Mentari belum juga menampakkan dirinya pagi itu. Tapi pantai Tropical di ujung barat pulau Sumbawa sudah dipenuhi nelayan dan masyarakat sekitar pantai, lengkap dengan jaring dan perahu.
Pagi itu tepat pertengahan bulan Februari 2009, diramalkan merupakan hari dimana cacing laut yang biasa mereka sebut sebagai Nyale, akan keluar.
Nyale atau disebut Bau Nyale di Lombok, sebenarnya merupakan upacara perburuan cacing laut untuk menyambut Pasola. Biasanya acara ini diselenggrakan sekitar bulan Februari dan Maret. Untuk menyambutnya biasanya masyarakat telah melakukan berbagai macam ritual dari jauh-jauh hari. Salah satunya dilakukan di rumah masing-masing, malam hari sebelum upacara dilakukan.
Beberapa ritual yang dilakukan biasanya adalah potong ayam dan membuat ketupat. Ini disebabkan karena ritual ini erat kaitannya dengan kegiatan Pasola untuk melihat baik dan buruknya nasib seseorang yang akan ikut dalam Pasola.
Sang pemimpin adat atau rato melihat hasil olahan ayam dan ketupat. Apabila ayam panggang masih mengeluarkan darah dari ususnya, dan ketupat yang telah masak, ada yang berwarna merah, atau kecoklatan, maka diyakini ini merupakan pertanda buruk. Yakni anggota keluarga yang ikut Pasola, akan mendapat bahaya, seperti menderita luka-luka, atau bahkan meninggal dunia.
Ketika malam semakin larut, para rato yang bertugas mengamati munculnya bulan purnama, segera bersiap-siap memakai pakaian kebesaran rato atau biasa disebut rowa rato. Biasanya ritual ini dilakukan dengan cara berdoa diatas batu kubur (nisan) dan menghadap ke arah bulan purnama.
Dengan menghadap ke arah bulan purnama, para rato bisa memastikan ketepatan dan posisi bulan, serta keadaan gelombang laut di pantai. Dari situlah akan diputuskan saatnya nyale. Begitu nyale atau cacing laut sudah terlihat, seluruh warga yang telah berkumpul sejak subuh, memulai perburuannya.
Tradisi seperti ini biasanya dilakukan pula oleh masyarakat Bali dan Lombok tapi biasanya tidak disertai dengan Pasola.
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.
Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari atau Maret. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.
Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua kelompok yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta Nyale.
Menurut legenda, dahulu kala tersebutlah seorang putri, Mandalika namanya, putri raja Kuripan di Lombok. Kecantikan Mandalika sangatlah tersohor, sehingga banyak pangeran ingin memilikinya, dan supaya fair, raja Kuripan mengadakan sayembara barang siapa mampu memanah dengan sangat tepat, dialah yang berhak memiliki sang putri.
Nah, berawal dari sayembara itulah putri Mandalika sedih dan pada akhirnya nekat. Mengapa justru kecantikannya menjadi sumber peperangan, karena rata-rata para pangeran itu memiliki kemampuan tinggi sehingga tak ada yang menang maupun kalah dalam perlombaan memanah. Karena tak kunjung ada pemenang, maka mulailah para pangeran itu saling bunuh satu sama lain. Melihat hal itu, nekatlah sang putri menceburkan diri ke laut yang ombaknya tengah mengganas. Musnahlah sang putri yang cantik jelita.
Nah, sejak itulah setiap setahun sekali sang putri pulang ke kerajaannya setahun sekali dalam bentuk cacing warna warni, yang konon merupakan penjelmaan rambutnya, yang kemudian disebut Nyale.
Sebenarnya Nyale merupakan cacing Polychaeta yang biasanya hidup di dasar sedimen. Dan jenis ini memiliki ciri akan berenang ke permukaan air laut atau muara sekali setahun untuk berkembang biak.
Polychaeta memilki peran penting dalam ekosistem laut karena mereka merupakan predator dan scavenger, sekaligus merupakan makanan bagi ikan dan udang. Polychaeta ada di hampir semua perairan.
Kemunculannya ke permukaan air laut setahun sekali ditentukan oleh kematangan seksualnya, yang tentunya berbeda pada tiap daerah perairan. Saat berkembang biaknya terjadi, biasanya, pada masa menjelang bulan mati, dan dipengaruhi intensitas cahaya bulan dan suhu air laut.
Di Great Barrier Reef, Nyale muncul sekitar bulan September, sedangkan di perairan Lombok dan Sumbawa, Nyale muncul sekitar bulan Februari atau Maret.
Polychaeta adalah kelas cacing annelida yang umumnya hidup di air. Seluruh permukaan tubuh polychaeta mengandung rambut-rambut kaku atau setae yabg dilapisi kutikula sehingga licin dan kaku. Tubuhnya berwarna menarik, seperti ungu kemerah-merahan. Setiap segmen tubuh polychaeta dilengkapi dengan sepasang alat gerak atau alat berenang yang disebut parapodia. Alat ini pun berperan sebagai alat pernafasan.
Polychaeta memiliki kelamin terpisah. Perkembangbiakannya dilakukan dengan cara seksual. Pembuahannya dilakukan di luar tubuh. Telur yang telah dibuahi tumbuh menjadi larva yang disebut trakofora.
Dan ternyata, tak semua masyarakat ikut menceburkan diri ke laut berburu Nyale ini. Banyak pula yang menunggu nelayan dadakan menepi di pantai dengan berkotak-kotak Nyale. Berkotak-kotak karena Nyale-nya ditaruh di Styrofoam box layaknya ikan tangkapan nelayan.
Bagi masyarakat yang tak ikut berburu Nyale, cukup serahkan uang, dapet Nyale di tangan. Gampang. Tak perlu berbasah-basah ria. Tinggal pulang, masak Nyale pakai santan dan bumbu-bumbu lain. Hummm….rasanya seperti teri. Enak juga, terutama yang digoreng agak kering. Dan sembari berburu Nyale, ada yang sembari nyangking ikan huehehehehe….
Sumber: kolomkita.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar