SEBELUM membaca tulisan saya, mari simak pernyataan ini:
–Kriteria hisab yang saat ini digunakan oleh Muhammadiyah seharusnya diperbaiki, kriteria tersebut terlalu sederhana.
– Lalu
mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas
besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama
pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai
muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi
kriteria kelendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah!
ITULAH beberapa potongan kalimat yang diungkapkan Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, yang juga Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI dalam blognya, maupun pernyataan kepada beberapa media massa nasional menjelang akhir Ramadhan 2011. Untuk melihat pemikiran ahli astronomi itu, silahkan dibuka link melalui search engine dari pernyataan di atas. Saya tidak perlu mengulanginya.
Pada saat sidang itsbat yang dipimpin Menteri Agama, Senin (29/8) malam, Prof. Dr. Thomas Djamaluddin sempat diingatkan oleh salahsatu pengurus Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Dr. H. A. Fatah Wibisono, MA, agar menjaga lisannya. Fatah mengingatkan karena dianggap kurang santun berbicara di forum terhormat itu. Bagi Muhammadiyah yang telah lahir sebelum Thomas ada, tentu bukan hal baru dalam menentukan penetapan 1 Syawal setiap akhir Ramadhan. Maka dari itu, tidak seperti Pemerintah yang hanya mampu memprediksi 1 Syawal sehari sebelum waktunya, Muhammadiyah sudah melakukan itu jauh hari. Peringatan Fatah, di mata saya sangat serius dampaknya untuk ukuran sekarang. Bagaimana tidak, tiba-tiba Petinggi Muhammadiyah itu merasa harus mengingatkan seorang Profesor yang bekerja di Kementrian Agama. Padahal, dengan logika sehat, tak perlu Thomas melakukan obral pernyataan seperti itu saat seluruh media menyorot wajah dan mulutnya. Sangat tidak pantas. Ada kesan, arogansi yang tidak perlu menurut saya.
Apalagi, ada indikasi kebohongan informasi dari pak Menteri yang menyatakan bahwa Malaysia dan Singapura serta negara-negara Arab juga melakukan Idul Fitri pada Rabu 31 Agustus 2011. Gara-gara informasi itu, nyaris semua peserta sidang itsbat maupun masyarakat yang menonton TV, terbius dan nyaris percaya begitu saja. Belakangan, dari informasi beberapa kolega di beberapa negara yang disebut di atas, ternyata didapat informasi bahwa mereka melakukan Idul Fitri pada Selasa 30 Agustus 2011. Bahkan hingga saat ini, informasi yang saya terima, ada sekitar 50 negara yang melakukan Sholat Idul Fitri pada Selasa tanggal 30 Agustus 2011 pagi ini. Sebagian beritanya juga dimuat di berbagai situs berita terpercaya. Jika ingin baca beritanya, buka saja link berikut:
http://www.detiknews.com/read/2011/08/30/010128/1713387/10/mesir-qatar-emirat-arab-beridul-fitri-30-agustus?9922032
atau
http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=1099262d08ad760566784006371a19d1&jenis=c81e728d9d4c2f636f067f89cc14862c
Sebelum diteruskan, penting saya sampaikan terlebih dahulu sedikit deskripsi. Saya pernah hidup di kampung di pedalaman Klaten, Jawa Tengah, hampir 20 tahun, sebelum mengembara ke Surabaya 8 tahun dan di Jakarta lebih dari 10 tahun dan beberapa negara saat masih aktif menjadi wartawan. Saat di pedesaan jauh dari teknologi, orangtua saya sudah mengajarkan bagaimana mengenali karakter alam.
Misalnya, karakter lintang (baca: bintang), dan mbulan (bulan) serta srengenge (matahari). Hingga saat ini, saya masih memelihara sifat Ndeso saya, dengan tujuan sekedar agar memori saya saat kecil tidak hilang begitu saja. Jangan tanya soal khazanah budaya Jawa di otak saya. Masih tersimpan rapi. Karena saking Ndeso-nya, maka saya masih fasih betul berbahasa Jawa. Bahkan, oleh keluarga saya, sudah biasa menyebut dan mengucapkan Wulan Sawal, untuk mengganti istilah Bulan Syawal. Atau Wulan Rejeb, padahal yang dimaksud Bulan Rojab. Atau Wulan Ruwah, padahal nama yang benar adalah Bulan Sya’ban.
Belakangan saya dapat ilmunya, penanggalan Jawa, memang mengadopsi penanggalan Islam. Maka dari itu, apa yang saya dapat dulu dari orangtua saya di Kampung, dengan mudah saya sesuaikan saat saya temukan kenyataan bahwa banyak istilah Kejawen yang di dalam Bahasa Arab ternyata mirip-mirip, namun istilahnya banyak berubah. Bulan Muharram, di dalam benak orang Jawa menjadi Wulan Suro. Entah bagaimana itu terjadi. Yang jelas, untuk ngelmu ngalam cara ndeso, saya sedikit banyak sudah mengetahui.
Ketika semalam melihat keterangan Profesor dari LAPAN serta keterangan beberapa petinggi Ormas Islam, serta keterangan Menteri Agama RI, saya jadi ingat satu hal. Bahwa, mereka bisa saja berdebat dengan bersitegang dan berbagai sandiwara di depan kamera wartawan. Saya hanya menunggu satu hal. Apa yang akan diputuskan Menteri Agama malam itu. Tidak penting soal lebarannya, namun saya ingin mendengar kalimat 1 Syawal jatuh pada tanggal berapa di bulan Agustus 2011. Syukurlah, setelah diumumkan oleh Pak Menteri bahwa 1 Syawal jatuh pada Rabu 31 Agustus 2011, maka kemudian muncul ide gila saya.
“Saya ingin menguji, apakah keputusan malam itu terbukti benar atau terbukti salah”.
Untuk melakukan uji tersebut tidak susah. Kita tidak perlu belajar ke LAPAN. Tidak perlu menjadi Professor. Tidak perlu menjadi Deputi di LAPAN. Tidak perlu belajar ke Amerika. Bagaimana caranya?
Gampang. Namun kita butuh 15 hari lagi. Saya menggunakan pembuktian terbalik.
Tampaknya, pengaruh Prof. Dr. Thomas benar-benar terlihat pada hasil keputusan sidang itsbat malam itu. Penjelasan sang profesor , benar-benar mampu membius seluruh peserta sidang itsbat, hingga Pemerintah pun akhirnya menetapkan 1 Syawal jatuh pada Rabu tanggal 31 Agustus 2011. Penjelasan meyakinkan Sang Profesor patut dipuji. Meskipun Pak Menteri Agama menetapkan 1 Syawal konon berdasarkan beberapa pertimbangan, termasuk kesaksian para ahli Rukyat, namun jika kita jeli, maka sesungguhnya apa yang diungkapkan Pak Menteri itu tampaknya adalah banyak dipengaruhi pemikiran ‘genius’ Pak Profesor. Saking berpengaruhnya yang bersangkutan, maka Thomas pun tak segan mengkritik Muhammadiyah. Pokoknya malam itu, Sang Profesor benar-benar berada di atas angin.
Terbukti, tanpa ada keraguan, dengan sangat lantang, sang Profesor LAPAN itu memberi pendapat keras kepada Muhammadiyah. Jika sebelumnya organisasi bentukan KH Ahmad Dahlan tersebut dikenal sebagai Organisasi Islam Pembaharu dan modern, maka di mata Thomas, tiba-tiba jadi sebaliknya. Muhammadiyah disebut usang, kuno dan malah ketinggalan dari NU dan Ormas Islam lainnya.
Namun harus diingat, seskipun selintas terkesan cukup meyakinkan dan mampu melambungkan nama Profesor LAPAN ini, coba tunggulah hingga 15 hari ke depan. Kehebatan Sang Profesor akan teruji 15 hari lagi!. Di saat itulah, akan terbukti keterangan berbusa-busa Sang Profesor akan menjadi barang murahan, atau akan menjadi emas mulia.
Kenapa?
Begini. Kita hanya menunggu 15 hari lagi ketika Allah SWT tunjukkan kepada Umat bahwa pada hari itu, akan muncul apa yang disebut Bulan Purnama. Sesuai perhitungan sederhana saya, sebut saja perhitungan kampungan saya, maka 15 hari dari tanggal 1 Syawal, dipastikan akan terjadi Bulan Purnama. Dengan munculnya Bulan Purnama, secara langsung dan tanpa rekayasa, akan membuktikan secara nyata mana pihak yang benar- dan mana pihak yang salah.
Tuhan tidak pernah bohong.
Anda juga mengalami. Saya juga mengalami. Sejak saya kecil hingga menginjak usia 40 tahun, setiap Bulan Purnama, pasti bulan akan muncul sangat mempesona. Selain sempurna wujudnya, bulan akan hadir sangat spesial karena berada tepat di atas kepala kita. Sekali lagi, saat itu, bulan tepat di atas kepala kita, dan wujud bulan akan sangat sempurna.
Mengapa Bulan Purnama menjadi acuan kebenaran penetapan 1 Syawal?
Sederhana. Dengan cara kampungan saya, maka penetapan 1 Syawal kemarin, akan terbukti benar atau tidaknya, cukup dengan melihat secara langsung Bulan Purnama. Kondisi bulan saat Bulan Purnama, sangat berbeda dengan kondisi bulan saat tanggal di awal Bulan Syawal. Jika pada awal Syawal, fisik bulan mungkin hanya terlihat tipis dan meragukan meski dilihat dengan alat teropong sekalipun, sebaliknya pada tanggal 15 Syawal, fisik bulan akan terlihat sangat jelas, dan mencapai ‘titik kulminasi’ dari fase perubahan fisiknya. Pada Bulan Purnama, manusia tidak perlu memakai teropong untuk membuktikan benar tidaknya terjadi Bulan Purnama. Kita cukup keluar rumah, tengok ke atas. Jika bulan terlihat bulat sempurna di atas kepala kita, itu sudah pasti tanggal 15 setiap bulan. Tidak perlu rukyat, tidak perlu Hisab, tidak pelu sidang itsbat. Pada tanggal 15 bulan Jawa/Islam, tak akan terjadi perbedaan pendapat antara para Petinggi Ormas Islam soal kebenaran Bulan Purnama. Pada malam itu, tak ada satupun Profesor Astronomi yang bisa membantah fenomena alam berupa Bulan Purnama. Semua harus bilang bahwa malam itu adalah tanggal 15 Syawal.
Mulai saat ini, cobalah hitung.
Jika ikut versi Muhammadiyah, maka tanggal 1 Syawal 1432 H, jatuh pada Selasa tanggal 30 Agustus 2011.
Jika ikut versi Pemerintah, maka tanggal 1 Syawal 1432 H, jatuh pada Rabu tanggal 31 Agustus 2011.
Logika kampungan saya mengatakan, jika dihitung sesuai dengan masing-masing versi, maka akan terjadi begini:
Jika tanggal 1 Syawal 1432H jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011M, maka Bulan Purnama akan jatuh pada tanggal 13 September 2011.
Jika tanggal 1 Syawal 1432H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011M, maka Bulan Purnama akan jatuh pada tanggal 14 September 2011.
Saya
menjamin, pada dua malam di hari itu, masyarakat akan bisa membuktikan
dengan alamiah dan akurat melalui mata kepala sendiri, versi siapa yang
paling akurat dalam penentuan 1 Syawal 1432H. Jika bulan terlihat
Sempurna (Bulan Purnama) pada 13 September, sudah pasti Muhammadiyah telah melakukan perhitungan dengan benar. Akan tetapi sebaliknya jika Bulan Purnama
terjadi pada tanggal 14 September malam, maka sudah pasti pemerintah
telah melakukan perhitungan dengan benar, dan Muhammadiyah perlu
introspeksi diri dan mengubah sistem perhitungan penentuan awal dan
akhir Ramadhan.
Pada
malam itu, akan menjadi malam penentuan yang menegangkan dan menjadi
Hakim Alam terbaik untuk membuktikan kepada manusia, siapa yang terbukti
melakukan kesalahan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan sehingga
menyebabkan perbedaan 1 Syawal.
Apabila Bulan Purnama
berlangsung pada 13 September 2011, berarti sidang itsbat malam itu,
yang dihadiri seluruh Petinggi Ormas dan Menteri Agama serta tamu
kedutaan Negara Islam dan banyak tokoh Islam waktu itu, akan menjadi
sidang sampah belaka.
Jangan
kaget apabila masyarakat kemudian menjustifikasi sidang malam itu
sebagai bentuk baru kebohongan pemerintah terhadap masyarakat Islam
seluruh Indonesia. Masyarakat mungkin bisa dikelabuhi di saat awal,
namun untuk urusan satu ini, masyarakat bisa membuktikan perilaku aparat
kita lurus atau tidak, hanya membutuhkan waktu 15 hari dari tanggal
penetapan mereka.
Ingat, pada Bulan Purnama, tidak ada satupun manusia yang mampu mengubah posisi Bulan serta bentuknya yang sangat sempurna, kecuali Allah SWT, Pangeran Sing Moho Kuwoso—bahasa Jawanya. Jadi, tidak mungkin pada malam itu, ada jumpa pers yang menyatakan, bahwa Bulan Purnama yang terjadi adalah kesalahan Tuhan. Tidak mungkin itu. Itulah hebatnya Bulan Purnama.
Oleh karenanya, untuk membuktikan analisa saya, mari bersama-sama menunggu hadirnya Bulan Purnama.
Tuhan akan memberi bukti langsung kepada kita, bukti fisik, betapa
manusia sangat lemah dan tidak ada gunanya sombong. Bahwa manusia, tidak
perlu saling menyindir dan saling menyalahkan. Bahwa manusia harus
berkawan dengan alam untuk bisa memanfaatkan dia dalam mengatur tata
kehidupan di dunia yang fana. Penasaran? Tunggu Bulan Purnama nanti.
Mustofa B. Nahrawardaya
www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar