Siapa menduga perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bermula dari Ranah Minang. Organisasi yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad ini masuk ke Indonesia atas undangan tiga pelajar Sumatera Thawalib Padang Panjang. Kaum Ahmadi Indonesia mengenal mereka dengan sebutan tiga serangkai.
Sejak dulu, Tanah Minangkabau memang dikenal sebagai gudangnya para cendekia. Pendidikan tinggi berkembang pesat. Dan setidaknya tiga lembaga pendidikan kenamaan ada di sini. Seperti INS Kayu Tanam, Thawalib Parabek Bukittinggi dan Sumatera Tahwalib Padang Panjang.
Dari buku Riwayat Hidup Tiga Serangkai karangan Ny Sumayya SAg dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), tiga serangkai itu adalah M Abubakar Ayyub, Zaini Dahlan dan Ahmad Nurruddin. Ketiganya merupakan alumni Sumatera Thawalib Padang Panjang dan Diniyyah School yang juga ada di Padangpanjang.
Dalam sejarah perkembangan Ahmadiyah di Indonesia kemudian hari, posisi Sumatera Thawalib menarik untuk dicermati. Selain tiga tokoh awal Ahmadiyah berasal sekolah ini, fatwa MUI yang menyatakan aliran ini juga keluar semasa lembaga ulama ini dipimpin alumni Sumatera Thawalib lainnya. Yakni Buya HAMKA yang pada 1 Juni 1980 M memfatwa aliran yang dibawa Mirza Ghulam Ahmad ini sesat dan menyesatkan.
Mubaligh wilayah Sumbar-Kerinci Jemaat Ahmadyah, Mudatsir Ahmad Surbakti di sekretariat Ahmadiyah Cabang Padang Jalan Agus Salim No 5 Padang, menceritakan awalnya usai menamatkan studi di Sumatera Thawalib, tiga orang ini berniat sekolah ke Al Azhar Mesir. Namun akhirnya mereka memilih Hindustan (India dan Pakistan-red), setelah disarankan guru mereka Zainuddin Labai El Yunusiah dan Ibrahim Musa Parabek.
“Alasanya karena saat itu sudah banyak pelajar Minang yang bersekolah di Mesir. Kenapa tidak ke Hindustan saja. Toh pendidikan Islam di sana juga maju,” kata Mudatsir didampingi Sekretaris Ahamdiyah Cabang Padang Rusydi Arasy.
Tiga tokoh awal Ahmadiyah ini bertolak dari Ranah Minang pada 1922. Meski belum mengenal Ahmadiyah, mereka sudah mendengar nama Khwaja Kamaluddin, seorang mubalig Ahmadiyah di Lahore yang pernah berkhotbah di Jawa.
Awalnya, tambah Rusdyi Arasy, mereka bertiga ini berguru kepada maulana Abdussatar di Pathan Lahore. Lalu pindah ke Qadian. Disinilah mereka dibai’at sebagai anggota Ahmadi oleh Hadhrat Khalifatul Masih II Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad.
Kabar masuknya tiga alumni Sumatera Thawalib ini kedalam Ahmadiyah, menimbulkan “keributan” di Ranah Minang. Mereka pun difatwa kafir oleh ulama-ulama di Sumbar.
Berdasarkan catatan sejarah Ahmadi, ketiga tokoh Amadiyah Indonesia ini dilahirkan di tempat berbeda. Zaini Dahlan lahir di Desa Ampek Angkek Tanjung Alam Bukitinggi. Selama menjadi mubalig Ahmadiyah, dia pernah bertugas Singapura, Malaysia, Medan, Payakumbuah, Pekanbaru dan Jakarta.
Sementara itu, Ahmad Nuruddin dilahirkan di Parabek Bukitinggi pada 2 Februari 1906. Dia juga pernah bertugas dibanyak tempat sebagai mubalig Ahmadiyah, yakni di Bengkulu, Lahat, Palembang, Jakarta dan Lombok. Demikian halnya dengan Abubakar Ayyub yang lahir di Paninjauan Juni 1906.
Tiga serangka inilah yang mengundang Ahmadiyah masuk ke Indonesia. Semasa menuntut ilmu di Qadian, mereka meminta Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad berkunjung ke tanah air. Namun Mirza Bashiruddin mengirimkan mubalig Maulana Rahmat Ali HAOT pada 1925.
Setahun kemudain (1926), lewat Maulana Rahmat Ali Jemaat Ahmadiyah berdiri di Kota Padang. Sebelum sampai di Ranah Minang, sebenarnya Maulana Rahmat Ali, jelas Rusdyi Arasy, berdakwah di Tapaktuan Aceh. Walau diterima awalnya, pada akhirnya dia mendapatkan penolakan. Dan oleh gubernur Aceh saat itu diminta meninggalkan Tanah Rencong.
“Maka itu dia menuju ke Selatan (Sumbar). Di Sumbar, awalnya dia menetap di Pasa Miskin dekat Gedung IWAPI Padang. Lalu pindah ke Tepi Banda Olo. Pada 1930-an, seorang pengusaha bernama Bagindo Zakaria dibai’at. Dia mewakafkan tanah, rumah serta bangunan ini sebagai sekretariat Jamaah sekarang,” jelas Rusdyi.
Sejak awalnya, perkembangan Ahmadiyah di Indonesia selalu dipenuhi pertentangan dan perdebatan. Sejumlah ulama terkenal tanah air menentang keberadaan aliran ini, seperti H Rasul (ayah buya Hamka) dan Buya Hamka sendiri, yang juga junior tiga serangkai di Sumatera Thawalib. Tentangan juga datang dari tokoh-tokoh Persatuan Islam (Persis).
Setidaknya masa-masa awal pernah beberapa kali terjadi perdebatan antara mubaliq-mubaliq Ahmadiyah dengan tokoh-tokoh Islam lainnya. Seperti perdebatab Tapaktuan 1925, Perdebatan Padang 1926, Bogor 1932, Bandung 1933 dan Perdebatan Batavia pada 1933 silam. Termasuk juga setelah kemerdekaan.
Sejak dulu, perdebatan itu berkutat pada tiga hal masalah yakni Nabi Isa (apakah sudah meninggal atau masih hidup), Masalah Kenabian (apakah masih ada nabi sesudah Nabi Muhammad atau tidak) dan status Mirza Ghulam Ahmad sendiri.
“Tapi perdebatan-perdebatan itu dibungkus intelektual dan keilmuan. Tidak ada intimidasi. Akhir-akhir ini saja sudah mengarah pada tindak kekerasan,” kata Rusydi.
Sumber: orangmiskin.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar