Selasa, 27 September 2011
Pasal 33 UUD ’45: Konstitusi Kita Yang Terabaikan
Beberapa waktu lalu, sekelompok tokoh agama ramai-ramai “menggoyang” istana. Para tokoh lintas akidah itu menuding Pemerintah kita telah melakukan “kebohongan”: satu kata yang dianggap terlalu kasar dan kemudian menjadi polemik.
Pemerintah kita dianggap tidak sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan rakyat, seperti yang kerap disampaikan dalam berbagai kesempatan. Pemerintah juga dianggap tidak serius menjalankan mandat konstitusi – bahkan mengabaikannya.
Saya tidak hendak membahas polemik tokoh agama versus Pemerintah yang sudah lewat itu. Namun, substansi masalah yang disampaikan oleh mereka itu tampaknya masih relevan – bahkan akan terus relevan – untuk kita kaji, terutama pengabaian terhadap amanat konstitusi.
Salah satu mandat yang terabaikan itu adalah Pasal 33 UUD 1945: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini merupakan salah satu prinsip mendasar bagaimana seharusnya sumberdaya perekonomian kita dikelola.
Production Sharing Contract (PSC)
PSC yang berlaku di dunia migas, menurut saya, adalah satu-satunya model pengelolaan sumberdaya alam yang paling “konstitusional”, khususnya PSC yang berlaku sebelum UU migas No 22 tahun 2001. PSC mengatur prinsip dasar bahwa kepemilikan sumberdaya migas ada di tangan negara (mineral right). Yang berhak menambang (mining right) juga negara, melalui perusahaan milik negara yang diberikan amanat oleh undang-undang.
Ada pun dalam pelaksanaannya, dengan mempertimbangkan kemampuan teknis dan finansial negara, boleh dikerjakan oleh kontraktor swasta, baik nasional maupun asing. Namun, kedua prinsip dasar di atas tetap berlaku. Kontraktor hanya berhak mengambil manfaat ekonomi (economic right) dari kegiatan penambangan migas itu, setelah berada pada titik penyerahan: titik dimana bagian migas negara dan bagian migas kontraktor dipisahkan.
Selama masih ada di perut bumi pertiwi, dan selama negara belum secara resmi memberikan bagian migas yang ditambang itu kepada kontraktor, selama itu pula kepemilikan sumberdaya migas tetap di tangan negara. Karena itu, meskipun kontraktor swasta yang mengebor dan mengangkut minyak atau gas dengan pipa, kendali managemen tetap di tangan Pertamina (dulu) atau BPMIGAS (kini).
Dengan sistem PSC, sumberdaya migas kita telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi pembangunan bangsa, meskipun sebagian kalangan menilai bahwa kita sebenarnya “tidak kaya” migas. Wajar, karena yang mereka jadikan pembanding adalah negara minyak di Timur Tengah sana.
Saat ini, sektor migas menyumbang sekitar 20% APBN – penyumbang terbesar ke dua setelah pajak. Di era 1970-an, bahkan migas menyumbang lebih dari 70% APBN.
Konsesi Tambang: Pengabaian Konstitusi yang Nyata
Lain ceritanya dengan sektor tambang umum, semisal emas, batubara, dan sebagainya. Secara prinsip, sumberdaya tambang umum adalah sama kedudukannya dengan sumberdaya migas di mata konstitusi. Namun, berbeda dengan tambang migas yang menggunakan sistem PSC, di dalam tambang umum masih menggunakan sistem konsesi: sistem yang berjalan sejak jaman kolonial dan hampir tanpa koreksi yang berarti.
Dalam sistem konsesi, kontraktor swasta, baik nasional maupun asing, memiliki hak atas mineral (mineral right), hak menambang (mining right) dan hak atas manfaat ekonomi (economic right) sekaligus.
Meskipun di dalamnya berlaku “pungutan negara” , sebagai bukti seolah-olah bahwa memang mineral yang ditambang itu milik negara. Di dalam industri tambang batubara, misalnya, negara hanya mendapatkan royalti 13,5%. Untuk tambang emas, sesuai PP No 45 tahun 2003, negara hanya mendapatkan royalti 3,75%.
Namun yang perlu dicatat: pertama, emas atau batubaranya sendiri tetap diboyong oleh kontraktor, tanpa ada mekanime penyerahan dari negara sebagai pemilik sumberdaya itu sendiri; kedua, untuk tambang emas Freeport di Papua, negara hanya mendapatkan 1% royalti. Angka yang sangat mengenaskan.
Emas, batubara, dan juga migas, adalah sama-sama kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi pertiwi. Lalu, mengapa perlakuan mereka dibedakan? Mengapa Freeport sampai detik ini tetap memiliki, menambang dan mengambil manfaat ekonomi emas Papua, tanpa kontrol yang memadai dari negara dan hanya memberikan imbalan sedikit sekali? Bukankah konstitusi kita mendaulat bahwa emas itu milik negara?
Dari sisi ini, saya sependapat dengan para tokoh agama itu, bahwa Pemerintah kita telah “berbohong”: bohong terhadap konstitusi kita sendiri!
Sumber: http://casdiraku.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar