Tahukah
Anda berapa nilai produksi emas Indonesia per tahun? Jumlahnya sangat
besar, yakni mencapai Rp120 triliun. Hebatnya, sekitar Rp100 triliun di
antaranya berasal dari tambang milik PT Freeport di Papua. Wow….!!!
Dengan hasil sebanyak itu, apakah kita sudah maksimal menikmati royalti dari tambang-tambang emas itu?
Sebagai informasi, seperti dikutip dari
hukum online, royalti pertambangan diatur dalam PP No.45 Tahun 2003
tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam PP itu, royalti
emas ditetapkan sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonnase. Namun
ada pengecualian untuk PT Freeport McMorran. Perusahaan tambang asal AS
yang beroperasi di Papua ini hanya dikenakan sebesar 1 persen dari
harga jual kali tonnase (Hukum Online).
Jadi, dari 100 trilliun per tahun dari hasil penambangan emas PT Freeport di papua, kita Cuma dapat 1 persen? Alamak….!!!
Jika dibandingkan dengan negara-negara
seperti Afrika Selatan, Namibia, dan Tanzania yang juga memiliki sumber
daya emas, angka 3,75 persen yang diberlakukan pemerintah itu sebenarnya
sudah terlalu rendah. Karena 3,75 persen itu dihitung dari pendapatan
bersih. Sedangkan pada negara-negara tersebut, pengenaan royalti emasnya
mencapai 3-8 persen dari bruto (pendapatan kotor).
Melihat kecilnya keuntungan yang diraih
Indonesia dari alamnya sendiri (khususnya emas), tak mengherankan
apabila kemudian pemerintah ingin merenegosiasi tambang emas kita,
khususnya pertambangan emas dari PT Freeport.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Hatta Rajasa (HR) mengatakan pemerintah saat ini sedang mengupayakan
renegosiasi seluruh kontrak pertambangan. Sejauh ini tercatat telah 65
persen kontrak kerja siap untuk direnegosiasi.
Renegosiasi ini, lanjutnya, dilakukan
kepada semua perusahaan mineral tidak terkecuali emas. “Siapa pun yang
kontrak di Indonesia, harus patuh pada undang-undang yang ada,”
jelasnya. Renegosiasi ini tak terkecuali dengan PT Freeport.
HR mengungkapkan terdapat beberapa hal
yang ditekankan dalam proses renegosiasi ini yaitu pertama, pembagian
royalti. Kedua, kewajiban untuk memproses hasil tambang di dalam negeri.
Ketiga, terkait perluasan ataupun perpanjangan isi kontrak yang
mencakup peraturan, luas areal, dan lain sebagainya. “Kemudian juga
(terakhir) bagaimana divestasinya (saham),” tuturnya.
Melihat kecilnya keuntungan yang kita
rengkuh dari alam kita sendiri, langkah HR ini penting untuk didukung.
Masak berpenghasilan 100 Trilliun setahun, cuma bagi royalti 1 persen?
Apa kata dunia?
Harapan Rakyat
www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar