Sudah menjadi rahasia umum bahwa kinerja birokrasi di indonesia amat sangat parah. Fakta-fakta yang menunjukkan hal tersebut sangat mudah dijumpai. Pungli di setiap kementerian di berbagai level, pemanfaatan keuangan negara berupa APBN dan APBD yang penuh dengan penyimpangan dan yang paling gress, peringkat Indonesia sebagai the most corrupt countries in asia.
Mayoritas birokrat tentu akan membantah fakta-fakta di atas. Dengan kemampuan berbicara di atas rata-rata, akan mudah saja bagi para petinggi birokrat memutarbalikkan fakta dan data yang ada. Sudah menjadi makanan harian bagi rakyat negeri ini retorika berupa “itu hanya perbuatan oknum, masih banyak PNS yang baik” “kalau memang terbukti, akan kami tindak tegas” “yang terjadi hanyalah kesalahan prosedur” “polling2 itu tidak berdasar” dan seribu satu alasan lain khas birokrat.
Kalau mau jujur, sebenarnya belum seluruh kebobrokan PNS di negeri ini yang diketahui publik. Pengetahuan publik terbatas hanya pada apa yang disampaikan media. Padahal tidak semua kebobrokan diketahui media dan tidak semua media mau memberitakan kebobrokan tersebut.
PNS memang tidak sendirian dalam menggerogoti negeri ini. Dalam banyak ‘perampokan’, PNS bekerjasama dengan pihak lain. Swasta, perusahaan, pemodal, yudikatif dan legislatif (kalau PNS mau disamakan dengan eksekutif). Mayoritas rakyat hanya bisa melihat dari jauh, mendengar sayup-sayup, tentang apa yang terjadi. Alam dan lingkungan hanya bisa diam, menanggungkan perbuatan para PNS dan konco-konconya.
Sekarang mari kita lihat lebih dekat tentang kinerja PNS yang berkaitan dengan lingkungan.
Di pemerintahan, paling tidak ada empat Kementerian yang bertanggung jawab mengenai lingkungan di Indonesia : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup si Penggagas Lomba ini.
Yang pertama adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kementerian ini membidangi urusan pertambangan dan energi. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pertambangan, terutama pertambangan terbuka sangatlah merusak lingkungan. Kementerian ESDM ini sering ‘berbeda pendapat’ dengan kementerian Kehutanan bila sudah membahas konsesi pertambangan di areal hutan. Tapi belakangan sudah semakin jelas sikap pemerintah : selama menarik bagi investor, tidak akan lingkungan jadi penghalang.
Yang kedua Kementerian Kehutanan. Kementerian ini sejatinya adalah ‘benteng terakhir’ kelestarian hutan, tapi apa lacur? Dari tahun ke tahun jumlah hutan yang rusak dan hancur semakin bertambah dengan laju kerusakan yang semakin cepat. Ini semua sebenarnya tidak lepas dari aturan di bidang kehutanan yang semakin lama semakin ‘membuka peluang’ bagi para perusak hutan. Bayangkan saja, saat ini izin Hutan Tanaman Industri (HTI) tidak lagi diberikan pada areal berpotensi rendah dan tidak produktif, namun bisa diberikan pada areal hutan alam yang berpotensi tinggi. Pengawasan terhadap kawasan-kawasan yang oleh UU 41 tentang Kehutanan harus dijaga juga sangat lemah.
Yang ketiga Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian ini adalah kementerian yang paling bertanggung jawab terhadap prediket ‘lapisan masyarakat paling miskin’ yang di sandang oleh para nelayan kita. Pemanfaatan potensi laut Indonesia tidak membuat nelayan menjadi lebih sejahtera.
Yang keempat Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian ini mempunyai tugas merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Tugas inipun tidak dilaksanakan dengan baik. Dimana-mana kita melihat terjadinya pencemaran lingkungan, AMDAL yang bisa ‘dipesan’, pembuangan limbah ke sungai-sungai oleh masyarakat dan perusahaan.
Empat paragraf di atas hanyalah sekelumit fakta yang bagi sebagian besar PNS di empat Kementerian di atas hanya sekedar cerita. PNS di empat Kementerian di atas pasti punya ‘segudang’ (bahkan mungkin beberapa gudang) bukti yang bisa mereka ‘tumpahkan’ untuk membantah fakta di atas.
Sebenarnya sikap suka membantah inilah salah satu sikap yang harus diubah oleh PNS. Karena sikap seperti ini justru membuat PNS merasa benar terus. Padahal sikap merasa benar terus seperti ini justru menutup peluang terjadinya perubahan dalam diri PNS, baik sebagai individu maupun institusi dan sistem. Namun penulis melihat bahwa sikap suka membantah ini sudah menjadi gaya dan budaya bagi hampir seluruh PNS, mulai dari golongan I/a (jika masih ada) sampai golongan IV/e. ‘Pengakuan’ paling-paling baru akan tercetus dalam forum-forum internal dan ‘omongan warung kopi’. Tapi jangan harap bahwa ‘pengakuan dosa’ itu akan anda lihat di seminar, di TV, sidang di parlemen dan forum-forum resmi lain. Maka tidak heran yang terdengar kemudian oleh rakyat hanyalah retorika kosong tanpa bukti.
Lalu bagaimana dan darimana perubahan PNS ini akan dimulai?
Terus terang saya sudah tidak percaya lagi dengan jalur-jalur moderat formal yang bernama ‘pemeriksaan oleh Irjen’ ‘pelatihan-pelatihan tentang akuntabilitas’ ‘seminar ESQ’ ‘pembentukan institusi pengawas baru’ ‘sidak’ ‘pengawasan melekat’ ‘perumusan aturan yang lebih ketat’ dan lain sebagainya.
Semua hal di atas tidak menyentuh substansi masalah, yaitu :
1. Niat orang jadi PNS bukan lagi mengabdi tapi cari kaya
2. Rekrutmen PNS penuh dengan KKN
3. PNS jadi makelar di kantor dan di bidang serta wewenang masing-masing
4. Bagi PNS, prilaku korup adalah contoh yang diberikan oleh senior kepada yunior, atasan kepada bawahan, pemimpin kepada anak buah
5. Sikap pemerintah yang terlalu pro investor, menjadi ‘penyemangat’ untuk berKKN ria dengan para pemodal
6. Lingkungan dan rakyat adalah ‘sapi perah’ bagi akumulasi harta PNS
So, bagaimana solusinya?
Bagi saya solusinya hanya 1. Pemimpin, pemimpin dan pemimpin. Kenapa pemimpin? Karena pemimpinlah yang menentukan. Karena pemimpinlah yang diserahi tanggung jawab. Karena pemimpinlah yang oleh Tuhan wajib ditaati setelah Allah dan RasulNya. Karena pemimpinlah yang selalu didoakan oleh rakyatnya. Dalam hal ini PNS adalah pemimpin. Kalau mau dikerucutkan : Menteri. Kalau mau di kerucutkan lagi : Presiden.
Coba nilai dengan jujur : sudah benarkah PNS dan menteri di empat Kementerian di atas? Sudahkah mereka menempatkan rakyat serta alam lingkungan sebagai prioritas utama, alih-alih memperkaya diri dan kelompok? Masihkah mereka ‘makan’ uang taktis dan upeti/setoran dari bawahan dan pemodal? Masihkah kegiatan dalam DIPA (APBN dan APBD) hanya dijadikan sebagai ATM? Masihkah mereka mau membayar sogok saat penyusunan anggaran di Dirjen Anggaran? Masihkah mereka bergaya sebagai raja yang harus dilayani ketika ‘turun ke bawah’?
Jika jawaban untuk semua pertanyaan di atas adalah negatif, ulangi pertanyaan tersebut untuk presiden. Jika masih sama, maka tidak ada solusi untuk negeri. Tidak ada kabar baik untuk lingkungan.
Karena PEMIMPIN yang jadi biang kerusakan.
“Jika rumah tanggamu hacur, jangan salahkan anak istrimu, karena kamulah sang kepala keluarga…
Jika sekolahmu tidak berkualitas, jangan salahkan majelis guru dan para murid, karena kamulah kepala sekolahnya…
Jika sekolahmu tidak berkualitas, jangan salahkan majelis guru dan para murid, karena kamulah kepala sekolahnya…
Jika kantormu amburadul, jangan salahkan staf dan bawahanmu, karena kamulah pejabatnya…
Jika RT, RW, Desa, Kecamatan, Kota/Kab, Propinsi dan negaramu berantakan, berhentilah menyalahkan yang lain, karena kamulah pengambil keputusan…
Jika RT, RW, Desa, Kecamatan, Kota/Kab, Propinsi dan negaramu berantakan, berhentilah menyalahkan yang lain, karena kamulah pengambil keputusan…
Jika alam lingkungan dan hutanmu rusak, hancur binasa, berhentilah menyalahkan yang lain karena kamulah pemegang otoritas selaku pegawai pemerintah…
Jika dirimu masuk penjara, berhentilah menyalahkan rekan sejawatmu, karena kamu juga menikmati hasilnya…
Jika akhirnya saya masuk neraka, saya tak kan menyalahkan orang lain, karena saya melakukan segala dosa dengan penuh kesadaran…”
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar