Data Buku Judul : Menggugat Keistimewaan Jogjakarta
Penulis : Suro Sakti Hadiwijoyo
Penerbit: Pinus Cetakan : I, 2009 Tebal : 240 halaman
Tak seperti nama besar yang disandangnya, "Daerah Istimewa Yogyakarta", nasib DIY justru sedang tak "istimewa". Undang-Undang Keistimewaan DIY yang diharapkan meneguhkan keistimewaan itu tak kunjung lahir. Pusaran kepentingan politik menjadikan bangunan keistimewaan DIY dalam keadaan kritis.
Polemik keistimewaan DIY sudah ditulis dan dikupas dalam berbagai artikel di surat kabar maupun buku. Salah satunya, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta, Tarik Ulur Kepentingan, Konflik Elite, dan Isu Perpecahan karya Suryo Sakti Hadiwijoyo. Buku ini, dari sisi waktu, terasa pas untuk dibaca karena hingga kini perdebatan isi keistimewaan terus berlangsung. Nasib RUUK DIY pun belum jelas benar.
Pada bukunya, Suryo-yang pegawai negeri sipil pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Salatiga-menuliskan, tersendat- sendatnya penyelesaian UUK DIY tak semata-mata berkutat masalah hukum, namun lebih kental nuansa politis. Hal itu karena DIY mempunyai posisi tawar cukup kuat di hadapan pemerintah pusat. Itu tak terlepas dari peran pemimpin Kasultanan dan Pakualaman dalam proses dinamika ketatanegaraan di masa kemerdekaan dan reformasi.
Posisi tawar dari aspek politik yang cukup kuat itu menyebabkan pemerintah pusat cenderung berhati-hati, bahkan bisa dikatakan lamban menyikapi polemik keistimewaan DIY. "RUUK DIY menjadi komoditas politik bagi elite-elite politik tertentu terutama dikaitkan dengan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 maupun pilpres 2009." (hal 190-191).
Suryo memandang ada empat pihak yang berperan penting bagi masa depan keistimewaan DIY, yaitu lingkungan Kasultanan dan Pakualaman, rakyat, pemerintah pusat, dan elite politik. Keterlibatan Kasultanan dan Pakualamam diperlukan dalam memformulasikan substansi keistimewaan DIY. Dari sisi rakyat, keberadaan daerah istimewa sangat ditentukan kehendak dan keinginan rakyatnya.
Suryo membandingkan apa yang terjadi di Surakarta, yang sebelumnya juga berstatus Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Kuatnya penolakan DIS oleh gerakan antiswapraja membuat pemerintah pusat mengganti DIS menjadi karesidenan. Namun, sesungguhnya kunci penyelenggaraan pemerintah daerah yang berbasis keistimewaan adalah kemauan politik pemerintah pusat, meski konstelasi politik dan kepentingan elite nasional dan lokal juga sangat berperan.
Menyoroti mekanisme suksesi gubernur/wakil gubernur, Suryo menawarkan empat alternatif. Pertama, penetapan langsung Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Kedua, pemilihan langsung yang bisa diikuti setiap warga negara tanpa memandang kerabat Kasultanan/Pakualamam atau bukan. Ketiga, pemilihan terbatas, yaitu kandidat dari Kasultanan dan Pakualaman. Keempat, pemisahan institusi Keraton dan Pakualaman. Dilakukan pemisahan jabatan antara Sultan dan PA dengan jabatan gubernur/wakil gubernur. Keduanya ditempatkan pada kedudukan terhormat secara kultural, namun dapat memberi pertimbangan kepada gubernur dan DPRD. Keempatnya diurai keunggulan dan kelemahannya.
Berdasarkan riset
Buku ditulis berdasar riset tesis penulisnya yang berjudul Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Jogjakarta (Perspektif Sejarah Hukum dan Kekuasaan) saat menempuh studi di Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia. Buku ini perlu dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui seputar persoalan keistimewaan DIY.
Buku dilengkapi sejarah dan kajian hukum perundang-undangan yang mendukung maupun yang melemahkan keistimewaan DIY, termasuk menyinggung isu perpecahan keraton. Dari sisi alternatif solusi, hampir tidak ada yang baru.
Buku ini lebih banyak berisi kajian pustaka. Menjadi lebih lengkap bila dilakukan wawancara langsung atau jajak pendapat warga DIY sehingga sejalan dengan semboyan suara rakyat adalah suara Tuhan.
Buku juga tidak tegas memilih alternatif mana yang terbaik terkait suksesi gubernur/wakil gubernur DIY; hanya memaparkan preferensi pilihan yang tertuang dalam naskah akademik RUUK DIY yang disusun Tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Itu adalah konsekuensi pilihan penulis untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan tidak memihak. Dari sisi teknis, banyak ditemukan salah ketik ejaan yang cukup mengganggu kenyamanan membaca.
Erwin Edhi Prasetya
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar