I.                  SEKILAS TENTANG PERJALANAN SEJARAH BATIK JOGJAKARTA
Seni                  Batik Tradisional dikenal sejak beberapa abad yang lalu di tanah                  Jawa. Bila kita menelusuri perjalan perkembangan batik di tanah                  Jawa tidak akan lepas dari perkembangan seni batik di Jawa Tengah.                  Batik Jogja merupakan bagian dari perkembangan sejarah batik di                  Jawa Tengah yang telah mengalami perpaduan beberapa corak dari                  daerah lain.
Perjalanan “Batik Yogya” tidak bisa lepas dari perjanjian Giyanti 1755. Begitu Mataram terbelah dua, dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, busana Mataram diangkut dari Surakarta ke Ngayogyakarta maka Sri Susuhunan Pakubuwono II merancang busana baru dan pakaian adat Kraton Surakarta berbeda dengan busana Yogya.
Di desa Giyanti, perundingan itu berlangsung. Yang hasilnya antara lain , Daerah atau Wilayah Mataram dibagi dua, satu bagian dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB II di Surakarta Hadiningrat , sebagian lagi dibawah kekuasaan Kanjeng Pangeran Mangkubumi yang setelah dinobatkan sebagai raja bergelar Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng kaping I , yang kemudian kratonnya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Semua pusaka dan benda-benda keraton juga dibagi dua. Busana Mataraman dibawa ke Yogyakarta , karena Kangjeng Pangeran Mangkubumi yang berkehendak melestarikannya. Oleh karena itu Surakarta dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB III merancang tata busana baru dan berhasil membuat Busana Adat Keraton Surakarta seperti yang kita lihat sampai sekarang ini.
Perjalanan “Batik Yogya” tidak bisa lepas dari perjanjian Giyanti 1755. Begitu Mataram terbelah dua, dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, busana Mataram diangkut dari Surakarta ke Ngayogyakarta maka Sri Susuhunan Pakubuwono II merancang busana baru dan pakaian adat Kraton Surakarta berbeda dengan busana Yogya.
Di desa Giyanti, perundingan itu berlangsung. Yang hasilnya antara lain , Daerah atau Wilayah Mataram dibagi dua, satu bagian dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB II di Surakarta Hadiningrat , sebagian lagi dibawah kekuasaan Kanjeng Pangeran Mangkubumi yang setelah dinobatkan sebagai raja bergelar Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng kaping I , yang kemudian kratonnya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Semua pusaka dan benda-benda keraton juga dibagi dua. Busana Mataraman dibawa ke Yogyakarta , karena Kangjeng Pangeran Mangkubumi yang berkehendak melestarikannya. Oleh karena itu Surakarta dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB III merancang tata busana baru dan berhasil membuat Busana Adat Keraton Surakarta seperti yang kita lihat sampai sekarang ini.
Ciri                  khas batik gaya Yogyakarta , ada dua macam latar atau warna dasar                  kain. Putih dan Hitam. Sementara warna batik bisa putih (warna                  kain mori) , biru tua kehitaman dan coklat soga. Sered atau pinggiran                  kain, putih, diusahakan tidak sampai pecah sehingga kemasukan                  soga, baik kain berlatar hitam maupun putih. Ragam hiasnya pertama                  Geometris : garis miring lerek atau lereng , garis silang atau                  ceplok dan kawung , serta anyaman dan limaran.Ragam hias yang                  bersifat kedua non-geometris semen , lung- lungan dan boketan.Ragam                  hias yang bersifat simbolis erat hubungannya dengan falsafah Hindu                  – Jawa ( Ny.Nian S Jumena ) antara lain : 
Sawat Melambangkan mahkota atau penguasa tinggi , Meru melambangkan gunung atau tanah ( bumi ) , Naga melambangkan air , Burung melambangkan angin atau dunia atas , Lidah api melambangkan nyala atau geni.
Sejak pertama sudah ada kain larangan. Setiap Sultan yang bertahta berhak membuat peraturan baru atau larangan-larangan.
Sawat Melambangkan mahkota atau penguasa tinggi , Meru melambangkan gunung atau tanah ( bumi ) , Naga melambangkan air , Burung melambangkan angin atau dunia atas , Lidah api melambangkan nyala atau geni.
Sejak pertama sudah ada kain larangan. Setiap Sultan yang bertahta berhak membuat peraturan baru atau larangan-larangan.
Terakhir,                  Sri Paduka Sultan HB VIII membuat peraturan baru ( revisi ) berjudul                  Pranatan dalem bab namanipun peangangge keprabon ing Nagari                  Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dimuat dalam Rijksblad van                  Djokjakarta No 19. th 1927, Yang dimaksud pangangge keprabon                  ( busana keprabon ) adalah : kuluk ( wangkidan ), dodot / kampuh                  serta bebet prajuritan, bebet nyamping ( kain panjang ) , celana                  sarta glisire ( celana cindhe , beludru , sutra , katun dan gelisirnya                  ), payung atau songsong.
Motif batik larangan : Parang rusak ( parang rusak barong , parang rusak gendreh < 8 cm , parang rusak klithik < 4 cm), semen ageng sawat grudha ( gurdha ) , semen ageng sawat lar , udan riris , rujak senthe , parang-parangan yang bukan parang rusak, semua ini besar-kecilnya sesuai menurut ukuran parang rusak.
Semua putra dalem diperbolehkan mengenakan kain-kain tersebut di atas. Busana batik untuk Permaisuri diperbolehkan sama dengan raja. Garwa ampeyan dalem diizinkan memakai parang rusak gendreh kebawah. Garwa Padmi KG Pangeran Adipati sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan KG Pangeran Adipati diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah. Demikian pula putra KG Pangeran Adipati. Istri para Pangeran Putra dan Pangeran Putra Raja yang terdahulu ( Pangeran Putra Sentananing Panjenengan dalem Nata ) sama dengan suaminya . Garwa Ampeyan para Pangeran diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah.
Wayah dalem ( cucu Raja ) mengenakan parang rusak gendreh ke bawah. Pun Buyut dalem ( cicit Raja) dan Canggah dalem ( Putranya buyut ). Warengipun Panjenengan dalem Nata ( putra dan putri ) kebawah diperbolehkan mengenakan kain batik parang – parangan harus seling , tidak diperbolehkan byur atau polos.
Pepatih dalem ( Patih Raja ) diperkenankan memakai parang rusak barong kebawah.
Abdidalem : Pengulu Hakim , Wedana Ageng Prajurit , Bupati Nayaka Jawi lan lebet diperkenankan mengenakan parang rusak gendreh kebawah.
Bupati Patih Kadipaten dan Bupati Polisi sama dengan abdidalem tersebut diatas.
Penghulu Landrad , Wedana Keparak para Gusti ( Nyai Riya ), Bupati Anom , Riya Bupati Anom , parang rusak gendreh kebawah.
Abdidalem yang pangkatnya dibawah abdi dalem Riya Bupati Anom dan yang bukan pangkat bupati Anom, yakni yang berpangkat Penewu Tua.
Motif batik larangan : Parang rusak ( parang rusak barong , parang rusak gendreh < 8 cm , parang rusak klithik < 4 cm), semen ageng sawat grudha ( gurdha ) , semen ageng sawat lar , udan riris , rujak senthe , parang-parangan yang bukan parang rusak, semua ini besar-kecilnya sesuai menurut ukuran parang rusak.
Semua putra dalem diperbolehkan mengenakan kain-kain tersebut di atas. Busana batik untuk Permaisuri diperbolehkan sama dengan raja. Garwa ampeyan dalem diizinkan memakai parang rusak gendreh kebawah. Garwa Padmi KG Pangeran Adipati sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan KG Pangeran Adipati diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah. Demikian pula putra KG Pangeran Adipati. Istri para Pangeran Putra dan Pangeran Putra Raja yang terdahulu ( Pangeran Putra Sentananing Panjenengan dalem Nata ) sama dengan suaminya . Garwa Ampeyan para Pangeran diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah.
Wayah dalem ( cucu Raja ) mengenakan parang rusak gendreh ke bawah. Pun Buyut dalem ( cicit Raja) dan Canggah dalem ( Putranya buyut ). Warengipun Panjenengan dalem Nata ( putra dan putri ) kebawah diperbolehkan mengenakan kain batik parang – parangan harus seling , tidak diperbolehkan byur atau polos.
Pepatih dalem ( Patih Raja ) diperkenankan memakai parang rusak barong kebawah.
Abdidalem : Pengulu Hakim , Wedana Ageng Prajurit , Bupati Nayaka Jawi lan lebet diperkenankan mengenakan parang rusak gendreh kebawah.
Bupati Patih Kadipaten dan Bupati Polisi sama dengan abdidalem tersebut diatas.
Penghulu Landrad , Wedana Keparak para Gusti ( Nyai Riya ), Bupati Anom , Riya Bupati Anom , parang rusak gendreh kebawah.
Abdidalem yang pangkatnya dibawah abdi dalem Riya Bupati Anom dan yang bukan pangkat bupati Anom, yakni yang berpangkat Penewu Tua.
| II.                    PERLENGKAPAN PROSES BATIK CANTING | 
| 1.                            PERLENGKAPAN MEMBATIK CANTING | 
| Proses membatik secara tradisonal                              ini dari masa - kemasa tidak mengalami banyak perubahan                              sampai sekarang. Melihat dari bentuk dan fungsinya                              peralatan batik ini cukup tradisional dan unik, sesuai                              dengan caranya yang masih tradisional. Peralatan batik                              tradisional ini merupakan bagian dari batik tradisional                              itu sendiri karena bila dilakukan perubahan dengan                              menggunakan alat/mesin yang lebih modern maka akan                              merubah nama batik tradisonal menjadi kain motif batik.                              Hal ini menunjukkan bahwa cara membatik ini memiliki                              sifat yang khusus dengan hasil seni batik tradisional.                              Bila dilihat dari segi waktu dan jumlah yang dihasilkan                              yang sangat terbatas serta hasil seni dari coretan                              canting pada kain mori akan menghasilkan seni batik                              yang bernilai tinggi dan harga yang relatif mahal | 
| A. Bandul Bandul dibuat dari timah, atau kayu, atau batu yang dikantongi. Fungsi pokok bandul ialah untuk menahan mori yang baru dibatik agar tidak mudah tergeser ditiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak disengaja. Jadi tanpa bandul pekerjaan membatik dapat dilaksanakan |  | C. Dingklik Dingklik merupakan tempat duduk orang yang membatik, tingginya disesuaikan dengan tinggi orang duduk saat membatik |  | 
| D. Gawangan Gawangan terbuat dari kayu atau bamboo yang mudah dipindah-pindahkan dan kokoh. Fungsi gawangan ini untuk menggantungkan serta membentangkan kain mori sewaktu akan dibatik dengan menggunakan canting |  |  | |
| E. Wajan Wajan ialah perkakas untuk mencairkan “malam” (lilin untuk membatik). Wajan dibuat dari logam baja, atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai supaya mudah diangkat dan diturunkan dari perapian tanpa mempergunakan alat lain. Oleh karena itu wajan yang dibuat dari tanah liat lebih baik daripada yang dari logam karena tangkainya tidak mudah panas. Tetapi wajan tanah liat agak lambat memanaskan “malam”. | |||
| F. Anglo (Kompor) Anglo dibuat dari tanah liat, atau bahan lain. Anglo ialah alat perapian sebagai pemanas “malam”. Kompor dibuat dari Besi dengan diberi sumbu.. Apabila mempergunakan anglo, maka bahan untuk membuat api ialah arang kayu. Jika mempergunakan kayu bakar anglo diganti dengan keren ; keren inilah yang banyak dipergunakan orang di desa-desa. Keren pada prinsipnya sama dengan anglo, tetapi tidak bertingkat. |  | ||
| G. Tepas  Tepas ini tidak dipergunakan jika perapian menggunakan kompor. Tepas ialah alat untuk membesarkan api menurut kebutuhan ; terbuat dari bambu. Selain tepas, digunakan juga ilir. Tepas dan ilir pada pokoknya sama, hanya berbeda bentuk. Tepas berbentuk empat persegi panjang dan meruncing pada salah satu sisi lebarnya dan tangkainya terletak pada bagian yang runcing itu. |  | ||
| H.                              Taplak Taplak berfungsi untuk menutup dan melindungi paha pembatik dari tetesan lilin malam dari canting. | I.                              Kemplongan Kemplongan merupakan alat yang terbuat dari kayu yang berbentuk meja dan palu pemukul alat ini dipergunakan untuk menghaluskan kain mori sebelum di beri pola motif batik dan dibatik. |  | 
| J.              Canting Canting merupakan alat untuk melukis atau menggambar dengan coretan lilin malam pada kain mori. Canting ini sangat menentukan nama batik yang akan dihasilkan menjadi batik tulis. Alat ini terbuat dari kombinasi tembaga dan kayu atau bamboo yang mempunyai sifat lentur dan ringan. |  | 
| Canting Dapat Dibedakan dalam Beberapa Macam: | |
| a. Menurut fungsinya                                 - Canting Reng-rengan Canting reng-rengan dipergunakan untuk membatik Reng-rengan. Reng-rengan (ngengrengan) ialah batikan pertama kali sesuai dengan pola sebelum dikerjakan lebih lanjut. Orang membatik reng-rengan disebut ngengreng. Pola atau peta ialah batikan yang dipergunakan sebagai contoh model. Reng-rengan dapat diartikan kerangka. Biasanya canting reng-rengan dipergunakan khusus untuk membuat kerangka pola tersebut, sedangkan isen atau isi bidang dibatik dengan mempergunakan canting isen sesuai dengan isi bidang yang diinginkan. Batikan hasil mencontoh pola batik kerangka ataupun bersama isi disebut Polan. Canting reng-rengan bercucuk sedang dan tunggal. -.Canting Isen Canting Isen ialah canting untuk membatik isi bidang, atau untuk mengisi polan. Canting isen bercucuk kecil baik tunggal maupun rangkap. | |
| b. Menurut besar                                kecil cucuk  Canting dapat dibedakan : - Canting carat (cucuk) kecil. - Canting carat (cucuk) sedang. - Canting carat (cucuk) besar. | |
| c.                              Menurut banyaknya carat (cucuk)  Canting dapat dibedakan : - Canting cecekan. Canting cecekan bercucuk satu (tunggal), kecil, dipergunakan untuk membuat titik- titik kecil (Jawa : cecek). Orang membuat titik-titik dengan canting cecekan disebut “nyeceki”. Selain untuk membuat titik-titik kecil sebagai pengisi bidang, canting cecekan dipergunakan juga untuk membuat garis-garis kecil. - Canting loron. Loron berasal dari kata loro yang berarti dua. Canting ini bercucuk dua,berjajar atas dan bawah, dipergunakan untuk membuat garis rangkap. - Canting telon Telon dari kata telu yang berarti tiga. Canting ini bercucuk tiga dengan susunan bentuk segi tiga. Kalau canting telon dipergunakan untuk membatik, maka akan terlihat bekas segi tiga yang dibentuk oleh tiga buah titik, sebagai pengisi. |  | ||
| -                              Canting prapatan Prapatan dari kata papat yang berarti empat. Maka canting ini bercucuk empat, dipergunakan untuk membuat empat buah titik yang membentuk bujursangkar sebagai pengisi bidang. - Canting liman Liman dari kata lima. Canting ini bercucuk lima untuk membuat bujursangkar kecil yang dibentuk oleh empat buah cicik dan sebuah titik ditengahnya. -. Canting byok Canting byok ialah canting yang bercucuk tujuh buah atau lebih dipergunakan untuk membentuk lingkaran kecil yang terdiri dari titik-titik, ; sebuah titik atau lebih, sesuai dengan banyaknya cucuk, atau besar kecilnya lingkaran. Canting byok biasanya bercucuk ganjil.- Canting renteng atau galaran Galaran berasal dari kata galar, suatu alat tempat tidur terbuat dari bambu yang dicacah membujur. Renteng adalah rangkaian sesuatu yang berjejer ; cara merangkai dengan sistem tusuk. Canting galaran atau renteng selalu bercucuk genap ; empat buah cucuk atau lebih : biasanya paling banyak enam buah, tersusun dari bawah ke atas. | |||
| Gambar Bentuk-bentuk Canting | 
|  | 
| 2. KAIN MORI | |||
| Mori                              adalah bahan baku batik dari katun. Kwalitet mori                              bermacam-macam, dan jenisnya sangat menentukan baik                              buruknya kain batik yang dihasilkan. Karena kebutuhan                              mori dari macam-macam kain tidak sama, keterangan                              dibawah ini barangkali bermanfaat juga. | |||
| 1. Ukuran mori | |||
| Mori                              yang dibutuhkan sesuai dengan panjang pendeknya kain                              yang dikehendaki. Ada juga kebutuhan yang pasti misalnya                              udheng atau ikat kepala. Udheng berukuran lebih atau                              kurang dari kebutuhan ; oleh karena itu tidak dapat                              dipergunakan sesuai dengan pemakaian yang semestinya.                              Tetapi kain tidak pasti ukurannya. Jika pendek akan                              mempengaruhi kesempurnaan pemakaiannya ; jika lebih                              panjang akan menambah sempurna dalam pemakaian. | |||
| Cara                              mengukurnya pun hanya dengan jalan memegang kedua                              sudut mori pada sebuah sisi lebar dan menempelkan                              salah satu sudut tadi pada sisi panjang berseberangan                              sepanjang lebar mori. Kalau akan mengambil beberapa                              kacu, maka berganti-ganti tangan kiri dan kanan memegang                              sudut mori itu, menempelkan pada sisi panjang yang                              sama dengan menekuk mori |  | ||
| 2. Kebutuhan akan mori | |||
| Kain dodot membutuhkan mori                                7 kacu. Kain dodot biasanya dipakai oleh keluarga                                kraton atau penari klasik.Tetapi karena kain dodot                                mahal harganya, maka fungsi kain dodot para penari                                diganti oleh kain biasa yang cukup panjang. Kain                                nyamping membutuhkan 2 atau 2.5 kacu, menurut kesenangan                                atau besar kecilnya si pemakai. Udheng membu-tuhkan                                mori sekacu. Udheng ada dua macam; “udheng                                lembaran” dan “udheng jadi”. Udheng                                jadi ialah udheng yang sudah berbentuk, tinggal                                pakai. Udheng jadi ini sebenarnya hanya membutuhkan                                kain setengah kacu, dan memotongnya secara diagonal.                                 Sedang udheng lembaran dibentuk sewaktu akan dipakai, langsung dikepala si pemakai ; selesai dipakai udheng itu dilepas lagi. Udheng terakhir ini membutuhkan mori sekacu ; tetapi secara praktis juga hanya setengah kacu, karena setengah kacu lagi terlipat didalam sebagai penebal belaka. Oleh karenanya udheng lembaran dapat dibatik menurut dua macam motif batik dengan batas salah satu diagonal. Dalam hal udheng yang memakai dua macam motif batik itu, si pemakai bebas memilih motif mana yang ditaruh diluar untuk diperlihatkan. |  | ||
| 3. Mengolah mori sebelum dibatik | ||
| Sebelum dibatik mori harus                                diolah lebih dahulu. Baik buruknya pengolahan akan                                menentukan baik buruknya kain. Pengolahan mori adalah                                sebagai berikut: Mori yang sudah dipo-tong dipli-pit.                                Diplipit ialah dijahit pada bekas potongan supaya                                benang “pakan” tidak terlepas. Benang                                pakan ialah benang yang melintang pada tenunan.                                Setelah diplipit kemudian dicuci dengan air tawar                                sampai bersih. Kalau mori kotor, maka kotoran itu                                akan menahan mere-sapnya cairan lilin (malam yang                                dibatikkan) dan menahan cairan warna pada waktu                                proses pem-babaran. Di daerah Yogyakarta dan Surakarta                                mori dijemur sampai kering setelah dicuci. Tetapi                                didaerah Blora, setelah dicuci berih mori terus                                direbus. Setelah wantu panas, mori bersih dimasukkan kedalamnya. Cara memasukkan mori kedalam wantu mulai dari ujung sampai pangkal secara urut. Rebusan memakan waktu beberapa menit. Mori kemudian diangkat dan dicuci untuk menghilangkan kotoran sewaktu direbus. |  | |
| Selesai                              dicuci barulah dijemur sampai kering. Mori menjadi                              lemas ; kemudian dikanji. Bahan kanjialah beras. Didaerah                              Blora dipakai sembarang beras asalkan putih. Beras                              direndam beberapa saat dalam air secukupnya ; kemudian                              beras bersama airnya direbus sampai mendidih. Air                              rebusan beras diambil dan dinamakan tajin. Mori kering                              dimasukkan kedalam tajin sampai merata ; tanpa diperas                              langsung dijemur supaya kering. Akhirnya mori menjadi                              kaku. Setelah mori lembab, kemudian dikemplong. Dikemplong ialah dipukuli pada tempat tertentu dengan cara tertentu pula, supaya benang-benang menjadi kendor dan lemas, sehingga cairan lilin dapat meresap. Cara mengemplong mori. Disediakan kayu kemplongan sebagai alas dan alu pemukul atau “ganden” (ganden ialah martil agak besar terbuat dari kayu). Mori dilipat memanjang menurut lebarnya. Lebar lipatan lebih kurang setengah jengkal ; kemudian ditaruh diatas kayu dasar memanjang, lalu dipukul-pukul. Jika perlu dibolak-balik agar pukulan menjadi rata. |  | |
|  | Setelah                              dikemplong, tinggal menentukan motif batikan yang                              dikehendaki. Jika ingin motif parang-parangan, atau                              motif-motif yang membutuhkan bidang-bidang tertentu,                              maka mori digarisi lebih dahulu. Fungsi penggarisan                              ini hanyalah untuk menentukan letak motif agar menjadi                              rapi (lurus). Pembatik yang sudah mahir tidak menggunakan                              penggarisan. Besar kecilnya garisan tidak sama, tergantung                              pada motif rencana batikan. Biasanya kayu garisan                              berpenampang bujursangkar.  | |
|  | ||
| Cara                              memindah kayu penggaris setelah garis pertama ke garis                              kedua ialah dengan memutar kayu penggaris (membalik),                              tanpa mengang-katnya. Maka lebar sempitnya ruang antara                              garis satu sama lain ditentukan oleh banyaknya putaran                              kayu penggaris. Mori yang dibatik motif semen tidak                              perlu digarisi, langsung dirangkap dengan pola pada                              muka mori sebaliknya. Setelah semua itu selesai, barulah                              dapat dimulai kerja membatik. | ||
| 3. LILIN (“MALAM”) | |||
| Lilin                              atau “malam” ialah bahan yang dipergunakan                              untuk membatik. Sebenarnya “malam” tidak                              habis (hilang), karena akhirnya diambil kembali pada                              waktu proses mbabar, proses pengerjaan dari membatik                              sampai batikan menjadi kain. Tentang “malam”                              dapat dikemukakan sebagai berikut : | |||
| 1. Jenis Malam Dan Campurannya. | |||
| “Malam” yang                                dipergunakan untuk membatik macam-macam jenisnya.                                Kwalitet ini berpengaruh terutama pada daya serap,                                warna yang dapat mempengaruhi warna mori (kain),                                halusnya cairan, dan sebagainya. Maka harganya pun akan berbeda-beda. Tetapi dalam pemakain kita tergantung pada kebutuhan. Jenis “malam” itu ialah : | |||
| “Malam                              Tawon” (lebah ) ialah “malam” yang                              berasal dari sarang lebah ( tolo tawon). Tolo tawon                              dipisahkan dari telur lebah dengan jalan merebusnya. | |||
| “Malam                              Klanceng” ialah “malam” dari sarang                              lebah klanceng, dan didapat dengan cara seperti tersebut                              diatas. | |||
| “Malam                              Timur” ialah “malam” terbaik. Jenis                              ini belum diketahui bahannya. | |||
| “Malam                              Sedang”, asal dan bahannya belum dapat diketahui. | |||
| “Malam                              Putih”, berasal dari minyak latung buatan pabrik. | |||
| “Malam                              Kuning”, berasal dari minyak latung buatan pabrik. | |||
| “Malam                              Songkal”, berasal dari minyak latung buatan                              pabrik. Warnanya hitam dan hanya untuk campuran. | |||
| Keplak ialah                              bahan campuran. | |||
| Gandarukem                              ialah bahan campuran. | |||
| 2. Cara Mencampur Malam | ||
| Aturan                              cara mencampur malam adalah sebagai berikut Malam putih seberat 100 buah uang sen (uang sen jaman Belanda) dengan malam hitam (sangkal) seberat 50 buah uang sen, dan "malam klancen,," seberat 50 buah uang sen. atau "Malam timur" seberat 100 buah uang sen dengan "malam" bekas batikan yang sudah kena wedelan seberat 50 buah uang sen, dan malam klancen berat 50 buah uang sen |  | |
| 4. PROSES MEMBATIK | ||
| Mori                              yang sudah di kemplongi dan di garisi, apabila akan                              dibatik dengan motif jenis parang-parangan atau motif                              lain yang membutuhkan bidang tertentu serta lurus,                              umumnya di”rujak”. Dirujak artinya membatik                              tanpa mngunakan pola ; orang yang membatik demikian                              disebut “ngrujak”. Orang yang Ngrujak                              adalah orang yang sudah ahli. Sedang orang yang baru                              taraf belajar atau belum lahir biasanya hanya “nerusi”                              atau “ngisen-ngiseni”. Sedangkan membatikdengan                              mempergunakan pola sudah diterangkan dimuka. Baik                              membatik rujak maupun membatik mempergunakan pola                              biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah ahli,                              sebab taraf permulaan ini merupakan penentuan buruk-baiknya                              bentuk batikan secara keseluruhan. | ||
| 1. Persiapan Membatik | ||
| a. | Keren,                              atau anglo dan wajan berisi “malam” harus                              sudah siap untuk mulai membatik. Malam harus sempurna                              cairnya (malam tua). Supaya lancar keluarnya melalui                              cucuk canting ; selain itu malam dapat meresap dengan                              sempurna dalam mori. Api dalam anglo atau keren harus                              dijaga tetap membara, tetapi tidak boleh menyala,                              karena berbahaya kalau menjilat malam dalam wajan. | |
| b. | Mori                              yang sudah dipersiapkan harus telah berada diatas                              gawangan dekat keren, anglo. Si pembatik duduk diantara                              gawangan dan keren atau anglo. Gawangan berdiri disebelah kiri dan keren disebelah kanan pembatik. Orang yang pekerjaannya membatik disebut “pengobeng”. | |
| c. | Setelah                              semuanya beres pembatik memulai tugasnya. Pertama                              memegang canting. Cara memegang canting berbeda dengan                              cara memegang pensil, atau pulpen untuk menulis. Perbedaan                              itu disebabkan ujung cucuk cantingbentuknya melengkung                              dan berpipa besar, sedang pensil atau pulpen lurus.                              Memegang canting dengan ujung-ujung ibu jari, jari                              telunjuk dan jari tengah seperti memegang pensil untuk                              menulis, tetapi tangkai canting horizontal, sedangkan                              pensil untuk menulis dalam posisi condong. Posisi                              canting demikian itu untuk menjaga agar malam dalam                              nyamplunga tidak tumpah. | |
| d. | Dengan canting itu pengobeng                                menciduk malam mendidih dalam wajan kemudian dibatikkan                                diatas mori. Sebelum dibatikkan canting ditiup lebih                                dahulu cara meniuppun dengan aturan tertentu, agar                                malam dalam nyamplungan tidak tumpah pada bibir                                pengobeng. Canting ditiup dengan maksud : | |
| 1. | Untuk                              mengembalikan cairan malam dalam cucuk kedalam nyamplungan,                              supaya tidak menetes sebelum ujung canting ditempelkan                              pada mori. |  | |
| 2. | Untuk                              menghilangkan cairan malam yang membasahi cucuk canting                              ; karena cucuk canting yang berlumuran cairan malam                              akan mengurangi baiknya goresan, terutama ketika permulaan                              canting diproseskan pada mori. | ||
| 3. | Untuk mengontrol cucuk canting                                dari kemungkinan tersumbat oleh kotoran malam. Kalau                                tersumbat, maka cairan dalam nyamplungan tidak bersuara,                                karena udara tidak dapat masuk. Maka lubang ujung                                cucuk ditusuk memakai ijuk, atau serabut kelapa                                sampai masuk sepanjang cucuk. Biasanya sesudah ditusuk                                ditiup kembali, atau langsung dibatikkan pada mori.                                Keitimewaan menusuk ialah memakai tangan kiri dengan                                cara tertentu dalam waktu yang cepat. | ||
| 4. | Canting                              yang beres keadaannya baru digoreskan pada mori. Tangan                              kiri terletak disebalik mori. Sebagai landasan (penguak)                              mori yang baru digores dengan canting. Jika cari cairan                              malam dalam nyamplungan habis, atau kurang lancar                              mungkin karena pendinginan, malam itu dikembalikan                              kedalam wajan ; canting dicidukkan pada cairan malam                              dalam wajan itu juga. Pengembalian cairan malam yang                              sudah dingin tadi tidak besar pengaruhnya terhadap                              malam dalam wajan. Hal itu dilakukan smpai selesai,                              dan termasuk nemboki. | ||
| 2. Tahap-tahap Membatik | |||
| Tahap-tahap membatik sepotong                                mori harus dikerjakan tahap demi tahap. Setiap tahap                                dapat dikerjakan oleh orang yang berbeda tetapi                                sepotong mori tidak dapat dikerjakan beberapa orang                                bersamaan waktu. Tahap-tahap itu ialah : | |||
| a. membatik kerangka | |||
| membatik                              kerangka dengan memakai pola disebut “mola”,                              sedang tanpa pola disebut “ngrujak”. Mori                              yang sudah dibatik seluruhnya berupa kerangka, baik                              bekas memakai pola maupun dirujak, disebut “batikkan                              kosongan”, atau disebut juga “klowongan’.                              Canting yang dipergunakan ialah canting cucuk sedeng                              yang disebut juga canting klowongan. | |||
| b. ngisen-iseni | |||
| ngisen-iseni                              dari kata “isi”. Maka ngisen-iseni berarti                              memberi isi atau mengisi. Ngisen iseni dengan mempergunakan                              canting cucuk kecil disebut juga canting isen canting                              isen bermacam-macam. Tetapi sepotong mori belum tentu                              mempergunakan seluruh macam canting isen, tetapi tergantung                              pada motif yang akan di buat.Umpama memerlukan bermacam                              -macam canting isen karena beraneka ragam ; Tetapi                              membatik harus satu persatu, dan setiap bagian harus                              selesai sebelum bagian lain dikerjakan dengan canting                              lain misalnya kalau “nyeceki” (membuat                              motif yang terdiri dari titik-titik), |  | ||
| bagian cecekan harus selesai seluruhnya. Kegiatan                              mengerjakan bagian-bagian mempunyai nama masing-masing                              ; nama tersebut menurut nama canting yang dipergunakan.                              Proses pemberian nama ialah dengan mengubah nama benda                              (nama canting) menjadi kata kerja, sedang hasil kerjanya                              diambil dari nama canting yang dipergunakan. Nama                              itu ialah : nyeceki yaitu mempergunakan canting cecekan,                              hasilnya bernama cecekan. Neloni ialah mempergunakan                              canting Telon, hasilnya disebut telon. Mrapati ialah                              mempergunakan Canting Prapatan, hasilnya, dan seterusnya.                              Tetapi mempergunakan Canting Galaran atau Canting                              Renteng, selalu disebut ngalari, dan tidak pernah                              disebut “ngrentengi” ; sedang hasilnya                              selalu disebut “galaran”, tidak pernah                              disebut “rentengan” Cara penggunaan canting bertahap itu banyak keuntungannya. Keuntungan pertama ialah canting dapat dipergunakan bergantian dalam satu rombongan pengobeng (pembatik yang berbeda-beda tugasnya (berbeda tahap batikan yang dikerjakan) ; Keuntungan kedua kedua ialah mengurangi jumlah canting yang semacam meskipun anggota pengobeng cukup banyak. Kalau dua orang bersamaan akan menggunkan canting semacam, sedangkan cantinga hanya sebuah, maka salah satu dapat menundanya dan mengerjakan bagian lain dengan canting lain. Demikian seterusnya. Batikkan yang lengkap dengan isen-isen disebut “reng-rengan”. Oleh kaena namanya reng-rengan maka pengobeng yang membatik sejak permuaan sampai penyelesaian (akhir) memberi isen-isen disebut “ngengreng”. Jadi ngerengan merupakan kesatuan motif dari keseluruhan yang dikehendaki. Hal itu merupakan penyelesaian yang pertama. | |||
| c. Nerusi | |||
| Nerusi                              merupakan penyelesaian yang kedua. Batikan yang berupa                              ngengrengan kemudian di balik permukaannya, dan dibatik                              kembali pada permukaan kedua itu. Membatik nerusi                              ialah membatik mengikuti motif pembatikan pertama                              pada bekas tembusnya. Nerusi tidak berbeda dengan                              mola dan batikan pertama berfungsi sebagai pola. Canting-cantingyang                              dipergunakan sama dengan canting canting untuk ngengreng                              nerusi terutama untuk mempertebal tembusan batikan                              pertama serta untuk memperjelas. Batikan yang selesai                              pada tahap ini pun masih disebut “ngengrengan”.                              Pengobeng yang membatik dari permulaan sampai selesai                              nerusi disebut “ngengreng”. | |||
| d. Nembok | |||
| Sebuah                              batikan tidak seluruhnya diberi warna, atau akan diberi                              warna yang bermacam-macam pada waktu penyelesaian                              menjadi kain.Maka bagian-bagian yang tidak akan diberi                              warna, atau akan diberi warna sesudah bagian yang                              lain harus ditutup dengan malam. Cara menutupnya seperti                              cara membatik bagian lain dengan mempergunakan canting                              tembokan. Canting tembokan bercucuk besar. Orang yang                              mengerjakan disebut “Nembok” atau nemboki                              dan hasilnya disebut “tembokan”. Bagian                              yang ditembok biasanya disela-sela motif pokok. Menembok                              biasanya mempergunakan malam kualitas rendah. Meskipun                              malam penuh kotoran tetapi canting canting bercucuk                              besar tidak banyak terganggu. Selain itu bagian tembokan                              cukup lebar dan tebal,sehingga kurang baiknya malam                              untuk nembok dapat diatasi. |  | ||
| Pada                              hakekatnya fungsi malam selain untuk membentuk motif,                              juga untuk menutup pada tahap-tahap pemberian warna                              kain, dimana warna itu sebagai pembentuk motif batik                              yang sesungguhnya. Nem-bok hanya pada sebelah muka                              mori.  | |||
| e. Bliriki | |||
|  | Bliriki                              ialah nerusi tembokan agar bagian-bagian itu tertutup                              sungguh –sungguh. Bliriki mempergunakan canting                              tembokan dan caranya seperti nemboki.  Apabila tahap terakhir ini sudah selesai berarti proses membatik selesai juga. Hasil Bliriki disebut “blirikan” tetapi jarang disebut demikian, lebih biasa disebut”tembokan”. Memang membatik disebut selesai apabila proses terakhir tadi selesai ;atau kalau batikan tidak perlu ditembok,maka yang disebut batikan selesai adalah sebelum ditembok. Pada jaman yang silam didaerah Surakarta, setiap selesai tahap-tahap tadi, batikan dijemur sampai “malam “ nya hampir meleleh. | ||
| Maksud                              penjemuran itu ialah agar supaya lilin pada mori tidak                              mudah rontok atau hilang. Sebab “malam”                              (mendidih) waktu dipergunakan untuk membatik dan bersinggungan                              dengan mori dingin akan membeku tiba-tiba karena proses                              “kejut”. Pembekuan malam demikian itu                              kurang baik, karena batikan sering patah-patah dan                              malam mudah rontok. | |||
|  | Tetapi                              jika dijemur,pemanasan terjadi secara merata , dan                              mori ikut terpanasi.Mori yang mengalami pemanasan                              sinar matahari akan mengembang, dan mempunyai daya                              serap. Proses mengembang ini memperkuat melekatnya                              malam yang mulai akan meleleh;sebelum malam itu meleleh                              batikan harus diangkat dengan hati-hati ke tempat                              teduh.  | ||
| Di                              tempat teduh, batikan secara serentak akan mendingin.                              Proses pendinginan ini pun ada keuntungannya, karena                              antara mori dan malam saling memperkuat daya lekat.Selesailah                              kerja membatik. | |||
| 5. MBABAR | ||
| Mbabar                              ialah proses penyelesaian dari batikan menjadi kain.                              Selesai batikan dibliriki, meningkat pengerjaan selanjutnya,                              yaitu memproses menjadi kain. Dibeberapa daerah cara                              mbabar pada garis besarnya sama. | ||
| Perbedaan                              hanyalah terletak pada perbandingan bahan adonan yang                              dipergunakan. Ada suatu daerah dimana perbandingan                              bahan adonan sudah tertentu sesuai dengan kain yang                              diinginkan. Tetapi ada pula daerah yang mempergunakan                              perbandingan tidak menentu dan hanya berdasar perkiraan                              menurut pengalaman. Selain itu perbedaan terletak                              pada jangka waktu yang dibutuhkan setiap tahap-tahap                              mbabar. Ada pula yang mempergunakan jangka waktu tertentu                              ; tetapi ada pula yang berdasar perkiraan saja. Perbedaan-perbedaan                              itu mempengaruhi kwalitet kain yang diproduksi setiap                              daerah. Hal itu tidak mustahil karena pada mbabar                              terdapat proses kimia ; sedang waktu adalah sangat                              besar pengaruhnya terhadap proses kimia. Tetapi proses                              ini belum diketahui secara mendalam oleh para pembabar                              masa silam.   |  | |
| 1. Bahan Untuk Mbabar | |||
| Pada umumnya untuk mbabar                                batikan dipergunakan bahan hasil alam dengan pengolahan                                sederhana. Memang bumi Indonesia kaya akan hasil                                alam yang bermacam-macam.  Bahan untuk mbabar, antara lain : | |||
| a. NILA | |||
| Nila                              dari tumbuh-tumbuhan tarum (Jawa tom). Sudah sejak                              jaman purbakala tarum dipakai untuk membuat warna                              pakaian. Nila dipergunakan untuk medel batikan dengan                              campuran bahan yang lain. | |||
| b. TEBU | |||
| Tebu diambil gulanya atau tetes; sebagai campuran. | |||
| c. ENJET (KAPUR SIRIH) | |||
| Dipergunakan untuk campuran. | |||
| d. TAJIN | |||
| Tajin ialah semacam kanji yang diambil dari air rebusan beras. | |||
| e. SOGA | |||
| Soga nama tumbuh-tumbuhan dari keluarga papilionaceae dan mempunyai warna kuning. | |||
| f. SAREN | |||
| Saren                              dari kata sari berarti inti atau pati. Di Jawa terdapat                              istilah “saren” ;yang dimaksud adalah                              darah lembu (kerbau) yang dipotong dan dimasak. Di                              sini saren adalah suatu ramuan, atau adonan dari beberapa                              bahan untuk mencelup batikan sesudah disoga. Dan tahap                              ini adalah tahap menghilangkan “malam”,                              atau mendekati penyelesaian. | |||
| 2. Proses Mbabar Batikan Menjadi Kain. | |||
| Proses ini terbagi dalam                                beberapa tahap dan harus diselesaikan secara urut.                                Kalau batikan sudah dibliriki, pekerjaan meningkat                                kepada tahap pertama proses mbabar. Tahap-tahap itu ialah : | |||
| A. Medel Dan Mbironi | |||
| Bahan                              pokok untuk medel ialah nila (tarum). Lebih dahulu                              disediakan air 24 pikul, satu pikul lebih kurang 40                              liter. Sebuah jambangan diisi air 21 pikul dan sebuah                              lagi tetap dikosongkan. Jambangan yang berisi air                              kemudian diberi latak. Latak ialah endapan cairan                              nila. Banyaknya latak 3 pikul, diaduk pagi dan sore                              selama 2 atau 3 hari. Pada pagi hari ke-3 atau 4,                              jika keadaan latak dalam campuran tersebut sudah kelihatan                              hitam, maka air diatas endapan diambil dan dipindah                              ke jambangan yang kosong. Endapan latak campuran ditambah                              lagi dengan latak baru sebanyak 2 pikul dan gula tetes                              sebanyak sebatok (batok yang dimaksud ialah tempurung                              kelapa belah dua dan diambil dagingnya). Warna campuran                              akan menjadi kuning. Sore harinya ditambah lagi dengan                              nila yang amat hitam sebanyak 1,5 pinggan besar (pinggan                              ialah mangkok besar). |  | ||
| Keesokan                              harinya, kira jam 6.00, nila dalam jambangan sudah                              dapat dimasuki batikan. Nila sebanyak itu diperuntukkan                              bagi batikan sebanyak 30 potong, masing-masing 2,5                              kacu. Pencelupan ini memakan waktu kira-kira 2 jam                              ; setelah itu diangkat dari rendaman dan ditaruh pada                              suatu sampiran tanpa dibentangkan, sampai air tidak                              menetes (atus). Pengangkatan dari rendaman dan penempatan                              sampai “atus” disebut “kasirep”                              (kasirep dari kata sirep kurang lebih berarti “reda”).                              Jika sudah atus atau tidak menetes airnya, kemudian                              dimasukkan ke dalam nila kembali selama dua jam :                              setelah itu diangkat dan dijemur sampai kering. Pengangkatan                              kedua dan penjemuran sampai kering disebut “kageblogi”(                              kageblogi dari kata “geblok” berarti suatu                              cara memukul, atau suatu ukuran kelompok). |  | ||
| Setelah                              batikan kering, dimasukkan lagi ke dalam nila. Pekerjaan                              ini dilakukan beberapa kali sampai batikan mencapai                              warna hitam. Kalau batikan sudah berwarna hitam, barulah                              kerja tersebut berhenti. Nila bekas pencelupan segera                              ditambah dengan endapan nila sebanyak 1,5 pinggan                              besar. Penambahan ini disebut “nglawuhi”                              (nglawuhi dari kata lawuh berarti lauk pauk untuk                              makan). Tetapi arti atau fungsi nglawuhi dalam proses                              mbabar kain ini adalah sebagai penyempurna. Sekarang                              nila berwarna kuning. Kalau terlalu kuning akan berbahaya                              sebab dapat merontokkan “malam”, sedangkan                              tugas “malam” pada mori belum selesai.                              Warna terlalu kuning disebabkan kurang enjet (kapur                              sirih). Tetapi jika terlalu banyak enjet, warnanya                              akan menjadi hijau, tidak dapat untuk menghitamkan                              batikan. Untuk mengembalikan warna menjadi kuning,                              cukuplah diberi cuka Jawa (?) atau gula tetes.  | |||
| Seandainya belum juga kuning, diberi gula tebu dan asam sampai warna berubah menjadi kuning kembali sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu batikan dimasukkan kembali dalam adonan nila seperti kerja di atas. | |||
|  | Sekarang batikan sungguh-sungguh berwarna hitam. Setelah                              cukup batikan diangkat dan dicuci dalam air tawar                              dan dikeringkan pada tempat teduh. Batikan yang sudah kering direndam dalam air tawar sampai “malam” bluduk (bluduk ialah seperti keadaan akan rontok). “Malam” pada batikan reng-rengan dan terusan dikerok memakai alat tertentu sampai bersih ; sedangkan “malam” pada tembokan dan blirikan tidak dikerok. Batikan yang sudah dikerok terus dibilasi (dibilasi ialah pencucian yang kedua kali) sampai air cucian kelihatan bersih, dan dikeringkan kembali pada tempat yang teduh. Setelah batikan kering, lalu dikanji memakai “tajin busuk” (basi) dengan gula tebu. Perbandingan campuran ialah 3 gelas tajin dengan gula seberat 3 buah uang sen. Setelah dikanji batikan dikeringkan kembali. Sesudah kering dibironi pada bagian-bagian yang membutuhkan warna biru (dibironi diberi warna biru). Sebelum dibironi, bagian-bagian yang tidak membutuhkan warna biru ditutup dengan “malam”. Cara menutup seperti membatik tembokan dan bliriki. Selesai dibironi, meningkat ke tahap ketiga yaitu di “soga”. | |||
| Kemudian                              batikan dibironi. Reng-rengan batikan dikerok sampai                              bersih seperti cara yang sudah diterangkan. Sesudah                              dikerok terus dicuci dan dikeringkan, atau tanpa dikeringkan                              langsung disekuli, yaitu dicelupkan dalam “tajin”                              ; kemudian dikeringkan. Apabila sudah kering, terus                              dibironi. Perbedaan dengan cara di atas ialah tanpa                              mengalami pengeringan yang pertama. Selain itu perbandingan                              bahan-bahan ramuan nila tidak tentu, tetapi tergantung                              dari perkiraan yang mengerjakan. Hal itu mungkin merupakan                              kekalahan dalam tahap wedelan. |  | |||
| B. Nyoga | |||
| Sesudah                              dibironi dan kering, batikan itu disoga. Caranya :                              Batikan diwiru, yaitu dilipat bolak-balik (lipatan                              spiral). Selesai diwiru, dima-sukkan ke dalam wadah                              yang berisi soga hangat, ditekan-tekan sedemikian                              rupa agar merata. Sesudah cukup rata diangkat, dan                              disampirkan di atas wadah tersebut, supaya soga dapat                              menetes kembali ke dalam wadah tadi. Jika cairan soga                              tidak menetes lagi, maka batikan dijemur pada sinar                              matahari sampai setengah kering,  |  | ||
|  | kemudian                              dipindah ke tempat teduh sampai kering. Sampai disini                              barulah satu tahap nyoga ; sedang penggunaan masing-masing                              soga akan berbeda pula tingkat-tingkatnya. Setelah selesai menyoga, segera batikan disareni. Kapur dan gula tebu dituangi air jambangan, diaduk sampai hancur. Sesudah mengendap, maka air rendaman dituangkan dalam kenceng. Batikan dimasukkan dalam kenceng sampai merata ; kemudian diangkat sampai atus. Sesudah atus, terus dipukul-pukul dalam air panas supaya “malam” hilang. Memukulkan pada air panas disebut “nglorot | 
| atau                              “nglungsur”. Setelah batikan “dilorot”                              terus dicuci dan dijemur. Penjemuran batikan itu disebut                              “dikemplang”. Sampai tahap ini disebut                              “ambabar”. Setiap pagi hari batikan yang                              sudah berupa kain itu diembun-embunkan. Selesailah                              proses mbabar batikan. |  | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| III.                PERLENGKAPAN PROSES BATIK CAP & TAHAP-TAHAP BATIK CAP 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 · 3 Jari (untuk laki-laki), · 2 Jari (untuk putri). Untuk gaya Yogyakarta, seret kain masih kelihatan. Agar wiron tidak lepas , maka sebaiknya diberi jepitan. Hal itu juga bertujuan supaya wiron tetap rapi. Setelah itu barulah kain dipakai. Untuk orang laki-laki, wiron kain terletak disebelah kanan, berlawanan dengan putri. Khusus untuk kain yang bermotif parang maka untuk gaya Yogyakarta, untuk laki-laki, arah parang itu berlawanan dengan arah keris. Jika ditarik antara garis keris dan parang akan terjadi garis silang. Untuk motif-motif kain yang di dalamnya terdapat motif garuda, maka letak garuda harus berdiri dan diusahakan terletak tepat ditengah pantat pemakainya. 
 
 
 DAFTAR PUSTAKA Drs. Hamzuri, Batik Klasik , penerbit Djambatan, Jakarta 1981. G.P. Rouffear                                En H.H. Juynboll, DE BATIKKUNST, Th.1914 J. E. Jasper                                en Mas Pirngadie, INLANDSCHE KUNSTNIJVERHEID IN NEDERLANDSCH INDI, Gravenhage Door De Boek? & Kunstdrukkerij, Mouton & Co.? 1916. Rijksblad                                van Djokjakarta No 19. th 1927 TJOKROSUHARTO.                                Koleksi Pola Motif Batik, Tim                                Pengabdian pada Masyarakat Jurusan Sastra Daerah                                Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Pakaian                                Adat Jawa Gaya Yogyakarta, 1995 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sumber: www.tjokrosuharto.com
 







































 
 

Cukup informatif sekali.... So, jadi bisa nambah pengetahuan....
BalasHapus