Janda Rawagede Kalahkan Belanda
Pada November 2010 lalu, 3 anggota Parlemen Belanda dari kelompok oposisi datang ke Rawagede. Mereka mempertanyakan bantuan pemerintah Belanda senilai 850.000 euro atau senilai Rp 10,2 miliar untuk desa yang penah dibantai Belanda itu.
Ketua Yayasan Rawagede Sukarman kaget karena tidak mengetahui bantuan tersebut. Kepada anggota parlemen Belanda, Sukarman pun terus terang mengaku tidak tahu mengenai dana hibah tersebut.
"Kata mereka, seharusnya dana itu disalurkan langsung melalui Yayasan Rawagede, bukan pemerintah daerah," kata Sukarman.
Menurut Radio Nederland, pada 2009, Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda Bert Koenders, telah mengalokasikan 850.000 euro untuk Rawagede. Tapi Belanda tidak mau dana itu disebut sebagai ganti rugi atau kompensasi untuk pembantaian pada 1947 yang menewaskan sediktnya 431 orang itu. Pasalnya jika dana itu disebut ganti rugi atau kompensasi, itu berarti Belanda mengakui kesalahan mereka, hal yang ditolak negara kincir angin ini selama hampir 64 tahun. Jadi, sebutlah itu bagian dari dana kerja sama pembangunan, dan tidak hanya untuk Rawagede, tetapi juga untuk wilayah sekitarnya.
Dana tersebut rencananya akan dipakai untuk membantu pembangunan fasilitas umum masyarakat di kampung Rawagede, seperti gedung sekolah, pasar dan pelayanan kesehatan. "Tetapi sampai sekarang tidak ada realisasinya," kata Sukarman kepada detik+.
Keterangan yang lebih jelas disampaikan Ketua Ahli Waris Korban Pembantaian Rawagede Suparta. Ia mengetahui Belanda akan mengucurkan dana proyek pembangunan sosial untuk wilayah Balongsari dan sekitarnya dari warga Belanda yang datang ke Rawagede pada Maret 2009. Informasi ini diterima dari seorang ahli sejarah Belanda bernama Dr AD Koekkoek.
"Jadi bantuan itu tidak ada hubungan dengan ahli waris dan historis, tapi masyarakat umum lainnya. Setelah ada informasi itu, kita beberapa kali melakukan musyawarah untuk mengajukan proposal dan kesepakatan dengan Belanda," terangnya kepada detik+.
Ada empat poin yang menjadi kesepakatan bahwa bantuan Belanda akan digunakan untuk membangun sekolah, Puskesmas yang memiliki fasilitas rawat inap, pasar desa dan pembebasan lahan senilai Rp 2,5 miliar untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Balongsari dan sekitarnya.
Lalu, pada tanggal 19 November 2009 bersama Pemda Karawang yang diwakili Wakil Bupati saat itu yang dijabat oleh Eli Amalia Priatna membuat draf MoU. Hanya saja, saat itu Bupati Karawang yang dijabat oleh Dadang Muchtar tidak pernah mau menandatangani draft Mou sampai akhir jabatannya.
Akhirnya, pemerintah Belanda membuat Mou kedua dengan Kementerian Dalam Negeri, yang saat itu ditandatangani Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni dan Dubes Belanda untuk Indonesia Jaap Van der Velden.
Dalam Mou itu disebutkan dana bantuan sebesar Rp 8.672.180.000. Tapi dalam termin pertama dana sudah masuk ke Kemendagri sekitar Rp 1,6 miliar. Sesuai MoU, setiap tanggal 30 April Kemendagri harus melaporkan perkembangan ke kementerian sejawatnya di Belanda.
"Tapi saya tidak tahu penyebabnya, kenapa proyek ini di Kemendagri belum turun juga. Dari informasi Bagian Bantuan Luar Negeri Kemendagri, dana proyek pembangunan sekolah tidak masuk dalam bujet pengadaan peralatan," keluah Suparta.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Raydonnyzar Menoek mengaku belum tahu tentang dana hibah Rp 10,2 miliar tersebut. "Kami cek dulu," kata pria yang akrab disapa Donny itu.
Suparta sempat mengaku, dirinya sempat akan menanyakan langsung perihal proyek pembangunan sosial itu ke Kedubes Belanda di Jakarta. Tapi ia mengaku dilarang oleh orang Kemendagri, karena ini sudah menjadi urusan antar negara. "Saya juga tanya ke bupati dan camat, sama mereka juga mengaku belum tahu. Hanya saja Bupati dan Camat menyatakan siap untuk memfasilitasi kekurangan yang ada," terang pria yang juga menjadi Ketua Yayasan Sampurna Warga itu.
Suparta menjelaskan, sebenarnya pihaknya telah menerima bantuan Rp 2,5 miliar yang disalurkan Yayasan Hivos Belanda. Bekerja sama dengan Koperasi Mitra Kedua (Kominda), Yayasan Hivos meminta uang itu dikelola sebagai uang simpan pinjam bagi masyarakat.
Menurut Suparta, sebenarnya Yayasan Hivos Belanda inilah yang kerjasama dengan Kemendagri. Komida menjadi pendamping koperasi yang dipimpin Suparta.
"Setelah kuat, lalu sepenuhnya diserahkan ke Koperasi Komara milik Yayasan Sampurna Raga. Jadi kita juga sebenarnya tidak langsung, saat ini koperasi simpan pinjam masih ditangani Komida dan Hivos," terang Suparta.
Sampai saat ini Koperasi Komara sendiri memiliki 1.500 nasabah di 4 Desa di Kecamaan Rawamerta dengan nilai total dana Rp 2,5 miliar. Pertanggungjawaban dana Koperasi Komara diaudit oleh Yayasan Pena Bulu yang ditunjuk oleh Yayasan Hivos Belanda.
Bantuan hibah Rp 2,5 miliar itu menjadi isu miring di antara warga Rawagede. Edi Junaidi, salah seorang anak Ny Wasiah (93) yang suaminya menjadi korban pembantaian tentara Belanda mengaku mendapata informasi dari dana itu Rp 1,5 miliar disalurkan ke Koperasi Simpan Pinjam Komara, yang dikelola Yayasan Sampurna Raga bersama Yayasan Hivos Belanda.
"Sisanya Rp 1 miliar saya tidak tahu, karena janda dan ahli waris tidak terima lagi. Dana Rp 1,5 miliar untuk koperasi Komara pun tidak jelas pertanggungjawaban dan laporan pembukuannya," ujar mantan Kepala Desa Sekarwangi ini.
Suparta memaklumi adanya tudingan miring itu. Tapi ia menganggapnya hal itu hanya masalah perbedaan pandangan saja ketika KUKB akan melayangkan gugatan para janda dan ahli waris korban di pengadilan Belanda. Di mana KUKB lebih memilih mengajak Yayasan Rawagede dengan mengajukan 9 janda, satu saksi hidup sebagai penggugat dan mewakili 141 ahli waris lainnya.
"Padahal dicatatan resmi yang sudah kita teliti bersama tim validasi itu ada sekitar 431 orang korban. Ya sudah biar KUKB berjalan dengan Yayasan Rawagede. Kita konsern dengan yayasan yang cederung pada kegiatan sosial saja," terangnya lagi.
Kedubes Belanda belum mau menanggapi soal ketidakjelasan bantuan Rp 10,2 miliar ini. Jubir Kedubes Belanda Dorine Wytema baru akan memberikan pernyataan Senin, 19 September 2011 ini.
Sementara itu di tengah ketidakjelasan penggunaan dana bantuan Rp 10,2 miliar itu, pengadilan Belanda memutuskan memenangkan tuntutan ganti rugi sembilan janda korban pembantaian Rawagede. Ahli waris korban berharap dana ganti rugi itu cepat cair dan sampai pada mereka.
www.detiknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar