Keistimewaan Yogyakarta Harus Dipertahankan
Raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menyaksikan tari Herjuna Wiwaha di Keraton Yogyakarta, Selasa (6/5). Tarian itu digelar dalam rangka Tumbuk Ageng yang merupakan peringatan 8 windu tingalan Dalem Sultan HB X atau peringatan 64 tahun usia Sultan menurut penanggalan Jawa.
Pemerintah pusat harus menjamin status keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan. Jaminan itu penting sejalan dengan kian dekatnya masa jabatan periode kedua Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY, yang dijabat Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX, yang berakhir pada 9 Oktober 2008.
Pemerintah pusat juga menjanjikan perpanjangan masa jabatan gubernur dan wagub sampai undang-undang (UU) yang mengatur keistimewaan DIY secara detail selesai. Minggu (28/9), anggota DPRD DIY, Heru Wahyukismoyo, menyebutkan, pemilihan kepala daerah secara langsung sebenarnya tak sejalan dengan Sila IV Pancasila, yakni musyawarah dan mufakat sebagai amanat demokrasi Pancasila. Jadi, jika gubernur-wakil gubernur DIY tak dipilih secara langsung, bukan pelanggaran atas konstitusi. ”Turbulensi politik ini akibat reformasi konstitusi yang tidak konsisten dengan akar kebangsaan,” katanya.
Guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada, Joko Suryo, menuturkan, salah satu sisi yang harus menjadi pertimbangan penting dalam pembahasan keistimewaan DIY adalah konteks sejarah yang melatarbelakanginya. ”Hanya dengan menilik sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta dan penggabungannya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita akan bisa mendapat gambaran lengkap tentang makna keistimewaan DIY itu,” ujarnya.
Dari segi kesejarahan, Joko mengatakan, Kesultanan Yogyakarta ada lebih dahulu dibandingkan NKRI. Pada masa kolonial, sultan diakui otoritasnya sebagai penguasa wilayah Yogyakarta. ”Ini berbeda dengan kekuasaan monarki lainnya di Nusantara yang setelah ditaklukkan langsung dihapuskan Belanda,” katanya.
Hal itu, kata Joko, tak terlepas dari ikatan kuat antara sultan sebagai pengayom dan rakyat sebagai kawulanya. ”Berdasarkan pertimbangan penasihat pemerintahan kolonial saat itu, penghapusan kesultanan justru akan berpotensi besar menimbulkan gejolak di masyarakat,” katanya. Hal serupa juga berlanjut pada masa penjajahan Jepang ketika Kesultanan Yogyakarta berstatus daerah istimewa yang memiliki pemerintahan otonom.
Selo Soemardjan dalam bukunya, Perubahan Sosial di Yogyakarta, pun menjelaskan, ketika Jepang datang menggantikan Belanda untuk menjajah negara ini tahun 1942, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX meminta agar diperbolehkan memerintah rakyat Yogyakarta secara langsung, tidak melalui pepatih dalem. Jepang meluluskan permintaan itu, bahkan melantik untuk kedua kalinya Raja Keraton Yogyakarta HB IX agar kokoh kedudukannya. Jepang memberi istilah Koti atau Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diperintah HB IX.
Ikatan kuat antara raja dan rakyat itu, kata Joko, terus berlangsung hingga zaman modern. Salah satu yang menonjol adalah pada masa kepemimpinan HB IX, yang dinilai sebagai pemimpin yang benar-benar menunjukkan karakter kerakyatannya.
Mengenai konteks keistimewaan pada masa kemerdekaan, Joko melihat hal itu jelas tercantum dalam Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan HB IX dan Paku Alam (PA) VIII. Amanat itu menyatakan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya.
Amanat itu dijawab Presiden Soekarno dengan menyerahkan Piagam Kedudukan kepada HB IX dan PA VIII sebagai tanda persetujuannya pada 6 September 1945 (tertanggal 19 Agustus 1945). Hal itu juga tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945, sebelum perubahan, yang menyatakan, negara menghormati daerah yang memiliki status istimewa.
Dari tinjauan ini, Joko menilai, secara historis, sosiologis, dan politis, pemerintahan di bawah kepemimpinan sultan adalah sistem yang paling tepat bagi Yogyakarta. ”Pemerintahan sultan menciptakan stabilitas bagi masyarakat Yogyakarta. Kalau sistem itu diganti, justru bisa menyebabkan instabilitas,” katanya.
Ketua Senat Akademik UGM Sutaryo mengatakan, tak bisa dimungkiri, ruh keistimewaan DIY adalah kepemimpinan sultan sebagai kepala daerah. ”Tanpa itu, keistimewaan tidak ada maknanya,” katanya. Ketua DPRD DIY Djuwarto berharap pemerintah pusat segera mengesahkan perpanjangan jabatan gubernur sebelum masa jabatan Sultan HB X habis. ”Hal ini untuk menghindari vakum kekuasaan di DIY,” katanya.
Mengenai Rancangan Undang- Undang Keistimewaan DIY, Djuwarto mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir karena Komisi II DPR berjanji akan membuka ruang sebesar-besarnya bagi aspirasi masyarakat Yogyakarta.
Sultan: Jangan Ingkari Sejarah Yogyakarta
Menyambut Lebaran, Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengimbau warga Yogyakarta untuk memelihara diri dari laku ingkar terhadap kesejarahan DIY. Sultan berharap, masyarakat dikaruniai keinsyafan untuk mampu menunaikan amanat para pendahulu Yogyakarta.
Masyarakat jangan mengingkari sejarah Yogyakarta yang penuh peradaban berbudi luhur, tidak ada amarah, dan tidak menang sendiri. "Idul Fitri harus bisa menjadi tonggak kehidupan di masa depan yang lebih baik dengan rasa jujur, adil, terhormat, dan bermartabat," ujar Sultan saat ditemui di Kantor Kepatihan, Jumat (26/9). Dengan semangat kembali pada fitrah, diharapkan masyarakat Yogyakarta bisa menjaga keistimewaan khas Yogyakarta, terutama dari ancaman perang yang lebih besar, yaitu perang nafsu. "Hari raya Idul Fitri merupakan momentum yang tepat untuk introspeksi diri di tengah ketidakpastian status sebagai daerah istimewa," tambah Sultan.
Keistimewaan DIY Terancam!
Ratusan seniman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat petang (26/9), menghadap Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X di Pagelaran Keraton Yogyakarta untuk menyampaikan pesan bahwa keistimewaan DIY kini terancam.
Karena itu, kata dia, para seniman minta pembahasan RUUK bisa dilakukan secepatnya agar status keistimewaan DIY lebih jelas.
Meski cenderung terancam, rakyat DIY hendaknya tidak menghadapi masalah ini dengan emosi, tetapi bersatu padu agar tidak mudah dipecah belah.
Sementara itu, Suryatno, seniman dari Sleman mengatakan seniman merasa cemas melihat perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai keberagaman, tetapi cenderung ada penyeragaman.
Warga Yogyakarta diminta tetap konsisten memperjuangkan keistimewaan sehingga DIY tetap menjadi daerah kebudayaan yang bisa tumbuh dan berkembang dalam keberagaman. "Dalam konteks ini kami juga berharap Sultan tetap setia memimpin rakyat DIY bahkan menjadi pemimpin rakyat di NKRI," katanya.
Menanggapi aspirasi para seniman ini, Gubernur Provinsi DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, pembahasan RUUK tidak mungkin selesai sebelum 9 Oktober yang merupakan masa akhir jabatan gubernur dan wakil gubernur. "Namun tentunya pemerintah akan mengeluarkan keputusan yang kini nampaknya pilihannya ada dua, yaitu memperpanjang masa jabatan atau tidak. Logika saya menyatakan pemerintah akan memperpanjang jabatan agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan," katanya.
Sultan berharap masyarakat sedikit menurunkan ’tensi’ menghadapi masalah RUUK DIY karena pemerintah pusat tidak akan berkhianat terhadap DIY, tetapi hanya beda persepsi dalam memahami arti keistimewaan.
Ini ditunjukkan dengan ketentuan yang mengatur keistimewaan DIY yang tidak konsisten dan tidak jelas. Ketidakjelasan tersebut terbukti setiap akan berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur pasti menimbulkan pro dan kontra melalui penetapan atau pemilihan.
"Pada periode pertama, saya ditetapkan, tetapi wakil gubernur dipilih, periode kedua ditetapkan. Untuk periode ketiga, saya tidak mau lagi karena tidak ada ketentuan kepala daerah bisa menjabat tiga periode," kata Sultan.
Sultan pada kesempatan itu berpesan agar warga DIY dalam menghadapi pembahasan RUUK tetap mengedepankan komunikasi, tidak usah emosional apalagi lupa diri.
"Komunikasi sangat penting untuk menyelesaikan masalah, dan saya berharap warga DIY mampu menempatkan pembahasan RUUK dalam pikiran yang jernih," katanya.
Sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar