Sampai hari ini RUU Keistimewaan Daerah Yogyakarta belum juga rampung padahal tanggal 9 Oktober 2008 masa jabatan Sri Sultan HB X sebagai gubernur DIY berakhir. Berikut beberapa opini yang terdokumentasikan dalam muliaeducation.
Satu Kesaksian Pribadi
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan UU No 3 Tahun 1950, yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman, bukan atas permintaan Sultan Hamengku Buwono IX maupun warga. Sultan dan warganya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan RI tanpa pamrih.
Sultan Hamengku Buwono (HB) IX adalah sultan pertama yang mendukung proklamasi kemerdekaan. Kesultanan yang dipimpin merupakan bagian konstitutif NKRI. Hal serupa juga dimaklumatkan Sultan Siak Sri Indrapura (Sumatera Tengah) beberapa hari kemudian.
Kebajikan Sultan Yogya juga ditunjukkan dengan terus melibatkan diri dalam perjuangan menegakkan kedaulatan RI. Di saat-saat krusial, tanpa diminta, Sultan menunjukkan sikap tidak defaitis, misalnya, saat Belanda melakukan aksi militer pertama (Juli-Agustus 47), kedua (19 Desember 48), dan saat PKI memberontak dari Madiun (18 September 48).
Revolusi fisik
Selama revolusi fisik (1946-1949) saya ber-SMA di Yogya, menggabungkan diri pada Tentara Pelajar (TP) Bat. 300. Dalam aksi militer Belanda pertama, pelajar-anggota TP menuju garis depan. Saat berangkat, Sultan—selaku Gubernur Militer—melepas. Sebelumnya, Sultan menerima alamat orangtua anggota TP dari luar Jawa untuk disimpan. Sesudah cease-fire saya kembali ke Yogya, menemui Sultan untuk mengambil alamat orangtua saya, dan alamat orangtua dua teman yang gugur. Saya katakan kepada Sultan, saya sendiri akan mengabarkan berita duka itu bila hubungan pos Jawa-Sumatera sudah pulih karena kami dari Medan.
Dalam aksi militer kedua, Belanda menduduki Yogya. Bung Karno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa petinggi lain ditawan, tetapi Sultan tidak. Ketika pimpinan militer Belanda ingin menghadap ke keraton, Sultan menolak. Kalau Belanda nekat masuk keraton, mereka harus melangkahi mayat Sultan lebih dulu. Intelijen Belanda tahu, keraton menjadi tempat bertemu dan berlindung gerilyawan. Dari keraton, Sultan memantau situasi melalui radio.
Setelah tiga kali ditangkap dan ditahan Belanda, saya berhasil lari dan meninggalkan Yogya, apalagi pondokan saya digeledah. Dengan beberapa ”pelajar seberang”, saya menempuh long march ke Jakarta. Yogya tidak lagi memungkinkan perantau mencari nafkah guna membiayai hidup dan sekolah. Sepanjang perjalanan Yogya-Salatiga, penduduk di desa-desa selalu menanyakan keadaan Sultan. Melihat kenyataan ini, kami yakin, seandainya Sultan menyerah dan menerima kedatangan Belanda, saat itu riwayat RI pasti tamat. Minimal, negara tak lagi merdeka, beralih menjadi dominion atau negara boneka.
Selama revolusi fisik, Yogyakarta menjadi ibu kota RI. Saat itu Yogyakarta dipenuhi pengungsi dari berbagai penjuru, pejabat, pegawai sipil, dan militer, laskar perjuangan, warga biasa dan pelajar yang jumlahnya mungkin sama dengan warga asli Yogyakarta. Meski demikian wong Yogya tidak pernah mengeluh jika harus berbagi makanan, fasilitas umum dan ruang, bersedia sama-sama menderita, meneladani sikap rajanya yang tanpa pamrih menawarkan bagian depan keraton, termasuk siti hinggil untuk pendidikan. Pagi untuk SMA, sore hari untuk kuliah mahasiswa Universitas Gadjah Mada.
Manusia idealis
Tanggal 1 Agustus 1973, sepulang dari Paris untuk studi selama sembilan tahun, Bung Hatta mengundang saya ke rumahnya. Pada malam itu, di ruang tamu sudah ada Sultan, yang saat itu menjabat wakil presiden.
Saat itu Bung Hatta menanyai visi saya tentang pendidikan nasional, bukan masalah ekonomi yang juga saya tekuni selama belajar di Sorbonne, Perancis. Pertanyaan itu tak sulit dijawab karena selama studi saya juga menyiapkan konsep pembangunan pendidikan dan kebudayaan serta pembangunan pertahanan dan keamanan nasional. Sultan juga menanyakan konsep pengembangan idealisme, membentuk manusia idealis. Menurut Sultan, kita memerlukan banyak calon pemimpin yang idealis, justru karena Tanah Air kita kaya raya.
Ternyata selain nasionalis, Sultan juga arif, bijak, dan tegas. Ketika dinobatkan sebagai sultan di zaman kolonial (1940), Sultan mengatakan dalam pidato, ”Al ben ik Westers opgevoed, ik ben en blijf Javaan” (meski berpendidikan Barat, saya adalah orang Jawa dan akan tetap Jawa). Saat itu, pernyataan ini dianggap ”revolusioner”.
Sultan juga yang mewakili RI menerima kedaulatan dari Wakil Kerajaan Belanda di Jakarta (Desember 1949). Sultan beberapa kali dipercaya menjabat Menteri Pertahanan setelah penyerahan kedaulatan. Sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat (1949-1950)—saat keamanan dan ketertiban amat kacau—Sultan berulang kali pulang balik Jakarta-Yogya, menyetir mobil sendiri, tanpa ajudan atau voorrijder. Dalam salah satu perjalanannya, Sultan pernah memboncengkan perempuan tua yang terseok-seok menggendong dagangannya hingga depan Pasar Beringharjo. Sultan tak mengungkap jati dirinya.
Keistimewaan Yogyakarta
Sesudah Belanda angkat kaki, para pejuang yang selamat sepakat, negara-bangsa memberikan pengakuan yang tulus atas sikap patriotik Sultan dan warga Yogya di masa perjuangan. Pengakuan ini berupa pemberian status keistimewaan bagi daerah Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman. Keistimewaan DIY memang dikaitkan kedudukan Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Artinya, secara implisit, siapa pun yang menjadi sultan dan paku alam, jabatan gubernur dan wakil gubernur adalah melekat.
Jadi, aneh jika generasi reformis kini justru meragukan kebenaran hakikat pertimbangan para tokoh pejuang 45 dalam memutuskan keistimewaan DIY. Itu tidak hanya kebenaran thok, tetapi kebenaran bernilai sejarah perjuangan, bukan untuk mengukuhkan monarki absolut di Yogya. Meski di bawah raja, pemerintahan daerah ini berjalan demokratis.
Jangan anggap para tokoh tidak tahu soal ketatanegaraan. Mereka tidak kalah terdidik, tidak kurang cerdas dan patriotik daripada para tokoh reformis sekarang. Maka hargailah keputusan mereka. Alih- alih mempertanyakan, sekali lagi tegaskan secara positif keputusan itu. Yang dipertaruhkan bukan hanya martabat Sultan dan Paku Alam dan seluruh warga, tetapi juga intellectual dignity dan political credibility dari pejuang kemerdekaan 45 yang telah memutuskan itu.
Pembentukan DIY bukan hanya masalah hukum dan UU. Ia adalah keputusan bersejarah yang jelas rasionale-nya dalam perjalanan sejarah. Kalaupun pembentukan itu hendak dijadikan masalah hukum/ UU, sebagai produk buatan manusia, ia harus dibuat bersendikan tidak hanya akal, tetapi juga akal budi dan kearifan. Hanya orang yang berbudi yang dapat menghargai budi luhur orang lain.
Daoed Joesoef
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III (1978-1983);
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
Pertaruhan Legitimasi Sosiohistoris
Pernyataan Presiden Yudhoyono bahwa pemaksaan kehendak untuk memilih kepala daerah dengan penunjukan bertentangan dengan konstitusi hanya melihat aspek demokrasi prosedural, belum melihat aspek substansial.
Karena itu, jika pernyataan Presiden SBY diletakkan dalam konteks DIY, penegasan harus melihat sisi legitimasi.
Sumber legitimasi untuk memerintah, termasuk penentuan kepala daerah, tidak hanya sebatas prosedur yang demokratis. Kenyataan sosiohistoris suatu bangsa juga harus menjadi sumber legitimasi. Karena itu, jika alasannya hanya sebatas karena tuntutan demokrasi dan konstitusi, tanda-tanda melupakan kenyataan sosiohistoris suatu bangsa mulai tampak di kalangan elite politik bangsa. Akan separah inikah perjalanan bangsa dalam menata kehidupan ketatanegaraan?
Hingga kini, sumber legitimasi keberadaan DIY dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia hanya pada kenyataan sosiohistoris. Sejak Piagam Kedudukan 19 September 1945, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dan Paku Alam VIII diposisikan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY. Bahkan, politik perundang-undangan Indonesia selalu mengulang terminologi sosiohistoris itu. Artinya, keistimewaan DIY selalu diletakkan pada kepala daerah dan wakilnya.
Kejelasan payung hukum
Legitimasi keistimewaan Yogyakarta yang bersumber dari sosiohistoris itu digugat saat demokrasi mulai digunakan dalam menata sistem ketatanegaraan dan pemerintahan. Gugatan itu menguat saat sistem rekrutmen kepala daerah harus menggunakan mekanisme demokrasi prosedural melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Legitimasi sosiohistoris dipertaruhkan saat Sultan HB X menyampaikan orasi budaya 7 April 2007 dan menegaskan tidak bersedia menjabat gubernur/kepala daerah pada purna masa jabatan tahun 2003- 2008. Sultan juga menegaskan tidak setuju jabatannya diperpanjang lima tahun.
Makna ketidaksediaan Ngarsa Dalem HB X itu terjadi jika ”payung hukum” tidak jelas. Penegasan Sultan HB X mengandung tiga makna.
Pertama, meminta ketegasan pemerintah pusat, yakni mau dikemanakan DIY dalam ranah sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kedua, menanyakan kepada pemerintah pusat (Presiden), masih ingatkah perjuangan bangsa Indonesia di awal kemerdekaan dan bagaimanakah peran Kesultanan dan Puro Pakualaman dalam mempertahankan integritas negara Indonesia.
Ketiga, apakah pemerintah pusat konsisten menerapkan Pasal 18B Ayat 1 UUD 1945. Karena jika ditinjau dari aspek penafsiran historis, keberadaan pasal itu mengakui dan tetap mempertahankan daerah istimewa.
Penafsian sosiohistoris
Terlepas dari ketiga hal itu, dengan menyatakan Gubernur DIY dipilih langsung oleh rakyat atas nama demokrasi, kenyataan sosiohistoris tidak lagi dijadikan sumber legitimasi pemerintahan yang mendampingi prinsip demokrasi prosedural.
Pertanyaannya, apakah demokrasi prosedural yang digagas elite politik di Jakarta sudah mampu menyelesaikan masalah-masalah nyata republik Ini.
Salah satu latar belakang perlunya pemerintahan lokal adalah untuk mewadahi keanekaragaman. Penyeragaman atas kehidupan dan struktur masyarakat yang sejak awal berbeda akan memunculkan rasa ketidakadilan sekaligus mengingkari prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam konteks Yogyakarta, keistimewaan itu melekat dalam sejarah Ngayogyakarta Hadiningrat yang inheren dengan sejarah bangsa Indonesia. Karena itu, kebijakan dalam menentukan isi keistimewaan dalam RUUK tidak hanya parsial, hanya berdasarkan dipilih tidaknya gubernur, tetapi harus diletakkan dalam konteks, apakah pilihan keistimewaan (entah bagaimana rumusannya) sudah setimpal dengan peran Yogyakarta dalam sejarah bangsa Indonesia?
Karena itu, sambil menanti UU Keistimewaan DIY terbit, kita perlu bertanya pada diri masing- masing, masih perlukah keistimewaan Yogyakarta dipertahankan? Jika masih perlu, bagaimana formulasinya? Jika tidak perlu, apa gunanya Pasal 18B Ayat 1 UUD 1945 dalam menata sistem pemerintahan daerah di Indonesia? Dan apa makna kenyataan sosiohistoris bagi pembentukan sistem ketatanegaraan serta bangsa? Ataukah kenyataan sejarah itu hanya untuk pelajaran di sekolah?
B Hestu Cipto Handoyo
Dekan FH-UAJY; Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta
Perihal Perpu
Saat Sultan Hamengku Buwono X meletakkan jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada 9 Oktober 2008, kekosongan kekuasaan mengancam karena RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta belum rampung.
Dalam keadaan seperti itu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sempat dilirik sebagai solusi. Seperti rencana penerbitan perpu sebelumnya, ruang perdebatan terbentang apakah perpu diperlukan, apakah ada kegentingan sehingga diperlukan perpu, apakah tidak sebaiknya ditetapkan produk hukum lain sederajat, tetapi kontroversinya lebih rendah?
Benar, kegentingan memaksa selalu menghadirkan konflik penafsiran. Bahkan, menurut Satya Arinanto, tak ada definisi yang jelas soal kegentingan memaksa (state of emergency). (”Pertaruhan Politik Presiden”, Kompas, 7/9/2007).
Tiga hal penting
Istilah perpu yang diatur Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 merupakan istilah baru yang tak dikenal dalam doktrin ketatanegaraan warisan Belanda. Yang lebih lazim adalah undang-undang darurat (noodverorderingsrecht). Karena itu, Pasal 139 Ayat 1 Konstitusi RIS menyatakan, ”Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.”
Dengan rumusan agak berbeda, Pasal 96 Ayat 1 UUD Sementara 1950 menyatakan, ”Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.”
Dari sudut hukum tata negara, setidaknya ada tiga hal penting terkait perpu atau undang-undang darurat.
Pertama, perpu merupakan kewenangan melekat (inherent power) jabatan presiden dan bersifat luar biasa (formidabele bevoegheid) yang dapat dikeluarkan dengan maksud utama terjaminnya keselamatan penyelenggaraan kehidupan bernegara oleh pemerintah saat keadaan genting mengancam. Diperlukan tindakan cepat dan tepat untuk keluar dari keadaan itu. Karena itu, tidak diperlukan dukungan institusi lain guna menetapkannya.
Masalahnya, bagaimana mengukur kegentingan memaksa yang menjadi alasan keluarnya perpu? Menurut UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan perpu sama dengan UU, yaitu mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi tujuh hal:
(1) HAM,
(2) kewajiban warga negara,
(3) kedaulatan negara,
(4) kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga negara tambahan lain), (5) keutuhan wilayah negara atau daerah,
(6) kewarganegaraan dan kependudukan, dan/atau
(7) keuangan negara. Karena itu, mengikuti logika materi muatan UU, kegentingan memaksa dalam perpu dapat diformulasikan dengan ”jika terjadi keadaan yang dikhawatirkan bisa mengancam atau membuat terkendalanya pelaksanaan atau penegakan salah satu atau lebih dari tujuh persoalan tersebut”.
Undang-undang bersyarat
Undang-undang bersyarat
Kedua, sebagai produk kewenangan presiden, perpu dikategorikan UU bersyarat (voorwardelijke wetten), karena itu bersifat sementara yang harus diuji Dewan Perwakilan Rakyat (legislative review) dalam persidangan berikut. Jika klaim presiden atas terjadinya ”hal ihwal kegentingan yang memaksa” tidak disetujui DPR, presiden harus mencabut perpu dan segala akibat hukum yang muncul dari pemberlakuan perpu, baik yang bisa dipulihkan maupun tidak, diselesaikan dengan UU reguler. Namun, jika disetujui, perpu akan menjadi UU definitif yang berlaku secara permanen sampai dicabut UU lain.
Keharusan adanya persetujuan DPR di persidangan berikut ini berguna untuk membatasi, mengawasi, dan mengimbangi agar inherent power presiden tak menjadi liar dan mudah disalahgunakan.
Ketiga, harus ada syarat keseimbangan (evenwijdigheidspostulaat) antara keadaan luar biasa dan upaya luar biasa yang ditempuh. Dengan demikian, tidak boleh, misalnya, masalah yang sebenarnya bisa ditangani dengan UU reguler tanpa dikhawatirkan munculnya keadaan genting yang mengancam atau terkendalanya salah satu atau lebih dari tujuh hal itu, tetapi dijawab dengan menerbitkan perpu. Tidak boleh membunuh tikus dengan meriam.
Dalam kasus kemungkinan kekosongan kekuasaan di DIY, perpu layak diterbitkan karena termasuk dalam keadaan yang dikhawatirkan dapat mengancam atau setidaknya membuat terkendalanya pelaksanaan atau penegakan kekuasaan negara.
A AHSIN THOHARI
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
Sumber: muliaeducation.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar