I. SEKILAS TENTANG PERJALANAN SEJARAH BATIK JOGJAKARTA
Seni Batik Tradisional dikenal sejak beberapa abad yang lalu di tanah Jawa. Bila kita menelusuri perjalan perkembangan batik di tanah Jawa tidak akan lepas dari perkembangan seni batik di Jawa Tengah. Batik Jogja merupakan bagian dari perkembangan sejarah batik di Jawa Tengah yang telah mengalami perpaduan beberapa corak dari daerah lain.
Perjalanan “Batik Yogya” tidak bisa lepas dari perjanjian Giyanti 1755. Begitu Mataram terbelah dua, dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, busana Mataram diangkut dari Surakarta ke Ngayogyakarta maka Sri Susuhunan Pakubuwono II merancang busana baru dan pakaian adat Kraton Surakarta berbeda dengan busana Yogya.
Di desa Giyanti, perundingan itu berlangsung. Yang hasilnya antara lain , Daerah atau Wilayah Mataram dibagi dua, satu bagian dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB II di Surakarta Hadiningrat , sebagian lagi dibawah kekuasaan Kanjeng Pangeran Mangkubumi yang setelah dinobatkan sebagai raja bergelar Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng kaping I , yang kemudian kratonnya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Semua pusaka dan benda-benda keraton juga dibagi dua. Busana Mataraman dibawa ke Yogyakarta , karena Kangjeng Pangeran Mangkubumi yang berkehendak melestarikannya. Oleh karena itu Surakarta dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB III merancang tata busana baru dan berhasil membuat Busana Adat Keraton Surakarta seperti yang kita lihat sampai sekarang ini.
Perjalanan “Batik Yogya” tidak bisa lepas dari perjanjian Giyanti 1755. Begitu Mataram terbelah dua, dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, busana Mataram diangkut dari Surakarta ke Ngayogyakarta maka Sri Susuhunan Pakubuwono II merancang busana baru dan pakaian adat Kraton Surakarta berbeda dengan busana Yogya.
Di desa Giyanti, perundingan itu berlangsung. Yang hasilnya antara lain , Daerah atau Wilayah Mataram dibagi dua, satu bagian dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB II di Surakarta Hadiningrat , sebagian lagi dibawah kekuasaan Kanjeng Pangeran Mangkubumi yang setelah dinobatkan sebagai raja bergelar Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng kaping I , yang kemudian kratonnya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Semua pusaka dan benda-benda keraton juga dibagi dua. Busana Mataraman dibawa ke Yogyakarta , karena Kangjeng Pangeran Mangkubumi yang berkehendak melestarikannya. Oleh karena itu Surakarta dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB III merancang tata busana baru dan berhasil membuat Busana Adat Keraton Surakarta seperti yang kita lihat sampai sekarang ini.
Ciri khas batik gaya Yogyakarta , ada dua macam latar atau warna dasar kain. Putih dan Hitam. Sementara warna batik bisa putih (warna kain mori) , biru tua kehitaman dan coklat soga. Sered atau pinggiran kain, putih, diusahakan tidak sampai pecah sehingga kemasukan soga, baik kain berlatar hitam maupun putih. Ragam hiasnya pertama Geometris : garis miring lerek atau lereng , garis silang atau ceplok dan kawung , serta anyaman dan limaran.Ragam hias yang bersifat kedua non-geometris semen , lung- lungan dan boketan.Ragam hias yang bersifat simbolis erat hubungannya dengan falsafah Hindu – Jawa ( Ny.Nian S Jumena ) antara lain :
Sawat Melambangkan mahkota atau penguasa tinggi , Meru melambangkan gunung atau tanah ( bumi ) , Naga melambangkan air , Burung melambangkan angin atau dunia atas , Lidah api melambangkan nyala atau geni.
Sejak pertama sudah ada kain larangan. Setiap Sultan yang bertahta berhak membuat peraturan baru atau larangan-larangan.
Sawat Melambangkan mahkota atau penguasa tinggi , Meru melambangkan gunung atau tanah ( bumi ) , Naga melambangkan air , Burung melambangkan angin atau dunia atas , Lidah api melambangkan nyala atau geni.
Sejak pertama sudah ada kain larangan. Setiap Sultan yang bertahta berhak membuat peraturan baru atau larangan-larangan.
Terakhir, Sri Paduka Sultan HB VIII membuat peraturan baru ( revisi ) berjudul Pranatan dalem bab namanipun peangangge keprabon ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dimuat dalam Rijksblad van Djokjakarta No 19. th 1927, Yang dimaksud pangangge keprabon ( busana keprabon ) adalah : kuluk ( wangkidan ), dodot / kampuh serta bebet prajuritan, bebet nyamping ( kain panjang ) , celana sarta glisire ( celana cindhe , beludru , sutra , katun dan gelisirnya ), payung atau songsong.
Motif batik larangan : Parang rusak ( parang rusak barong , parang rusak gendreh < 8 cm , parang rusak klithik < 4 cm), semen ageng sawat grudha ( gurdha ) , semen ageng sawat lar , udan riris , rujak senthe , parang-parangan yang bukan parang rusak, semua ini besar-kecilnya sesuai menurut ukuran parang rusak.
Semua putra dalem diperbolehkan mengenakan kain-kain tersebut di atas. Busana batik untuk Permaisuri diperbolehkan sama dengan raja. Garwa ampeyan dalem diizinkan memakai parang rusak gendreh kebawah. Garwa Padmi KG Pangeran Adipati sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan KG Pangeran Adipati diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah. Demikian pula putra KG Pangeran Adipati. Istri para Pangeran Putra dan Pangeran Putra Raja yang terdahulu ( Pangeran Putra Sentananing Panjenengan dalem Nata ) sama dengan suaminya . Garwa Ampeyan para Pangeran diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah.
Wayah dalem ( cucu Raja ) mengenakan parang rusak gendreh ke bawah. Pun Buyut dalem ( cicit Raja) dan Canggah dalem ( Putranya buyut ). Warengipun Panjenengan dalem Nata ( putra dan putri ) kebawah diperbolehkan mengenakan kain batik parang – parangan harus seling , tidak diperbolehkan byur atau polos.
Pepatih dalem ( Patih Raja ) diperkenankan memakai parang rusak barong kebawah.
Abdidalem : Pengulu Hakim , Wedana Ageng Prajurit , Bupati Nayaka Jawi lan lebet diperkenankan mengenakan parang rusak gendreh kebawah.
Bupati Patih Kadipaten dan Bupati Polisi sama dengan abdidalem tersebut diatas.
Penghulu Landrad , Wedana Keparak para Gusti ( Nyai Riya ), Bupati Anom , Riya Bupati Anom , parang rusak gendreh kebawah.
Abdidalem yang pangkatnya dibawah abdi dalem Riya Bupati Anom dan yang bukan pangkat bupati Anom, yakni yang berpangkat Penewu Tua.
Motif batik larangan : Parang rusak ( parang rusak barong , parang rusak gendreh < 8 cm , parang rusak klithik < 4 cm), semen ageng sawat grudha ( gurdha ) , semen ageng sawat lar , udan riris , rujak senthe , parang-parangan yang bukan parang rusak, semua ini besar-kecilnya sesuai menurut ukuran parang rusak.
Semua putra dalem diperbolehkan mengenakan kain-kain tersebut di atas. Busana batik untuk Permaisuri diperbolehkan sama dengan raja. Garwa ampeyan dalem diizinkan memakai parang rusak gendreh kebawah. Garwa Padmi KG Pangeran Adipati sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan KG Pangeran Adipati diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah. Demikian pula putra KG Pangeran Adipati. Istri para Pangeran Putra dan Pangeran Putra Raja yang terdahulu ( Pangeran Putra Sentananing Panjenengan dalem Nata ) sama dengan suaminya . Garwa Ampeyan para Pangeran diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah.
Wayah dalem ( cucu Raja ) mengenakan parang rusak gendreh ke bawah. Pun Buyut dalem ( cicit Raja) dan Canggah dalem ( Putranya buyut ). Warengipun Panjenengan dalem Nata ( putra dan putri ) kebawah diperbolehkan mengenakan kain batik parang – parangan harus seling , tidak diperbolehkan byur atau polos.
Pepatih dalem ( Patih Raja ) diperkenankan memakai parang rusak barong kebawah.
Abdidalem : Pengulu Hakim , Wedana Ageng Prajurit , Bupati Nayaka Jawi lan lebet diperkenankan mengenakan parang rusak gendreh kebawah.
Bupati Patih Kadipaten dan Bupati Polisi sama dengan abdidalem tersebut diatas.
Penghulu Landrad , Wedana Keparak para Gusti ( Nyai Riya ), Bupati Anom , Riya Bupati Anom , parang rusak gendreh kebawah.
Abdidalem yang pangkatnya dibawah abdi dalem Riya Bupati Anom dan yang bukan pangkat bupati Anom, yakni yang berpangkat Penewu Tua.
II. PERLENGKAPAN PROSES BATIK CANTING |
1. PERLENGKAPAN MEMBATIK CANTING |
Proses membatik secara tradisonal ini dari masa - kemasa tidak mengalami banyak perubahan sampai sekarang. Melihat dari bentuk dan fungsinya peralatan batik ini cukup tradisional dan unik, sesuai dengan caranya yang masih tradisional. Peralatan batik tradisional ini merupakan bagian dari batik tradisional itu sendiri karena bila dilakukan perubahan dengan menggunakan alat/mesin yang lebih modern maka akan merubah nama batik tradisonal menjadi kain motif batik. Hal ini menunjukkan bahwa cara membatik ini memiliki sifat yang khusus dengan hasil seni batik tradisional. Bila dilihat dari segi waktu dan jumlah yang dihasilkan yang sangat terbatas serta hasil seni dari coretan canting pada kain mori akan menghasilkan seni batik yang bernilai tinggi dan harga yang relatif mahal |
A. Bandul Bandul dibuat dari timah, atau kayu, atau batu yang dikantongi. Fungsi pokok bandul ialah untuk menahan mori yang baru dibatik agar tidak mudah tergeser ditiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak disengaja. Jadi tanpa bandul pekerjaan membatik dapat dilaksanakan | C. Dingklik Dingklik merupakan tempat duduk orang yang membatik, tingginya disesuaikan dengan tinggi orang duduk saat membatik | ||
D. Gawangan Gawangan terbuat dari kayu atau bamboo yang mudah dipindah-pindahkan dan kokoh. Fungsi gawangan ini untuk menggantungkan serta membentangkan kain mori sewaktu akan dibatik dengan menggunakan canting | |||
E. Wajan Wajan ialah perkakas untuk mencairkan “malam” (lilin untuk membatik). Wajan dibuat dari logam baja, atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai supaya mudah diangkat dan diturunkan dari perapian tanpa mempergunakan alat lain. Oleh karena itu wajan yang dibuat dari tanah liat lebih baik daripada yang dari logam karena tangkainya tidak mudah panas. Tetapi wajan tanah liat agak lambat memanaskan “malam”. | |||
F. Anglo (Kompor) Anglo dibuat dari tanah liat, atau bahan lain. Anglo ialah alat perapian sebagai pemanas “malam”. Kompor dibuat dari Besi dengan diberi sumbu.. Apabila mempergunakan anglo, maka bahan untuk membuat api ialah arang kayu. Jika mempergunakan kayu bakar anglo diganti dengan keren ; keren inilah yang banyak dipergunakan orang di desa-desa. Keren pada prinsipnya sama dengan anglo, tetapi tidak bertingkat. | |||
G. Tepas Tepas ini tidak dipergunakan jika perapian menggunakan kompor. Tepas ialah alat untuk membesarkan api menurut kebutuhan ; terbuat dari bambu. Selain tepas, digunakan juga ilir. Tepas dan ilir pada pokoknya sama, hanya berbeda bentuk. Tepas berbentuk empat persegi panjang dan meruncing pada salah satu sisi lebarnya dan tangkainya terletak pada bagian yang runcing itu. |
H. Taplak Taplak berfungsi untuk menutup dan melindungi paha pembatik dari tetesan lilin malam dari canting. | I. Kemplongan Kemplongan merupakan alat yang terbuat dari kayu yang berbentuk meja dan palu pemukul alat ini dipergunakan untuk menghaluskan kain mori sebelum di beri pola motif batik dan dibatik. |
J. Canting Canting merupakan alat untuk melukis atau menggambar dengan coretan lilin malam pada kain mori. Canting ini sangat menentukan nama batik yang akan dihasilkan menjadi batik tulis. Alat ini terbuat dari kombinasi tembaga dan kayu atau bamboo yang mempunyai sifat lentur dan ringan. |
Canting Dapat Dibedakan dalam Beberapa Macam: | |
a. Menurut fungsinya - Canting Reng-rengan Canting reng-rengan dipergunakan untuk membatik Reng-rengan. Reng-rengan (ngengrengan) ialah batikan pertama kali sesuai dengan pola sebelum dikerjakan lebih lanjut. Orang membatik reng-rengan disebut ngengreng. Pola atau peta ialah batikan yang dipergunakan sebagai contoh model. Reng-rengan dapat diartikan kerangka. Biasanya canting reng-rengan dipergunakan khusus untuk membuat kerangka pola tersebut, sedangkan isen atau isi bidang dibatik dengan mempergunakan canting isen sesuai dengan isi bidang yang diinginkan. Batikan hasil mencontoh pola batik kerangka ataupun bersama isi disebut Polan. Canting reng-rengan bercucuk sedang dan tunggal. -.Canting Isen Canting Isen ialah canting untuk membatik isi bidang, atau untuk mengisi polan. Canting isen bercucuk kecil baik tunggal maupun rangkap. | |
b. Menurut besar kecil cucuk Canting dapat dibedakan : - Canting carat (cucuk) kecil. - Canting carat (cucuk) sedang. - Canting carat (cucuk) besar. |
c. Menurut banyaknya carat (cucuk) Canting dapat dibedakan : - Canting cecekan. Canting cecekan bercucuk satu (tunggal), kecil, dipergunakan untuk membuat titik- titik kecil (Jawa : cecek). Orang membuat titik-titik dengan canting cecekan disebut “nyeceki”. Selain untuk membuat titik-titik kecil sebagai pengisi bidang, canting cecekan dipergunakan juga untuk membuat garis-garis kecil. - Canting loron. Loron berasal dari kata loro yang berarti dua. Canting ini bercucuk dua,berjajar atas dan bawah, dipergunakan untuk membuat garis rangkap. - Canting telon Telon dari kata telu yang berarti tiga. Canting ini bercucuk tiga dengan susunan bentuk segi tiga. Kalau canting telon dipergunakan untuk membatik, maka akan terlihat bekas segi tiga yang dibentuk oleh tiga buah titik, sebagai pengisi. | |||
- Canting prapatan Prapatan dari kata papat yang berarti empat. Maka canting ini bercucuk empat, dipergunakan untuk membuat empat buah titik yang membentuk bujursangkar sebagai pengisi bidang. - Canting liman Liman dari kata lima. Canting ini bercucuk lima untuk membuat bujursangkar kecil yang dibentuk oleh empat buah cicik dan sebuah titik ditengahnya. -. Canting byok Canting byok ialah canting yang bercucuk tujuh buah atau lebih dipergunakan untuk membentuk lingkaran kecil yang terdiri dari titik-titik, ; sebuah titik atau lebih, sesuai dengan banyaknya cucuk, atau besar kecilnya lingkaran. Canting byok biasanya bercucuk ganjil.- Canting renteng atau galaran Galaran berasal dari kata galar, suatu alat tempat tidur terbuat dari bambu yang dicacah membujur. Renteng adalah rangkaian sesuatu yang berjejer ; cara merangkai dengan sistem tusuk. Canting galaran atau renteng selalu bercucuk genap ; empat buah cucuk atau lebih : biasanya paling banyak enam buah, tersusun dari bawah ke atas. | |||
Gambar Bentuk-bentuk Canting |
2. KAIN MORI | |||
Mori adalah bahan baku batik dari katun. Kwalitet mori bermacam-macam, dan jenisnya sangat menentukan baik buruknya kain batik yang dihasilkan. Karena kebutuhan mori dari macam-macam kain tidak sama, keterangan dibawah ini barangkali bermanfaat juga. | |||
1. Ukuran mori | |||
Mori yang dibutuhkan sesuai dengan panjang pendeknya kain yang dikehendaki. Ada juga kebutuhan yang pasti misalnya udheng atau ikat kepala. Udheng berukuran lebih atau kurang dari kebutuhan ; oleh karena itu tidak dapat dipergunakan sesuai dengan pemakaian yang semestinya. Tetapi kain tidak pasti ukurannya. Jika pendek akan mempengaruhi kesempurnaan pemakaiannya ; jika lebih panjang akan menambah sempurna dalam pemakaian. | |||
Cara mengukurnya pun hanya dengan jalan memegang kedua sudut mori pada sebuah sisi lebar dan menempelkan salah satu sudut tadi pada sisi panjang berseberangan sepanjang lebar mori. Kalau akan mengambil beberapa kacu, maka berganti-ganti tangan kiri dan kanan memegang sudut mori itu, menempelkan pada sisi panjang yang sama dengan menekuk mori | |||
2. Kebutuhan akan mori | |||
Kain dodot membutuhkan mori 7 kacu. Kain dodot biasanya dipakai oleh keluarga kraton atau penari klasik.Tetapi karena kain dodot mahal harganya, maka fungsi kain dodot para penari diganti oleh kain biasa yang cukup panjang. Kain nyamping membutuhkan 2 atau 2.5 kacu, menurut kesenangan atau besar kecilnya si pemakai. Udheng membu-tuhkan mori sekacu. Udheng ada dua macam; “udheng lembaran” dan “udheng jadi”. Udheng jadi ialah udheng yang sudah berbentuk, tinggal pakai. Udheng jadi ini sebenarnya hanya membutuhkan kain setengah kacu, dan memotongnya secara diagonal. Sedang udheng lembaran dibentuk sewaktu akan dipakai, langsung dikepala si pemakai ; selesai dipakai udheng itu dilepas lagi. Udheng terakhir ini membutuhkan mori sekacu ; tetapi secara praktis juga hanya setengah kacu, karena setengah kacu lagi terlipat didalam sebagai penebal belaka. Oleh karenanya udheng lembaran dapat dibatik menurut dua macam motif batik dengan batas salah satu diagonal. Dalam hal udheng yang memakai dua macam motif batik itu, si pemakai bebas memilih motif mana yang ditaruh diluar untuk diperlihatkan. |
3. Mengolah mori sebelum dibatik | ||
Sebelum dibatik mori harus diolah lebih dahulu. Baik buruknya pengolahan akan menentukan baik buruknya kain. Pengolahan mori adalah sebagai berikut: Mori yang sudah dipo-tong dipli-pit. Diplipit ialah dijahit pada bekas potongan supaya benang “pakan” tidak terlepas. Benang pakan ialah benang yang melintang pada tenunan. Setelah diplipit kemudian dicuci dengan air tawar sampai bersih. Kalau mori kotor, maka kotoran itu akan menahan mere-sapnya cairan lilin (malam yang dibatikkan) dan menahan cairan warna pada waktu proses pem-babaran. Di daerah Yogyakarta dan Surakarta mori dijemur sampai kering setelah dicuci. Tetapi didaerah Blora, setelah dicuci berih mori terus direbus. Setelah wantu panas, mori bersih dimasukkan kedalamnya. Cara memasukkan mori kedalam wantu mulai dari ujung sampai pangkal secara urut. Rebusan memakan waktu beberapa menit. Mori kemudian diangkat dan dicuci untuk menghilangkan kotoran sewaktu direbus. | ||
Selesai dicuci barulah dijemur sampai kering. Mori menjadi lemas ; kemudian dikanji. Bahan kanjialah beras. Didaerah Blora dipakai sembarang beras asalkan putih. Beras direndam beberapa saat dalam air secukupnya ; kemudian beras bersama airnya direbus sampai mendidih. Air rebusan beras diambil dan dinamakan tajin. Mori kering dimasukkan kedalam tajin sampai merata ; tanpa diperas langsung dijemur supaya kering. Akhirnya mori menjadi kaku. Setelah mori lembab, kemudian dikemplong. Dikemplong ialah dipukuli pada tempat tertentu dengan cara tertentu pula, supaya benang-benang menjadi kendor dan lemas, sehingga cairan lilin dapat meresap. Cara mengemplong mori. Disediakan kayu kemplongan sebagai alas dan alu pemukul atau “ganden” (ganden ialah martil agak besar terbuat dari kayu). Mori dilipat memanjang menurut lebarnya. Lebar lipatan lebih kurang setengah jengkal ; kemudian ditaruh diatas kayu dasar memanjang, lalu dipukul-pukul. Jika perlu dibolak-balik agar pukulan menjadi rata. | ||
Setelah dikemplong, tinggal menentukan motif batikan yang dikehendaki. Jika ingin motif parang-parangan, atau motif-motif yang membutuhkan bidang-bidang tertentu, maka mori digarisi lebih dahulu. Fungsi penggarisan ini hanyalah untuk menentukan letak motif agar menjadi rapi (lurus). Pembatik yang sudah mahir tidak menggunakan penggarisan. Besar kecilnya garisan tidak sama, tergantung pada motif rencana batikan. Biasanya kayu garisan berpenampang bujursangkar. | ||
Cara memindah kayu penggaris setelah garis pertama ke garis kedua ialah dengan memutar kayu penggaris (membalik), tanpa mengang-katnya. Maka lebar sempitnya ruang antara garis satu sama lain ditentukan oleh banyaknya putaran kayu penggaris. Mori yang dibatik motif semen tidak perlu digarisi, langsung dirangkap dengan pola pada muka mori sebaliknya. Setelah semua itu selesai, barulah dapat dimulai kerja membatik. | ||
3. LILIN (“MALAM”) | |||
Lilin atau “malam” ialah bahan yang dipergunakan untuk membatik. Sebenarnya “malam” tidak habis (hilang), karena akhirnya diambil kembali pada waktu proses mbabar, proses pengerjaan dari membatik sampai batikan menjadi kain. Tentang “malam” dapat dikemukakan sebagai berikut : | |||
1. Jenis Malam Dan Campurannya. | |||
“Malam” yang dipergunakan untuk membatik macam-macam jenisnya. Kwalitet ini berpengaruh terutama pada daya serap, warna yang dapat mempengaruhi warna mori (kain), halusnya cairan, dan sebagainya. Maka harganya pun akan berbeda-beda. Tetapi dalam pemakain kita tergantung pada kebutuhan. Jenis “malam” itu ialah : | |||
“Malam Tawon” (lebah ) ialah “malam” yang berasal dari sarang lebah ( tolo tawon). Tolo tawon dipisahkan dari telur lebah dengan jalan merebusnya. | |||
“Malam Klanceng” ialah “malam” dari sarang lebah klanceng, dan didapat dengan cara seperti tersebut diatas. | |||
“Malam Timur” ialah “malam” terbaik. Jenis ini belum diketahui bahannya. | |||
“Malam Sedang”, asal dan bahannya belum dapat diketahui. | |||
“Malam Putih”, berasal dari minyak latung buatan pabrik. | |||
“Malam Kuning”, berasal dari minyak latung buatan pabrik. | |||
“Malam Songkal”, berasal dari minyak latung buatan pabrik. Warnanya hitam dan hanya untuk campuran. | |||
Keplak ialah bahan campuran. | |||
Gandarukem ialah bahan campuran. | |||
2. Cara Mencampur Malam | ||
Aturan cara mencampur malam adalah sebagai berikut Malam putih seberat 100 buah uang sen (uang sen jaman Belanda) dengan malam hitam (sangkal) seberat 50 buah uang sen, dan "malam klancen,," seberat 50 buah uang sen. atau "Malam timur" seberat 100 buah uang sen dengan "malam" bekas batikan yang sudah kena wedelan seberat 50 buah uang sen, dan malam klancen berat 50 buah uang sen |
4. PROSES MEMBATIK | ||
Mori yang sudah di kemplongi dan di garisi, apabila akan dibatik dengan motif jenis parang-parangan atau motif lain yang membutuhkan bidang tertentu serta lurus, umumnya di”rujak”. Dirujak artinya membatik tanpa mngunakan pola ; orang yang membatik demikian disebut “ngrujak”. Orang yang Ngrujak adalah orang yang sudah ahli. Sedang orang yang baru taraf belajar atau belum lahir biasanya hanya “nerusi” atau “ngisen-ngiseni”. Sedangkan membatikdengan mempergunakan pola sudah diterangkan dimuka. Baik membatik rujak maupun membatik mempergunakan pola biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah ahli, sebab taraf permulaan ini merupakan penentuan buruk-baiknya bentuk batikan secara keseluruhan. | ||
1. Persiapan Membatik | ||
a. | Keren, atau anglo dan wajan berisi “malam” harus sudah siap untuk mulai membatik. Malam harus sempurna cairnya (malam tua). Supaya lancar keluarnya melalui cucuk canting ; selain itu malam dapat meresap dengan sempurna dalam mori. Api dalam anglo atau keren harus dijaga tetap membara, tetapi tidak boleh menyala, karena berbahaya kalau menjilat malam dalam wajan. | |
b. | Mori yang sudah dipersiapkan harus telah berada diatas gawangan dekat keren, anglo. Si pembatik duduk diantara gawangan dan keren atau anglo. Gawangan berdiri disebelah kiri dan keren disebelah kanan pembatik. Orang yang pekerjaannya membatik disebut “pengobeng”. | |
c. | Setelah semuanya beres pembatik memulai tugasnya. Pertama memegang canting. Cara memegang canting berbeda dengan cara memegang pensil, atau pulpen untuk menulis. Perbedaan itu disebabkan ujung cucuk cantingbentuknya melengkung dan berpipa besar, sedang pensil atau pulpen lurus. Memegang canting dengan ujung-ujung ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah seperti memegang pensil untuk menulis, tetapi tangkai canting horizontal, sedangkan pensil untuk menulis dalam posisi condong. Posisi canting demikian itu untuk menjaga agar malam dalam nyamplunga tidak tumpah. | |
d. | Dengan canting itu pengobeng menciduk malam mendidih dalam wajan kemudian dibatikkan diatas mori. Sebelum dibatikkan canting ditiup lebih dahulu cara meniuppun dengan aturan tertentu, agar malam dalam nyamplungan tidak tumpah pada bibir pengobeng. Canting ditiup dengan maksud : |
1. | Untuk mengembalikan cairan malam dalam cucuk kedalam nyamplungan, supaya tidak menetes sebelum ujung canting ditempelkan pada mori. | ||
2. | Untuk menghilangkan cairan malam yang membasahi cucuk canting ; karena cucuk canting yang berlumuran cairan malam akan mengurangi baiknya goresan, terutama ketika permulaan canting diproseskan pada mori. | ||
3. | Untuk mengontrol cucuk canting dari kemungkinan tersumbat oleh kotoran malam. Kalau tersumbat, maka cairan dalam nyamplungan tidak bersuara, karena udara tidak dapat masuk. Maka lubang ujung cucuk ditusuk memakai ijuk, atau serabut kelapa sampai masuk sepanjang cucuk. Biasanya sesudah ditusuk ditiup kembali, atau langsung dibatikkan pada mori. Keitimewaan menusuk ialah memakai tangan kiri dengan cara tertentu dalam waktu yang cepat. | ||
4. | Canting yang beres keadaannya baru digoreskan pada mori. Tangan kiri terletak disebalik mori. Sebagai landasan (penguak) mori yang baru digores dengan canting. Jika cari cairan malam dalam nyamplungan habis, atau kurang lancar mungkin karena pendinginan, malam itu dikembalikan kedalam wajan ; canting dicidukkan pada cairan malam dalam wajan itu juga. Pengembalian cairan malam yang sudah dingin tadi tidak besar pengaruhnya terhadap malam dalam wajan. Hal itu dilakukan smpai selesai, dan termasuk nemboki. | ||
2. Tahap-tahap Membatik | |||
Tahap-tahap membatik sepotong mori harus dikerjakan tahap demi tahap. Setiap tahap dapat dikerjakan oleh orang yang berbeda tetapi sepotong mori tidak dapat dikerjakan beberapa orang bersamaan waktu. Tahap-tahap itu ialah : | |||
a. membatik kerangka | |||
membatik kerangka dengan memakai pola disebut “mola”, sedang tanpa pola disebut “ngrujak”. Mori yang sudah dibatik seluruhnya berupa kerangka, baik bekas memakai pola maupun dirujak, disebut “batikkan kosongan”, atau disebut juga “klowongan’. Canting yang dipergunakan ialah canting cucuk sedeng yang disebut juga canting klowongan. | |||
b. ngisen-iseni | |||
ngisen-iseni dari kata “isi”. Maka ngisen-iseni berarti memberi isi atau mengisi. Ngisen iseni dengan mempergunakan canting cucuk kecil disebut juga canting isen canting isen bermacam-macam. Tetapi sepotong mori belum tentu mempergunakan seluruh macam canting isen, tetapi tergantung pada motif yang akan di buat.Umpama memerlukan bermacam -macam canting isen karena beraneka ragam ; Tetapi membatik harus satu persatu, dan setiap bagian harus selesai sebelum bagian lain dikerjakan dengan canting lain misalnya kalau “nyeceki” (membuat motif yang terdiri dari titik-titik), | |||
bagian cecekan harus selesai seluruhnya. Kegiatan mengerjakan bagian-bagian mempunyai nama masing-masing ; nama tersebut menurut nama canting yang dipergunakan. Proses pemberian nama ialah dengan mengubah nama benda (nama canting) menjadi kata kerja, sedang hasil kerjanya diambil dari nama canting yang dipergunakan. Nama itu ialah : nyeceki yaitu mempergunakan canting cecekan, hasilnya bernama cecekan. Neloni ialah mempergunakan canting Telon, hasilnya disebut telon. Mrapati ialah mempergunakan Canting Prapatan, hasilnya, dan seterusnya. Tetapi mempergunakan Canting Galaran atau Canting Renteng, selalu disebut ngalari, dan tidak pernah disebut “ngrentengi” ; sedang hasilnya selalu disebut “galaran”, tidak pernah disebut “rentengan” Cara penggunaan canting bertahap itu banyak keuntungannya. Keuntungan pertama ialah canting dapat dipergunakan bergantian dalam satu rombongan pengobeng (pembatik yang berbeda-beda tugasnya (berbeda tahap batikan yang dikerjakan) ; Keuntungan kedua kedua ialah mengurangi jumlah canting yang semacam meskipun anggota pengobeng cukup banyak. Kalau dua orang bersamaan akan menggunkan canting semacam, sedangkan cantinga hanya sebuah, maka salah satu dapat menundanya dan mengerjakan bagian lain dengan canting lain. Demikian seterusnya. Batikkan yang lengkap dengan isen-isen disebut “reng-rengan”. Oleh kaena namanya reng-rengan maka pengobeng yang membatik sejak permuaan sampai penyelesaian (akhir) memberi isen-isen disebut “ngengreng”. Jadi ngerengan merupakan kesatuan motif dari keseluruhan yang dikehendaki. Hal itu merupakan penyelesaian yang pertama. | |||
c. Nerusi | |||
Nerusi merupakan penyelesaian yang kedua. Batikan yang berupa ngengrengan kemudian di balik permukaannya, dan dibatik kembali pada permukaan kedua itu. Membatik nerusi ialah membatik mengikuti motif pembatikan pertama pada bekas tembusnya. Nerusi tidak berbeda dengan mola dan batikan pertama berfungsi sebagai pola. Canting-cantingyang dipergunakan sama dengan canting canting untuk ngengreng nerusi terutama untuk mempertebal tembusan batikan pertama serta untuk memperjelas. Batikan yang selesai pada tahap ini pun masih disebut “ngengrengan”. Pengobeng yang membatik dari permulaan sampai selesai nerusi disebut “ngengreng”. | |||
d. Nembok | |||
Sebuah batikan tidak seluruhnya diberi warna, atau akan diberi warna yang bermacam-macam pada waktu penyelesaian menjadi kain.Maka bagian-bagian yang tidak akan diberi warna, atau akan diberi warna sesudah bagian yang lain harus ditutup dengan malam. Cara menutupnya seperti cara membatik bagian lain dengan mempergunakan canting tembokan. Canting tembokan bercucuk besar. Orang yang mengerjakan disebut “Nembok” atau nemboki dan hasilnya disebut “tembokan”. Bagian yang ditembok biasanya disela-sela motif pokok. Menembok biasanya mempergunakan malam kualitas rendah. Meskipun malam penuh kotoran tetapi canting canting bercucuk besar tidak banyak terganggu. Selain itu bagian tembokan cukup lebar dan tebal,sehingga kurang baiknya malam untuk nembok dapat diatasi. | |||
Pada hakekatnya fungsi malam selain untuk membentuk motif, juga untuk menutup pada tahap-tahap pemberian warna kain, dimana warna itu sebagai pembentuk motif batik yang sesungguhnya. Nem-bok hanya pada sebelah muka mori. | |||
e. Bliriki |
Bliriki ialah nerusi tembokan agar bagian-bagian itu tertutup sungguh –sungguh. Bliriki mempergunakan canting tembokan dan caranya seperti nemboki. Apabila tahap terakhir ini sudah selesai berarti proses membatik selesai juga. Hasil Bliriki disebut “blirikan” tetapi jarang disebut demikian, lebih biasa disebut”tembokan”. Memang membatik disebut selesai apabila proses terakhir tadi selesai ;atau kalau batikan tidak perlu ditembok,maka yang disebut batikan selesai adalah sebelum ditembok. Pada jaman yang silam didaerah Surakarta, setiap selesai tahap-tahap tadi, batikan dijemur sampai “malam “ nya hampir meleleh. | |||
Maksud penjemuran itu ialah agar supaya lilin pada mori tidak mudah rontok atau hilang. Sebab “malam” (mendidih) waktu dipergunakan untuk membatik dan bersinggungan dengan mori dingin akan membeku tiba-tiba karena proses “kejut”. Pembekuan malam demikian itu kurang baik, karena batikan sering patah-patah dan malam mudah rontok. | |||
Tetapi jika dijemur,pemanasan terjadi secara merata , dan mori ikut terpanasi.Mori yang mengalami pemanasan sinar matahari akan mengembang, dan mempunyai daya serap. Proses mengembang ini memperkuat melekatnya malam yang mulai akan meleleh;sebelum malam itu meleleh batikan harus diangkat dengan hati-hati ke tempat teduh. | |||
Di tempat teduh, batikan secara serentak akan mendingin. Proses pendinginan ini pun ada keuntungannya, karena antara mori dan malam saling memperkuat daya lekat.Selesailah kerja membatik. | |||
5. MBABAR | ||
Mbabar ialah proses penyelesaian dari batikan menjadi kain. Selesai batikan dibliriki, meningkat pengerjaan selanjutnya, yaitu memproses menjadi kain. Dibeberapa daerah cara mbabar pada garis besarnya sama. | ||
Perbedaan hanyalah terletak pada perbandingan bahan adonan yang dipergunakan. Ada suatu daerah dimana perbandingan bahan adonan sudah tertentu sesuai dengan kain yang diinginkan. Tetapi ada pula daerah yang mempergunakan perbandingan tidak menentu dan hanya berdasar perkiraan menurut pengalaman. Selain itu perbedaan terletak pada jangka waktu yang dibutuhkan setiap tahap-tahap mbabar. Ada pula yang mempergunakan jangka waktu tertentu ; tetapi ada pula yang berdasar perkiraan saja. Perbedaan-perbedaan itu mempengaruhi kwalitet kain yang diproduksi setiap daerah. Hal itu tidak mustahil karena pada mbabar terdapat proses kimia ; sedang waktu adalah sangat besar pengaruhnya terhadap proses kimia. Tetapi proses ini belum diketahui secara mendalam oleh para pembabar masa silam. | ||
1. Bahan Untuk Mbabar | |||
Pada umumnya untuk mbabar batikan dipergunakan bahan hasil alam dengan pengolahan sederhana. Memang bumi Indonesia kaya akan hasil alam yang bermacam-macam. Bahan untuk mbabar, antara lain : | |||
a. NILA | |||
Nila dari tumbuh-tumbuhan tarum (Jawa tom). Sudah sejak jaman purbakala tarum dipakai untuk membuat warna pakaian. Nila dipergunakan untuk medel batikan dengan campuran bahan yang lain. | |||
b. TEBU | |||
Tebu diambil gulanya atau tetes; sebagai campuran. | |||
c. ENJET (KAPUR SIRIH) | |||
Dipergunakan untuk campuran. | |||
d. TAJIN | |||
Tajin ialah semacam kanji yang diambil dari air rebusan beras. | |||
e. SOGA | |||
Soga nama tumbuh-tumbuhan dari keluarga papilionaceae dan mempunyai warna kuning. | |||
f. SAREN | |||
Saren dari kata sari berarti inti atau pati. Di Jawa terdapat istilah “saren” ;yang dimaksud adalah darah lembu (kerbau) yang dipotong dan dimasak. Di sini saren adalah suatu ramuan, atau adonan dari beberapa bahan untuk mencelup batikan sesudah disoga. Dan tahap ini adalah tahap menghilangkan “malam”, atau mendekati penyelesaian. | |||
2. Proses Mbabar Batikan Menjadi Kain. | |||
Proses ini terbagi dalam beberapa tahap dan harus diselesaikan secara urut. Kalau batikan sudah dibliriki, pekerjaan meningkat kepada tahap pertama proses mbabar. Tahap-tahap itu ialah : | |||
A. Medel Dan Mbironi | |||
Bahan pokok untuk medel ialah nila (tarum). Lebih dahulu disediakan air 24 pikul, satu pikul lebih kurang 40 liter. Sebuah jambangan diisi air 21 pikul dan sebuah lagi tetap dikosongkan. Jambangan yang berisi air kemudian diberi latak. Latak ialah endapan cairan nila. Banyaknya latak 3 pikul, diaduk pagi dan sore selama 2 atau 3 hari. Pada pagi hari ke-3 atau 4, jika keadaan latak dalam campuran tersebut sudah kelihatan hitam, maka air diatas endapan diambil dan dipindah ke jambangan yang kosong. Endapan latak campuran ditambah lagi dengan latak baru sebanyak 2 pikul dan gula tetes sebanyak sebatok (batok yang dimaksud ialah tempurung kelapa belah dua dan diambil dagingnya). Warna campuran akan menjadi kuning. Sore harinya ditambah lagi dengan nila yang amat hitam sebanyak 1,5 pinggan besar (pinggan ialah mangkok besar). | |||
Keesokan harinya, kira jam 6.00, nila dalam jambangan sudah dapat dimasuki batikan. Nila sebanyak itu diperuntukkan bagi batikan sebanyak 30 potong, masing-masing 2,5 kacu. Pencelupan ini memakan waktu kira-kira 2 jam ; setelah itu diangkat dari rendaman dan ditaruh pada suatu sampiran tanpa dibentangkan, sampai air tidak menetes (atus). Pengangkatan dari rendaman dan penempatan sampai “atus” disebut “kasirep” (kasirep dari kata sirep kurang lebih berarti “reda”). Jika sudah atus atau tidak menetes airnya, kemudian dimasukkan ke dalam nila kembali selama dua jam : setelah itu diangkat dan dijemur sampai kering. Pengangkatan kedua dan penjemuran sampai kering disebut “kageblogi”( kageblogi dari kata “geblok” berarti suatu cara memukul, atau suatu ukuran kelompok). | |||
Setelah batikan kering, dimasukkan lagi ke dalam nila. Pekerjaan ini dilakukan beberapa kali sampai batikan mencapai warna hitam. Kalau batikan sudah berwarna hitam, barulah kerja tersebut berhenti. Nila bekas pencelupan segera ditambah dengan endapan nila sebanyak 1,5 pinggan besar. Penambahan ini disebut “nglawuhi” (nglawuhi dari kata lawuh berarti lauk pauk untuk makan). Tetapi arti atau fungsi nglawuhi dalam proses mbabar kain ini adalah sebagai penyempurna. Sekarang nila berwarna kuning. Kalau terlalu kuning akan berbahaya sebab dapat merontokkan “malam”, sedangkan tugas “malam” pada mori belum selesai. Warna terlalu kuning disebabkan kurang enjet (kapur sirih). Tetapi jika terlalu banyak enjet, warnanya akan menjadi hijau, tidak dapat untuk menghitamkan batikan. Untuk mengembalikan warna menjadi kuning, cukuplah diberi cuka Jawa (?) atau gula tetes. | |||
Seandainya belum juga kuning, diberi gula tebu dan asam sampai warna berubah menjadi kuning kembali sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu batikan dimasukkan kembali dalam adonan nila seperti kerja di atas. |
Sekarang batikan sungguh-sungguh berwarna hitam. Setelah cukup batikan diangkat dan dicuci dalam air tawar dan dikeringkan pada tempat teduh. Batikan yang sudah kering direndam dalam air tawar sampai “malam” bluduk (bluduk ialah seperti keadaan akan rontok). “Malam” pada batikan reng-rengan dan terusan dikerok memakai alat tertentu sampai bersih ; sedangkan “malam” pada tembokan dan blirikan tidak dikerok. Batikan yang sudah dikerok terus dibilasi (dibilasi ialah pencucian yang kedua kali) sampai air cucian kelihatan bersih, dan dikeringkan kembali pada tempat yang teduh. Setelah batikan kering, lalu dikanji memakai “tajin busuk” (basi) dengan gula tebu. Perbandingan campuran ialah 3 gelas tajin dengan gula seberat 3 buah uang sen. Setelah dikanji batikan dikeringkan kembali. Sesudah kering dibironi pada bagian-bagian yang membutuhkan warna biru (dibironi diberi warna biru). Sebelum dibironi, bagian-bagian yang tidak membutuhkan warna biru ditutup dengan “malam”. Cara menutup seperti membatik tembokan dan bliriki. Selesai dibironi, meningkat ke tahap ketiga yaitu di “soga”. | ||||
Kemudian batikan dibironi. Reng-rengan batikan dikerok sampai bersih seperti cara yang sudah diterangkan. Sesudah dikerok terus dicuci dan dikeringkan, atau tanpa dikeringkan langsung disekuli, yaitu dicelupkan dalam “tajin” ; kemudian dikeringkan. Apabila sudah kering, terus dibironi. Perbedaan dengan cara di atas ialah tanpa mengalami pengeringan yang pertama. Selain itu perbandingan bahan-bahan ramuan nila tidak tentu, tetapi tergantung dari perkiraan yang mengerjakan. Hal itu mungkin merupakan kekalahan dalam tahap wedelan. |
B. Nyoga | |||
Sesudah dibironi dan kering, batikan itu disoga. Caranya : Batikan diwiru, yaitu dilipat bolak-balik (lipatan spiral). Selesai diwiru, dima-sukkan ke dalam wadah yang berisi soga hangat, ditekan-tekan sedemikian rupa agar merata. Sesudah cukup rata diangkat, dan disampirkan di atas wadah tersebut, supaya soga dapat menetes kembali ke dalam wadah tadi. Jika cairan soga tidak menetes lagi, maka batikan dijemur pada sinar matahari sampai setengah kering, |
kemudian dipindah ke tempat teduh sampai kering. Sampai disini barulah satu tahap nyoga ; sedang penggunaan masing-masing soga akan berbeda pula tingkat-tingkatnya. Setelah selesai menyoga, segera batikan disareni. Kapur dan gula tebu dituangi air jambangan, diaduk sampai hancur. Sesudah mengendap, maka air rendaman dituangkan dalam kenceng. Batikan dimasukkan dalam kenceng sampai merata ; kemudian diangkat sampai atus. Sesudah atus, terus dipukul-pukul dalam air panas supaya “malam” hilang. Memukulkan pada air panas disebut “nglorot |
atau “nglungsur”. Setelah batikan “dilorot” terus dicuci dan dijemur. Penjemuran batikan itu disebut “dikemplang”. Sampai tahap ini disebut “ambabar”. Setiap pagi hari batikan yang sudah berupa kain itu diembun-embunkan. Selesailah proses mbabar batikan. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
III. PERLENGKAPAN PROSES BATIK CAP & TAHAP-TAHAP BATIK CAP
· 3 Jari (untuk laki-laki), · 2 Jari (untuk putri). Untuk gaya Yogyakarta, seret kain masih kelihatan. Agar wiron tidak lepas , maka sebaiknya diberi jepitan. Hal itu juga bertujuan supaya wiron tetap rapi. Setelah itu barulah kain dipakai. Untuk orang laki-laki, wiron kain terletak disebelah kanan, berlawanan dengan putri. Khusus untuk kain yang bermotif parang maka untuk gaya Yogyakarta, untuk laki-laki, arah parang itu berlawanan dengan arah keris. Jika ditarik antara garis keris dan parang akan terjadi garis silang. Untuk motif-motif kain yang di dalamnya terdapat motif garuda, maka letak garuda harus berdiri dan diusahakan terletak tepat ditengah pantat pemakainya.
DAFTAR PUSTAKA Drs. Hamzuri, Batik Klasik , penerbit Djambatan, Jakarta 1981. G.P. Rouffear En H.H. Juynboll, DE BATIKKUNST, Th.1914 J. E. Jasper en Mas Pirngadie, INLANDSCHE KUNSTNIJVERHEID IN NEDERLANDSCH INDI, Gravenhage Door De Boek? & Kunstdrukkerij, Mouton & Co.? 1916. Rijksblad van Djokjakarta No 19. th 1927 TJOKROSUHARTO. Koleksi Pola Motif Batik, Tim Pengabdian pada Masyarakat Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Pakaian Adat Jawa Gaya Yogyakarta, 1995 |
Sumber: www.tjokrosuharto.com
Cukup informatif sekali.... So, jadi bisa nambah pengetahuan....
BalasHapus