RUU Intelijen: Mau Disahkan?
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merencanakan akan mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Intelijen di tengah pembahasan yang sangat tertutup.
Publik tak tahu apa yang diperbincangkan oleh ang¬gota Dewan.
Pembahasannya di DPR memang agak aneh. Seolah semua akses ditutup.Tak
boleh ada yang tahu. Apakah benar ada perdebatan di dalam sidang-sidang
komisi atau memang sudah dirancang langsung disahkan, tak ada yang tahu.
Sejak awal RUU intelijen ini menuai banyak protes. Soalnya banyak
pasal-pasal yang dikhawatirkan menjadi alat bagi penguasa untuk
bertindak represif dan di luar koridor hukum terhadap warga negara yang
dianggap lawan politik bagi pemerintah.
Misalnya saja, di
dalamnya ada kewenangan khusus seperti penyadapan dan penangkapan oleh
Badan intelijen Negara (BIN). Ini dianggap berpotensi melanggar hak
asasi manusia. Tak hanya itu, RUU intelijen ini juga telah jauh
melenceng dari semangat reformasi yang digembor-gemborkan setelah
runtuhnya Rezim Orde Baru.
Selain itu di dalamnya ada pasal
yang mengatur kewenangan BIN melakukan pencegahan dan pemeriksaan
terhadap orang yang diduga terkait terorisme, separatisme, spionase,
subversi dan sabotase. Pemeriksaan intensif itu berlangsung selama 7 x
24 jam.
Polemik pun muncul terhadap posisi Badan intelijen
Negara. seperti yang tertuang jelas dalam draf RUU intelijen itu bahwa
intelijen merupakan lembaga pemerintah (Pasal 1 ayat 2 RUU intelijen),
bukan lembaga negara. Belum lagi polemik muncul perdebatan terhadap
pasal-pasal karet dan multitafsir.
Jika DPR mengesahkan RUU ini
menjadi UU sesuai draft pertama yang diserahkan pemerintah, bukan tidak
mungkin akan membangkitkan lagi gaya pemerintahan Orde Baru yang
represif. Lembaga intelijen bisa 'dipakai' untuk menggilas musuh-musuh
politik pemerintah yang berkuasa tanpa bisa dikontrol lagi.
Direktur Program Imparsial Al Araf berharap parlemen tak buru-buru
mengesahkan RUU intelijen ini. "Harus dibuka ruang seluas mungkin bagi
masyrakat sesuai UU no 10/2004 tentang tata aturan perundangan,”
tuturnya.
Menurut Al Araf, benar ada pertarungan kepentingan politik
praktis terhadap RUU intelijen. Menurutnya, sejauh ini pembahasan yang
dilakukan panitia kerja (Panja) Komisi 1 DPR belum pernah
menginformasikan perkembanganya kepada publik terkait masih adanya
beberapa pasal dalam RUU intelijen ini yang dianggap bermasalah.
Ia menegaskan, penting bagi parlemen untuk memahami bahwa proses
pembuatan dan pembahasan undang-undang harus melibatkan partisipasi
publik. "Tertutupnya pembahasan ini justru menimbulkan kecurigaan, bahwa
ada ada udang di batik batu,” terangnya.
Kewenangan Intelijen
Ketika intelijen tidak memiliki kewenangan seperti yang diminta dalam
RUU ini saja, ba¬nyak tindakannya sewenang-wenang, bagaimana kalau
mereka nantinya diberikan kewenangan oleh UU? Kekhawatiran tersebut
muncul di tengah masyarakat.
RUU Intelijen membuka ruang
selebar-lebarnya kepada Badan intelijen dan lembaga-lembaga intelijen
untuk menyikat habis orang-orang yang dianggap sebagai ancaman tanpa
alasan. Di mana 'kaum Muslimin' yang hanya diduga sebagai teroris, sudah
diambil tindakan hukum secara keji. Lihatlah kisah Bahrun Naim yang
diciduk secara paksa oleh Densus 88 tanpa perikemanusiaan dan proses
hukum yang mengada-ada. (Media Umat Edisi 57/Fokus).
Itu hanya
segelintir kisah dari prilaku buruk kebijakan yang tidak sama sekali
menunjukkan kebijakan yang menguntungkan terhadap masyarakat. Apalagi
dengan adanya lagi hak khusus yang diusulkan dalam draf RUU Intelijen.
Untuk menambah wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan dan penangkapan
tanpa pengacara.
Menurut penelitian yang dilakukan Media
Survei Nasional (Median) dan Future Institute, publik tidak setuju
dengan penambahan dua hak khusus untuk intelijen itu. Terdapat 60,5
persen publik menolak, dan hanya 10 persen yang setuju selebihnya 28,7
persen tidak tahu.
Sedangkan terhadap wewenang lembaga
intelijen untuk melakukan penangkapan terhadap terduga pelaku terorisme
serta pemeriksaan tanpa didampingi pengacara ada 62 persen publik yang
tidak setuju, 14 persen yang setuju dan 23 persen tidak tahu. Dalam
penelitian ini juga, 40,4 persen publik mengkhawatirkan penyalahgunaan
kewenangan dalam hal penyadapan.
Menjadi Taring Pemerintah
Sidarto Danusubroto Anggota Komisi 1 Fraksi PDIP saat ditemui Media
Umat di ruang kerjanya Gedung Nusantara 1 DPR-RI menyatakan bahwa masih
ada beberapa pasal yang masih didiskusikan, terutama pasal penyadapan
dan penangkapan. Pasal penangkapan itu dianggap bertabrakan dengan KUHP
Sebagian anggota Dewan berpendapat, penyadapan hanya untuk kepentingan
perkara hukum."Dari sisi dan kondisi Rancangan Undang-Undang ini banyak
ber¬tabrakan dengan UUD dan UU, maka sikap Fraksi menolak dua pasal yang
kontroversi ini," paparnya.
Untuk penguatan intelijen, Sidarto
menyetujui hal-hal yang dirancang dalam RUU itu. Penguatan intelijen
dengan sistem penguatan sumberdaya manusia, jaringan, networking,
anggaran dan sebagainya. "Tapi jangan sampai berbenturan dengan UUD dan
UU dan harus diterima oleh publik, harus filosofis memberikan rasa
keadilan pada masyarakat. Ini kan buat masyarakat dan keamanan jangan
sampai yang malahan meresahkan masyarakat,"jelasnya.
Ia
berharap, RUU ini menjadi alat kepentingan pemerintah dan masyarakat pun
menjadi ancaman. "Apalagi jika terpolitisasi dan tidak independen. Lalu
bisa juga mengancam lawan politik yang berbeda politik dalam tanda
kutip menjadi ancaman buat pemerintah," terangnya. "Kalau undang-undang
ini gol maka akan terbaca bahwa pemerintah akan represif," lanjutnya.
Bagi Sidarto, pengesahan RUU ini menjadi UU jika dipaksakan bisa
menunjukkan adanya kepentingan pemerintah untuk memperkuat taringnya.
"Pemerintah butuh taring untuk lebih kuat, karena dengan adanya
suara-suara yang menyerang dari pers, dan tokoh-tokoh nasional
betul-betul membuat boring Pemerintah, "katanya.
Menghadang Islam
Munculnya RUU Intelijen ini tak bisa dilepaskan dari Global war on
Terrorism (GWOT)-nya Amerika. Situasi akan bisa kembali di mana Orde
Baru di mana kalangan Islam menjadi target sasarannya. Umat Islam akan
dibungkam karena dianggap membahayakan kepentingan Barat dan
antek-anteknya.
Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir
Indonesia menyatakan bahwa umat harus menolak dengan tegas RUU Intelijen
itu, serta meminta kepada pihak terkait untuk membatalkan poin-poin
yang akan membahayakan kehidupan rakyat, khususnya aktifitas dakwah.
Dalam perspektif RUU tersebut, rakyat dianggap sebagai ancaman negara.
Padahal, lanjutnya, justru yang sudah terbukti merusak negeri ini adalah
kapitalisme sekuler dan orang-orang yang mengusungnya. Mereka itu malah
dianggap sebagai tokoh.
Pihak-pihak yang tak suka dengan Islam
terus berusaha mencari jalan untuk membangun perangkat hukum (aspek
legal) yang bisa menghadang dakwah Islam yang kian marak. Mereka tak
peduli dengan ide mulia yang diusung oleh Islam. Yang ada di benaknya,
Islam harus dihentikan. Inilah tabiat asli yang dipelajari dan dianut
dari Barat.
Oleh : Fatih Mujahid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar