Pada bulan September 1955, muncul perdebatan sengit antara Wilopo dan Widjoyo Nitisastro. Yang pertama adalah seorang negarawan nasionalis, sedangkan yang kedua adalah ekonom berhaluan liberal. Salah satu inti perdebatan mereka adalah azas ekonomi yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945.
Menurut Wilopo, azas ekonomi yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945 (pasal 38 UUDS 1950) adalah bertentangan (penentangan) terhadap liberalisme dan motif untuk mencari keuntungan pribadi. Bagi Wilopo, yang pernah menjabat Perdana Menteri antara tahun 1952-1953, penentangan terhadap liberalisme sesuai dengan latar-belakang revolusi Indonesia.
Sementara bagi Widjoyo Nitisastro, yang saat itu masih mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ekonomi UI, penafsiran terhadap azas ekonomi pasal 33 UUD tidak mesti menjadikan usaha swasta sebagai unsur ekonomi yang tidak sesuai. Meski begitu, pada tahun 1955 itu, Widjoyo Nitisastro masing mengakui perlunya negara dalam mengendalikan dan melaksanakan pembangunan ekonomi.
Empat puluha enam tahun kemudian, bertepatan dengan amandemen UUD 1945, kembali meletus perdebatan antara dua kubu ekonom dalam Tim Ahli Badan Pekerja (BP) MPR. Kubu pertama terdiri dari Mubyarto dan Dawam Rahardjo, sedangkan kubu lawannya terdiri dari lima ekonom, yaitu: Dr. Bambang Sudibyo, Dr. Syahrir, Dr.Sri Mulyani Indrasari, Didik J Rachbini, dan Dr. Sri Adiningsih.
Kubu Mubyarto kekeuh mempertahankan azas perekonomian yang berdasarkan kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945. Sedangkan kubu lawannya, yang kelak menjadi begawan-begawan neoliberal, berjuang mati-matian untuk menghapus istilah azas kekeluargaan itu.
Karena kalah dari segi imbangan kekuatan, yaitu 2 versus 5, guru besar UGM itu pun memilih untuk mengundurkan diri. “Mereka alergi seperti menyentuh penyakit kusta dengan istilah azas kekeluargaan,” kata Prof Budyarto.
Semangat UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dari dasar pembentukan negara Indonesia dan cita-cita mulai para founding father pada saat itu. Dalam bagian pembukaannya saja terdapat penegasan yang sangat kuat untuk menentang segala bentuk penjajahan (kolonialisme dan imperialisme).
Menurut Taufik Basari, seorang advokat dan penggiat HAM, semangat yang kuat untuk menentang penjajahan, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, juga diturunkan dalam pasal 33.
Dalam penjelasan yang asli, kata Taufik Basari, terkandung prinsip demokrasi ekonomi: produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau pemilikan semua angota masyarakat. Karenanya, kemakmuran semua oranglah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.
“Jika dihubungkan antara pembukaan, pasal 33 UUD 1945, lalu penjelasannya, maka ada isyarat sangat kuat untuk memperkuat kemandirian bangsa di bidang ekonomi,” kata mantan aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini saat diskusi bertajuk “Pasal 33 Di tengah Kepungan UU Pro-neoliberal”, Selasa (12/7) lalu.
Semangat anti-penjajahan pasal 33 juga ditangkap oleh Daryoko, Ketua Dewan Pembina Serikat Pekerja PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN). Katanya, rumusan pasal 33 itu merupakan jalan untuk melikuidasi susunan ekonomi kolonialis.
Bahkan, kata Daryoko, pasal 33 UUD 1945 mengandung nilai-nilai sosialistik. Nilai sosialistik yang dimaksud Daryoko adalah bentuk kepemilikan negara untuk sektor-sektor ekonomi strategis dan aspek kemakmuran bersama.
Tetapi, menurut Aristides Katoppo, seorang tokoh pers Indonesia dan sekaligus pendiri Sinar Harapan, sekalipun semua menganggap bahwa tujuan pasal 33 itu adalah untuk kepentingan bersama, tetapi ada perbedaan cara pandang antara Bung Hatta dan golongan komunis.
Tetapi Tides– sapaan akrab Aristides–tidak merinci secara detail perbedaan itu. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan dunia, terutama setelah keruntuhan Soviet dan pergeseran Tiongkok menuju ekonomi pasar, maka perdebatan soal ideologi sudah tidak terlalu penting.
Karenanya, sehubungan dengan pasal 33 UUD 1945, Tides menganjurkan agar kita tidak perlu alergi dengan pasar, swasta, dan modal asing. “Itu kita anggap sarana saja. Tergantung dari siapa yang menggunakannya. Yang penting untuk kesejahteraan rakyat banyak,” ujarnya.
Akan tetapi, pasal 33 UUD 1945 memang tidak mengharamkan sama sekali peranan swasta. Dalam hal kepemilikan, misalnya, swasta atau usaha orang-perorang diperbolehkan terlibat pada cabang-cabang produksi yang tidak strategis dan tidak menyangkut hajat hidup orang banyak.
Hatta, saat menyampaikan pidato Hari Koperasi di tahun 1977, menjelaskan bahwa inisiatif swasta dibolehkan asalkan bekerja di bawah pemilikan pemerintah dan bidang dan syarat yang ditentukan oleh pemerintah. “Hanya perusahaan-perusahaan yang tidak mengusaia hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.”
Apa yang perlu ditegaskan di sini, sebagaimana juga bung Karno sering mengatakan, adalah soal demokrasi ekonomi dan kemakmuran rakyat banyak.
(Ulfa Ilyas)
http://sudarjanto.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar