Peran penting Aspri Bung Karno
Mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel (Pur) Maulwi Saelan mengungkapkan bahwa asisten pribadi Presiden Soekarno yakni Sze Tu Mei Sen pernah diminta Presiden Soeharto untuk membantu upaya-upaya pencairan hubungan Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok.
"Setelah Bung Karno terguling (1967-1968), belasan tahun kemudian Sze Tu Mei Sen diperlukan Soeharto. Pada tahun 1981, Soeharto memerintahkan Benny Moerdani mencari Mei Sen di Hong Kong. Mei Sen diminta kembali ke Indonesia, karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan dengannya mengenai hubungan Indonesia dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok)," katanya di Jakarta, Senin petang.
Berbicara pada acara "Mengenang Sze Tu Mei Sen" yang dihadiri Ketua MPR Taufik Kiemas, Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, mantan Sekjen Dephut Suripto, Ketua Lembaga Kerja Sama Ekonomi, Sosial, Budaya Indonesia China Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Dubes RRT untuk Indonesia Ny Zhang Qiyue, mantan Ketua LIPI Umar Anggara Djenie, ia banyak mengungkap sejarah yang belum banyak diketahui publik.
Sze Tu Mei Sen, adalah warga Indonesia kelahiran Sukabumi, Jawa Barat yang lahir tahun 1928 dan meninggal pada 13 Oktober 2010 di Macau.
Ia dikenal sebagai wartawan harian "Sinpo" edisi Tiongkok yang meliput di Istana Kepresidenan pada masa Presiden Soekarno, yang akhirnya diangkat menjadi asisten pribadi (Aspri), dan seangkatan dengan salah satu pendiri LKBN-ANTARA Adam Malik.
Menurut Maulwi Saelan, sebetulnya Sze Tu Mei Sen tidak punya salah apa-apa yang mengharuskannya menyingkir dari Indonesia, kecuali bahwa ia adalah Aspri Presiden RI, yang tugas utamanya memelihara hubungan baik dengan RRT.
Singkat cerita, Saelan --yang populer sebagai penjaga gawang tim nasional Indonesia saat melawan Uni Sovyet--dalam situasi krisis tahun 1965, semua yang terkait dengan lingkaran Soekarno mesti disingkirkan.
Ketika Mei Sen siap berangkat keluar negeri melalui bandara Kemayoran, tercium oleh penguasa militer, yang segera mengirimkan perwira berpangkat Letkol, untuk mencegahnya berangkat.
Beruntung, katanya, Mei Sen masih diperkanankan oleh sang perwira menelepon istana memberitahukan pencegahan keberangkatannya. Secara kebetulan, yang menerima telepon adalah Kepala Kabinet Presiden, Djamin, yang langsung melaporkannya kepada Bung Karno.
Lewat telepon Djamin menyampaikan perintah agar Sze Tu Mei Sen kembali ke istana, dan perintah itu dilaksanakan.
Menurut dia, alasan untuk mencegah keberangkatan Mei Sen, karena ia sebagai Pimpinan Umum Surat Kabar "IBUKOTA" berbahasa Mandarin, dituduh mendukung Gerakan 30 September, padahal surat kabar itu diterbitkan atas kerja sama dengan Pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya.
Mengawal
Ia mengemukakan, sebagai Wakil Komandan Tjakrabirawa (Paspampres), dirinya dipanggil Bung Karno dan diperintahkan pagi hari mengawal Sze Tu Mei Sen ke bandara Kemayoran dan menaikkannya ke pesawat terbang yang akan menerbangkan ke luar negeri dengan aman.
"Karena keberangkatan Mei Sen dianggap ada bau politiknya, maka saya dan staf memikirkan alasan yang masuk akal untuk meloloskannya. Mei Sen ketika itu merangkap sebagai Sekretaris Tim Kesehatan Presiden RI. Kebetulan waktu itu dokter pribadi Presiden Soekarno, dr Lauw Ing Tjong juga akan berangkat ke Eropa mencarika obat untuk penyakit Bung Karno, maka diputuskan Mei Sen ikut berangkat ke Eropa dengan tugas yang sama," katanya.
Menurut Maulwi Saelan, waktu itu tim dokter dari RRT masih membantu merawat Bung Karno, tetapi belakangan diketahui musuh-musuh Bung Karno memfitnah bahwa para dokter itu terlibat Gerakan 30 September, sehingga harus meninggalkan Indonesia seketika.
"Dengan bantuan petugas Kodam, tugas memberangkatkan Mei Sen ke luar negeri dapat saya selesaikan dengan baik," katanya.
Sze Tu Mei Sen, katanya, kemudian selamat sampai di Belanda, dan dari sana melanjutkan perjalanan ke Hong Kong yang masuk wilayah Inggris.
Kemudia, ia pergi ke Macau, yang waktu itu masih masuk jajahan Portugal, dan mengadu peruntungan hidup di tempat baru itu. Karena keuletannya, usaha bisnisnya sukses dan berkembang hingga sekarang.
Mengenai permintaan Soeharto, dikemukakan bahwa Mei Sen bersedia kembali ke Indonesia jika keamanannya dijamin, karena ia trauma tahun 1965 dan belum dapat dilupakannya.
Mei Sen kemudian mengontak Wakil Presiden Adam Malik saat itu, dan melalui sekretarisnya memberikan jaminan dan keadannya sudah aman.
"Sze Tu Mei Sen segera berangkat ke Indonesia yang langsung diterima oleh Jenderal Soeharto di kediamannya Jalan Cendana, Jakarta,` katanya.
Dalam perkembangannya, atas peran Sze Tu Mei Sen yang diminta bantuan oleh Soeharto, kemudian hubungan diplomatik RI-RRT dapat kembali pulih, yang sebelumnya ditandai dengan misi-misi "people to people".
Antara
Sumber: id.yahoo.com
"Setelah Bung Karno terguling (1967-1968), belasan tahun kemudian Sze Tu Mei Sen diperlukan Soeharto. Pada tahun 1981, Soeharto memerintahkan Benny Moerdani mencari Mei Sen di Hong Kong. Mei Sen diminta kembali ke Indonesia, karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan dengannya mengenai hubungan Indonesia dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok)," katanya di Jakarta, Senin petang.
Berbicara pada acara "Mengenang Sze Tu Mei Sen" yang dihadiri Ketua MPR Taufik Kiemas, Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, mantan Sekjen Dephut Suripto, Ketua Lembaga Kerja Sama Ekonomi, Sosial, Budaya Indonesia China Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Dubes RRT untuk Indonesia Ny Zhang Qiyue, mantan Ketua LIPI Umar Anggara Djenie, ia banyak mengungkap sejarah yang belum banyak diketahui publik.
Sze Tu Mei Sen, adalah warga Indonesia kelahiran Sukabumi, Jawa Barat yang lahir tahun 1928 dan meninggal pada 13 Oktober 2010 di Macau.
Ia dikenal sebagai wartawan harian "Sinpo" edisi Tiongkok yang meliput di Istana Kepresidenan pada masa Presiden Soekarno, yang akhirnya diangkat menjadi asisten pribadi (Aspri), dan seangkatan dengan salah satu pendiri LKBN-ANTARA Adam Malik.
Menurut Maulwi Saelan, sebetulnya Sze Tu Mei Sen tidak punya salah apa-apa yang mengharuskannya menyingkir dari Indonesia, kecuali bahwa ia adalah Aspri Presiden RI, yang tugas utamanya memelihara hubungan baik dengan RRT.
Singkat cerita, Saelan --yang populer sebagai penjaga gawang tim nasional Indonesia saat melawan Uni Sovyet--dalam situasi krisis tahun 1965, semua yang terkait dengan lingkaran Soekarno mesti disingkirkan.
Ketika Mei Sen siap berangkat keluar negeri melalui bandara Kemayoran, tercium oleh penguasa militer, yang segera mengirimkan perwira berpangkat Letkol, untuk mencegahnya berangkat.
Beruntung, katanya, Mei Sen masih diperkanankan oleh sang perwira menelepon istana memberitahukan pencegahan keberangkatannya. Secara kebetulan, yang menerima telepon adalah Kepala Kabinet Presiden, Djamin, yang langsung melaporkannya kepada Bung Karno.
Lewat telepon Djamin menyampaikan perintah agar Sze Tu Mei Sen kembali ke istana, dan perintah itu dilaksanakan.
Menurut dia, alasan untuk mencegah keberangkatan Mei Sen, karena ia sebagai Pimpinan Umum Surat Kabar "IBUKOTA" berbahasa Mandarin, dituduh mendukung Gerakan 30 September, padahal surat kabar itu diterbitkan atas kerja sama dengan Pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya.
Mengawal
Ia mengemukakan, sebagai Wakil Komandan Tjakrabirawa (Paspampres), dirinya dipanggil Bung Karno dan diperintahkan pagi hari mengawal Sze Tu Mei Sen ke bandara Kemayoran dan menaikkannya ke pesawat terbang yang akan menerbangkan ke luar negeri dengan aman.
"Karena keberangkatan Mei Sen dianggap ada bau politiknya, maka saya dan staf memikirkan alasan yang masuk akal untuk meloloskannya. Mei Sen ketika itu merangkap sebagai Sekretaris Tim Kesehatan Presiden RI. Kebetulan waktu itu dokter pribadi Presiden Soekarno, dr Lauw Ing Tjong juga akan berangkat ke Eropa mencarika obat untuk penyakit Bung Karno, maka diputuskan Mei Sen ikut berangkat ke Eropa dengan tugas yang sama," katanya.
Menurut Maulwi Saelan, waktu itu tim dokter dari RRT masih membantu merawat Bung Karno, tetapi belakangan diketahui musuh-musuh Bung Karno memfitnah bahwa para dokter itu terlibat Gerakan 30 September, sehingga harus meninggalkan Indonesia seketika.
"Dengan bantuan petugas Kodam, tugas memberangkatkan Mei Sen ke luar negeri dapat saya selesaikan dengan baik," katanya.
Sze Tu Mei Sen, katanya, kemudian selamat sampai di Belanda, dan dari sana melanjutkan perjalanan ke Hong Kong yang masuk wilayah Inggris.
Kemudia, ia pergi ke Macau, yang waktu itu masih masuk jajahan Portugal, dan mengadu peruntungan hidup di tempat baru itu. Karena keuletannya, usaha bisnisnya sukses dan berkembang hingga sekarang.
Mengenai permintaan Soeharto, dikemukakan bahwa Mei Sen bersedia kembali ke Indonesia jika keamanannya dijamin, karena ia trauma tahun 1965 dan belum dapat dilupakannya.
Mei Sen kemudian mengontak Wakil Presiden Adam Malik saat itu, dan melalui sekretarisnya memberikan jaminan dan keadannya sudah aman.
"Sze Tu Mei Sen segera berangkat ke Indonesia yang langsung diterima oleh Jenderal Soeharto di kediamannya Jalan Cendana, Jakarta,` katanya.
Dalam perkembangannya, atas peran Sze Tu Mei Sen yang diminta bantuan oleh Soeharto, kemudian hubungan diplomatik RI-RRT dapat kembali pulih, yang sebelumnya ditandai dengan misi-misi "people to people".
Antara
Sumber: id.yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar