indonesia, akhir-akhir ini, istilah gagak hitam dan merpati putih juga diusung oleh Sekretaris Kabinet, Dipo Alam.
Dalam pernyataan yang dimuat di sejumlah media massa, Dipo secara tegas manyandingkan beberapa tokoh lintas agama dengan gagak hitam dan merpati putih.
"Tapi mereka ini seperti gagak hitam yang berpenampilan merpati putih. Mereka berpolitik praktis dengan label tokoh agama," kata Dipo.
Dipo tersinggung dengan pernyataan dan tindakan para tokoh agama yang gencar mengkritisi pemerintah. Para tokoh lintas agama menyatakan, pemerintah telah gagal dalam memenuhi sejumlah janji yang dibuat di hadapan rakyat.
Mantan aktivis mahasiswa itu menganggap tindakan para tokoh lintas agama adalah kegiatan politik. Oleh karena itu, Dipo mengusulkan agar para tokoh agama itu mendirikan partai politik atau organisasi kemasyarakatan, sehingga masyarakat benar-benar bisa membedakan antara kegiatan moral dan kegiatan politik.
"Itu sama dengan gagak hitam yang tampil seperti merpati putih. Masyarakat tidak boleh dibuat bingung yang mana gagak dan yang mana merpati," katanya dalam kesempatan lain.
Hati Nurani
Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo A. Benny Susetyo menanggapi pernyataan Dipo Alam. Romo Benny yang juga aktivis lintas agama itu menyatakan, perjuangannya dan beberapa pemuka agama adalah perjuangan yang berdasarkan hati nurani.
Menurut dia, kegiatan yang berdasarkan hati nurani berbeda dengan kegiatan politik kekuasaan.
Hati nurani, katanya, selalu membimbing seseorang untuk memperjuangkan yang tertindas dan tidak menempatkan kekuasaan sebagai hal utama. Sedangkan politik selalu berorientasi pada kekuasaan.
"Saya tidak ingin jadi menteri atau jadi apa-apa, saya ini pastor," katanya.
Menurut dia, gereja katolik memberi batasan tegas bahwa seorang pastor tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik yang berorientasi kekuasaan.
Dia menjelaskan, Imam atau Pastor memiliki tiga tugas utama, yaitu tugas menguduskan dunia, tugas kenabian melalui pewartaan keadilan, dan tugas gembala dengan melindungi sesama terutama yang lemah.
Sementara itu, Anggota Presidium KWI, Mgr. P.C. Mandagi menyatakan, KWI mendukung sepenuhnya upaya tokoh lintas agama yang memperjuangkan keadilan bagi rakyat Indonesia.
"KWI mendukung sepenuhnya. Kalau kita tidak bersuara, maka itu bukan KWI," katanya.
Perjuangan tokoh-tokoh lintas agama, kata Pastor Mandagi, adalah perjuangan moral. Perjuangan itu merupakan upaya para tokoh agama untuk mengingatkan pemerintah bahwa ada sesuatu yang salah.
Dia menegaskan, tokoh lintas agama hendak mengingatkan bahwa seharusnya pemerintah bekerja keras dalam menyejahterakan dan menyatukan rakyat.
"Seharusnya pemerintah bersyukur ada tokoh agama yang mau mengingatkan," katanya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengatakan masing-masing tokoh agama sudah memiliki organisasi, sehingga pembentukan organisasi politik, seperti yang diusulkan oleh Dipo Alam, tidak diperlukan.
Din sebaliknya menyatakan pernyataan Dipo Alam merupakan pengalihan isu dari apa yang telah dinyatakan para tokoh lintas agama.
"Saya tidak punya waktu melayani tuduhan seperti itu karena bersifat mengalihkan perhatian orang, sikap seperti itu hanya menunjukan kekerdilan politik, maka saya tidak mau melayani," katanya.
Tak berselang lama dari "perseteruan" antara pemerintah dan tokoh lintas agama, tragedi bernuansa perbedaan keyakinan meletus di Cikeusik dan Temanggung.
Kekerasan di Cikeusik, Banten, terjadi setelah massa menyerbu sebuah rumah yang diduga sebagai pusat kegiatan aliran Ahmadiyah. Empat orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka akibat peristiwa tersebut.
Sementara itu, kekerasan di Temanggung, Jawa Tengah, terjadi setelah sidang kasus penistaan agama di pengadilan setempat. Massa yang tidak terima dengan proses persidangan merusak dan membakar sejumlah fasilitas umum, termasuk sejumlah gereja.
Kedua kasus itu "telanjang bulat". Masyarakat bisa dengan mudah melihat siapa yang menyerang dan siapa yang diserang. Masyarakat juga manyaksikan kerusakan, kerugian, dan nestapa yang timbul akibat serangan itu.
Belum ada aparat pemerintah yang menyematkan istilah "gagak hitam" kepada kelompok penyerang yang mematikan itu. Gelar "gagak hitam" justru disematkan pada tokoh lintas agama yang gigih berjuang melalui jalur damai.
Sekali lagi, belum ada aparat pemerintah yang berani menuding kelompok tertentu sebagai "gagak hitam" serta menindak otak kekerasan di Cikeusik dan Temanggung yang nyata-nyata telah membuat sejumlah orang meregang nyawa, serta menanggung duka nestapa.
F.x. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: B Kunto WibisonoSumber: antaranews.com
Editor: B Kunto WibisonoSumber: antaranews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar