Di tangan para meno pendulang emas liar di Sungai Kabur, Timika, Papua, segepok fulus yang mereka dapatkan dari hasil memburu tailing PT Freeport Indonesia bisa ludes dalam sekejap. Bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, tapi dibarter dengan alkohol dan seks. Sungguh ironis. Berikut laporan Amri Husniati, wartawati Jawa Pos, yang baru pulang dari kota tambang tersebut.
MATA Kelly, seorang "meno" (sebutan yang bermakna saudara untuk warga asli Papua, baik yang tinggal di pegunungan maupun pesisir), menatap lembaran-lembaran ratusan ribu rupiah dan lima puluhan ribu rupiah yang dihitung dengan cepat oleh Oken, pemilik Toko Emas Dita di Jl Ahmad Yani, Timika, Rabu sore (10/11).
Ketika fulus Rp 5,7 juta itu berpindah ke tangannya yang hitam legam, tanpa menghitung ulang, dia tinggalkan toko emas yang ditata alakadarnya tersebut dan diikuti seorang kawannya. Dua anak adam berambut kriwul-kriwul itu kemudian berlalu dengan sepeda motor hitam berpelat nomor DS 2465 MF.
Baru berjalan beberapa meter, motor yang ditumpangi dua pria dengan dandanan sepatu bots cokelat, celana pendek, dan menenteng handphone qwerty tersebut berhenti di sebuah toko, masih di ruas jalan yang sama. Tak sampai lima menit, mereka sudah keluar dari toko yang menyediakan aneka kebutuhan sehari-hari itu dengan menenteng tas kresek hitam.
Dari sela-sela pegangan tas plastik yang untuk menghancurkannya saja tak cukup puluhan tahun itu terlihat mencuat sejumlah kepala botol. Botol sirupkah" Atau botol kecapkah" Ah, tentu saja bukan. Si meno itu baru saja berbelanja anggur merah dan bir dengan lembaran rupiah dari hasilnya mendulang emas di Sungai Kabur di mil 38.
Dengan tentengan dua tas kresek hitam penuh minuman beralkohol di tangan kanan dan kiri itu, motor yang ditumpangi Kelly dan temannya melaju menuju arah Monumen Eme Neme. Mereka segera bisa mencecap surga duniawi lewat kenikmatan alkohol.
Mereka tak akan pulang semalaman untuk berkumpul bersama keluarga. "Meno, kalau punya uang, dia akan tidur di got. Tapi, kalau tak punya uang, dia akan tidur di rumah," ujar Firdaus Alma, pebisnis yang kenal dekat dengan etnis Kamoro maupun Amungme, suku asli di Timika, mengutip olok-olok khas Papua.
Aroma alkohol yang gencar menguar belum cukup bagi meno itu untuk menikmati hidup setelah berhari-hari berpacu dengan maut saat berburu emas di sungai nan keruh dengan aliran air sangat deras yang bisa menghanyutkannya setiap saat.
Dengan jutaan rupiah di saku, mereka bisa pergi ke Wisma Sopongiro, Wisma Ojolali, Wisma Srikandi, maupun wisma-wisma lain yang berderet di kilo 10 "sebutan tenar untuk lokalisasi di Timika. Atau, mereka cukup bertransaksi dengan PSK jalanan maupun pelajar-pelajar yang menjadi cewek cabutan.
Meno-meno berduit itu bisa pula mengumbar kegembiraan di diskotek yang mudah ditemui di ibu kota Mimika. "Di sekitar Eme Neme inilah salah satu tempat yang sering dijadikan transaksi dengan PSK," ujar Imam yang Rabu malam (10/11) itu menemani Jawa Pos berkeliling ibu kota kabupaten dengan APBD per tahun lebih dari Rp 1 triliun tersebut.
Lazimnya, para meno itu "turun gunung" pada Sabtu dan Minggu untuk menjual emas hasil mendulang. Tak heran jika pada akhir pekan transaksi unsur kimia bernomor atom 79 tersebut sangat marak. "Jalan Emas" "sebutan untuk Jalan Gorong-Gorong dan Jalan Bougenville yang dipenuhi puluhan toko emas" benar-benar panen. "Kalau akhir pekan, saya bisa beli sampai lebih dari 500 gram," ujar Oken.
Dari tangan meno pendulang emas, penghobi balap motor itu memberikan harga Rp 315 ribu hingga Rp 325 ribu per gram. Harga tersebut jauh lebih tinggi daripada harga yang dipatok para pengumpul yang jemput bola di area pendulangan emas yang pasang Rp 270 ribu per gram.
Oken tidak mau repot-repot melebur serbuk emas yang dibelinya itu menjadi perhiasan. "Lebih enak gini. Dijual lagi saja kepada pengumpul. Duit lebih cepat berputar," ujarnya.
Biasanya, para pengumpul emas membawa aurum murni keluar dari Timika. Ada yang ke Makassar hingga ke Jawa untuk dialihrupakan menjadi perhiasan. Barulah sebagian kecil dibawa kembali ke Timika.
Toh, meski berjuta-juta rupiah hasil transaksi emas membuat kantong meno pendulang jadi tebal, dalam hitungan sekejap, isi dompet mereka bisa ludes ditukar dengan kenikmatan alkohol dan seks.
Soal menenggak minuman keras, meno-meno memang jagonya. Jika sudah teler, mereka tak perlu pulang ke rumah. Tidur di selokan, jalanan, emperan toko, bahkan teras tempat ibadah merupakan pemandangan yang biasa di Timika. "Sepanjang tidak merusak atau bermasalah dengan orang lain, biasanya mereka dibiarkan saja," ungkap Topan, pria kelahiran Sangihe yang sudah lebih dari lima tahun berdinas di Timika.
Dengan berkelakar, Topan mengajak saya untuk membuktikan "asumsinya" bahwa gara-gara minuman alkohol itu tidak ada rumah warga asli yang kaca jendelanya utuh. Ketika Jawa Pos melakukan perjalanan ke Desa Tipuka dan Desa Ayuka di Distrik Mimika Timur Jauh, omongan Topan terbukti. Di setiap rumah orang Suku Kamoro, kaca jendelanya banyak yang pecah. Banyak yang ditambal sulam dengan tripleks.
"Itu terjadi karena, kalau sudah mabuk, orang sini sering merusak rumah sendiri," lanjut pria yang berpostur kekar dan berpotongan cepak tersebut.
Soal alkohol yang begitu merasuk dalam kehidupan meno-meno itu diakui Y. Imbiri, tokoh masyarakat Amungme dan Kamoro. Bukan hanya pria dewasa yang menenggak alkohol. Mereka yang masih di bangku sekolah menengah pun tak ketinggalan.
Sampai-sampai, beasiswa pendidikan yang diberikan untuk pelajar dari suku asli di Timika itu kerap diselewengkan. Bukannya digunakan membeli buku, tapi malah ditukar dengan bir. "Aktivis-aktivis perempuan kerap bersuara untuk menekan peredaran miras," ujar alumnus Universitas Cenderawasih tersebut.
Namun, suara para penggiat kemanusiaan itu masih kalah lantang ditelan aroma alkohol yang menguar memenuhi udara Timika, terutama pada akhir pekan. Entah sampai kapan.
Sumber: www.globalmuslim.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar