Kerta neagara (2)
PENDEKATAN ANTROPOLOGI ATAS MODEL PEMERINTAHAN RAJA KERTANAGARA
Telah diutarakan bahwa penobatan Kertanagara berlangsung pada tahun
Saka 1176 atau tahun Masehi 1254. Penobatan itu harus ditafsirkan bahwa
Kertanagara pada waktu itu baru dinobatkan sebagai raja muda atau
yuwaraja. Hal ini terbukti dari istilah makamngalnya (di bawah
pengawasan) yang sering ditemukan dalam prasasti Kertanagara sebelum
tahun 1929.[19] Baru setelah raja Wisnuwardana wafat pada tahun saka
1190 atau tahun masehi 1268, maka Kertanagara mempunyai tanggung jawab
penuh se bagai raja. Sejak pembentukan kerajaan Singasari oleh Ken Arok
alias raja Rajasa,[20] yang pada waktu itu belum bernama Singasari
tetapi Kutaraja,[21] Kertanagara adalah raja pertama dan terakhir, alias
satu-satunya raja Singasari yang penobatannya tanpa pertumpahan
darah.[22] Siapa namanya waktu masih kecil tidak diketahui. Baik
Pararaton maupun Negarakretagama serta Prasasti Sarwadharma dan Kidung
Panji Wijayakrama tidak menyebutnya. Negarakretagama dan prasasti
Sarwadharma dengan tegas menyebut bahwa nama Kertanagara adalah nama
abhiseka. Dalam Kidung Panji Harsawijaya, raja Kertanagara biasa disebut
Siwa-Buddha.[23] Sebabnya tidak lain karena prabu Kertanagara memang
mempunyai pengetahuan yang sangat mendalam tentang ajaran agama Siwa dan
Buddha dan memiliki pengetahuan tentang ajaran agama.
Dari
Negarakretagamai kita ketahui bahwa perubahan nama Kutaraja menjadi
Singasari terjadi dalam pemerintahan raja Wisnuwardhana di sekitar tahun
Saka 1176 atau tahun Masehi 1254. Sumber sejarah lainnya tidak menyebut
nama dusun Kutaraja yang kemudian berganti nama Singasari. Pararaton
menceritakan hal lain, yakni bahwa Wisnuwardana mendirikan perbentengan
(kota?) di Canggu Lor dalam tahun Masehi 1271. Canggu Lor terletak
ditepi Sungai Brantas, dan mungkin sekali pembuatan perbentengan di
Canggu Lor itu ada hubungannya dengan penyerangan atas Mahibit oleh raja
Wisnuwardana, karena dapat diperkirakan Mahibut pun terletak di tepi
Sungai Brantas, dekat Terung, tidak jauh dari letak keraton Majapahit
dikemudian hari.[24] Negarakretagama agak panjang menguraikan
pemerintahan raja Kertanagara. Sudah pasti bahwa uraian itu hanya
menyinggung segi-segi yang baik saja, karena uraian itu ditulis dalam
rangka pujasastra.[25] Demikianlah dari Negarakretagama itu saja, kita
tidak akan memperoleh gambaran yang sekedar mendekati kenyataan
peristiwa sejarah. Kecuali itu, uraiannya boleh dikatakan singkat
singkat. Sumber sejarah lainnya akan sekedar menambah pengetahuan kita
tentang diri dan pemerintahan raja Kertanagara. Dengan harapan,
didapatkan informasi solid dan valid tentang diri dan pemerintahan raja
Kertanagara. Dengan demikian pendekatan antropologi dapat dilakukan
secara utuh tidak fragmentis sehingga didapatkan hasil kajian dari
prespektif antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Hal ini menjadi
penting sebab kajian antropologi berusaha meneropong raja Kertanagara
sebagai bagian dari profanitas dan bukan sakralitas sebagaimana banyak
diatributkan dalam pemberitaan beberapa Serat, Prasasti dan beberapa
Kidung.
Penalaran akan profanitas raja Kertanagara dapat
melahirkan paradigma baru bahwa Kertanagara bukanlah manusia adi-luhung
sebagaimana disebutkan dalam inskripsi kuno. Melainkan ia hanyalah
manusia biasa yang dapat saja tergelincir dalam subjektifitas dan
egoisme atau dapat dikatakan juga memiliki kekurangan didalam kelebihan
pemerintahannya. Hal ini akan terlihat dalam kajian antropolitik
pemerintaha raja Kertanagara yang banyak mengandung paradoks. Begitu
dengan pendekatan religi dan sosiokultural pemerintahan Kertanagara.
Dibawah ini uraian pendekatan antropologi yang telah dilakukan atas
pemerintahan Kertanagara dari sudut pandang antroreligi, antropolitik,
dan sosiokultural. Pendekatan antro-religi dilakukan terlebih dahulu
karena pandangan religius Kalacakra[26] yang dianut Kertanagara
sangatlah mempengaruhi model pemerintahan consentris yang ia laksanakan.
Pendekatan Antroreligi Atas Paham Kalacakra Raja Kertanagara
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka. Raja Kertanagara menganut
paham Kalacakra dan paham ini dalam Negarakretagama pupuh 43/3 disebut
sebagai Tantra Subuthi oleh Prapanca. Alasan dipegangnya paham ini oleh
raja Kertanagara disebutkan dalam Negarakretagama lanjutan pupuh 43/3,
“....demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan
anugerah kepada rakyat murba...”
Mengenai diri dan ibadahnya Negarakretagama pupuh 43/1-6 memberikan uraian sebagai berikut:
Itulah sebabnya, baginda teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni,
teguh tawakal menjalankan pancasila, samskra, dan abhisekakrama.
Tersohor nama abhiseka beliau setelah ditahbiskan sebagai Jina: Sri
Jnanabajresvara. Putus dalam filsafat, tata bahasa dan ilmu
lain-lainnya. Berlomba-lomba beliau menyerap seluk beluk kebatinan.
Terutama tantra Subuthi, diselami rasanya merasuk kedalam hati. Untuk
keselamatan negara beliau melakukan puja, yoga, samadi. Suka memberikan
derma kepada rakyat dan mendirikan biara untuk para pendeta. Diantara
raja-raja sebelumnya tak ada seorangpun yang setara beliau; paham akan
sadguna (enam macam politik), putus dalam ilmu, dan memang ahli dalam
ajaran agama. Teguh dalam menjalankan aturan agama Jina, dan tawakal
dalam laku utama. Itulah sebabnya mengapa mengapa keturunan beliau
semuanya ikacatra (pelindung tunggal) dan dewaraya. Pada tahun Saka
1214, beliau pulang ke Jinalaya. Oleh karena beliau putus dalam ilmu
tentang upacara (kriyantara) dan ajaran agama (sarwopadesadika), segenap
rakyat memberikan gelar kepada beliau: Yang Mulia di alam Siwa Buddha.
Diatas makam beliau didirikan arca Siwa-Buddha, terlampau indah. Di
Sagala, ditegakkan pula arca Jina, terlampau indah permai. Kecuali itu
juga arca Ardanateswari bersama Sri Bajradewi manunggal. Hyang Wairocana
dan Locana sebagai Lambang. Kecuali itu juga arca Ardanateswari bersama
Sri Bajradewi manunggal. Hyang Wairocana dan Locana sebagai lambang
merupakan arca tunggal, sangat masyhur.[27]
Dari keterangan
diatas ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam kajian
antroreligi paham Kalacakra yang dianut oleh raja Kertanagara ternyata
merupakan sinkreteisme Hindhu-Buddha dan secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua, yaitu:
Unsur Buddha Aliran Mahayana
Unsur-unsur kemahayanaan paham Kalacakra yang dianut oleh raja Kertanagara antara lain :
1. Tantra Subuthi
Dalam
Negarakretagama pupuh 43/3 disebutkan, “...berlomba-lomba beliua
menyerap seluk beluk kebatinan. Terutama tantra Subuthi, diselami
rasanya merasuk kedalam hati...” Mengenai Tantra ini Prof. Kern
berpendapat, Subuthi adalah salah seorang pengikut Buddha. Nama itu
terdapat dalam karya Mahayana yang bernama Prajna Paramita.[28] Tantra
yang diikuti oleh Prabu Kertanagara dikatakan berasal dari Subuthi.
Namun, menurut Slamet Muljana (2005, Menuju Puncak Kemegahan, hal. 145)
dalam daftar karya mantra dari aliran Mahayana nama itu tidak kedapatan.
Gelar bajra[29] yang terdapat dalam prasasti Tumpang dan diberikan
kepada raja Kertanagara, memperkuat asumsi bahwa beliau ahli dalam
mantarayana atau tantrayana. Dalam prasasti itu beliau bernama
“Jnanesvara Bajra.” Nama tersebut didapat pula dalam Negarakretagama
pupuh 43/2 dengan susunan yang agak berbeda sedikit, yakni Sri
Jnanabajresvara. Nama itu nama abhiseka sebagai Jina. Atau dapat
dikatakan, bila Tantra Subuthi ini dilihat dari sudur pandang
antroreligi jelas bahwa raja Kertanagara lebih menerima ajaran ini
karena didalamnya tersimpan unsur-unsur esoteris yang berupa paham
kesamaan manusia sebagai arketipe ketuhanan dalam mikrokosmos yang
bilamana seseorang telah masuk kedalamnya maka seluruh larangan dalam
pancasila budhis terabaikan, sebab ia telah menjadi Jina/
Wairocana-Locana. Bhoddisatwa tertinggi yang mewujud dan lepas dari
ikatan kemelakatan panca skandha manusia, dengan demikian ia hanya
menggunakan kama-nya sebagai jalan hatha yoga menuju kebudhaan.[30] Pada
permulaan abad ke-8 para pendeta Mahayana membawa kitab
Mahavairocanasutra ke Tiongkok dan Tibet. Sudah pasti bahwa kitab-kitab
tersebut juga sampai di Indonesia sekitar tahun 1200 atau abad
ke-13.[31] Terbukti dalam makamnya, Kertanagara diwujudkan manunggal
dalam arca Wairocana-Locana.
2. Samadimantra dan Abhisekakrama
Telah
diketahui bahwa mantra adalah ucapan yang mengandung kekuatan gaib.
Tiap bunyi, suku atau kata, berarti pendalaman tentang kekuatan gaib
sebagai unsur kekuatan Brahman (purushavatara-Hindu) atau sebagai
pembangkitan energi pencerahan dari alam dharmakaya sebagai bentuk
sugestif-witarka dari Sang Wairocana[32]. Tiap bunyi, suku kata yang
diucapkan dalam mantra adalah unsur dari kata mutlak-parâ vâc.
Mengucapkan bunyi, suku atau kata yang bersangkutan berarti
membangkitkan kekuatan gaib yang terkandung didalamnya. Sebagai contoh,
dibawah ini terdapat tabel namahsiwayamantra dengan tabel makna
sugestif.
Na Ma Si Va Ya
Rishi Gautama Atri Vishwamitra Angirasa Baradwaja
Chanda Gyatri Anustup Tristup Brihati Virat
Devata Indra Rudra Hari Brahma Skanda
Arah Timur Utara Barat Selatan Tengah
Swara Udatta Udatta Swaritta Swaritta Udatta
Tabel Makna Sugestif Namahsiwayamantra
Sumber : www.dharmacentral.com/articles/namahsiwayamantra.htm
Dari tabel diatas jelas terlihat bagaimana mantra membangkitkan
tenaga supranatural yang setiap bunyi suku katanya dianalogikakan dengan
nama-nama dewata. Dengan kata lain, mantra adalah the key of power for
determination of darkness illusion-mahamaya-mara to throuh the trikaya
till attempt in the enlightment of buddhahod.[33]
Kepercayaan kepada mantra tumbuh dengan suburnya dalam aliran Mahayana.
Mereka yang telah terlatih dalam samadhi[34] mempunyai kemampuan
supranatural. Bagi mereka tiap bunyi, tiap bunyi yang diucapkan
membangkitkan kekuatan gaib sepeti yang dimaksud. Demikianlah kombinasi
pemakaian mantra, mudra dan samadhi pada hakikatnya pembangkitan
kekuatan gaib dari tiga jurusan, yakni dari ucapan, gerak, dan pikiran.
Pembangkitan yang demikian, bagaimanapun sangat intensif. Demikianlah
sadhaka, yakni orang yang berlatih atau terlatih, mampu menguasai segala
kekuatan menurut kehendak hatinya. Karena pemusatan diri kepada suatu
mantra yang mempunyai pertalian erat dengan dewa tertentu, sadhaka
memerintahkan dewa yang bersangkutan menitis kedalam dirinya. Akibatnya,
ia memiliki kekuatan gaib seperti dewa yang dipanggilnya.[35]
Penggunaan mantra dan ber-samadhi hanya dapat berhasil atas petunjuk
seorang guru yang mahir dalam hal bersangkutan. Hanya guru yang
demikianlah yang mempunyai wewenang untuk menahbiskan seorang murid atau
seorang dik’a. Dengan penahbisan itu, murid yang bersankutan wewenang
untuk turut memiliki atau menguasai kekuatan gaib. Penahbisan itu
disebut abhiseka.
Dari penjelasan ini bila dilihat dari
sudut pandang antroreligi akan menjadi kesimpulan bahwa penahbisan
Kertanagara sebagai Jnanabajreswara (Negarakretagama) atau Jnanesvara
Bajra (Prasasti Tumpang-Prasasti Singasari) menjadi sebentuk
penteofanian[36] diri Kertanagara sebagai nirmanakaya.
Unsur Hindhu Aliran Siwa
Setelah membahas unsur kebuddhaan paham Kalacakra yang dianut oleh Kertanagara. Maka kini unsur-unsur Hindhu Siwa, yakni:
1. Kamayoga
Yoga diperlukan dalam menjalankan samadhi dan mantra. Yoga berasal
dari kata yug yang berarti menghubungkan atman kepada Brahman (realitas
tertinggi) atau dengan kata lain meleburkan diri (purusha) kedalam
widyut-energi murni (mahapurusha). Dalam kajian antroreligi tindakan
seperti ini disebut sebagai memanifestasikan keagungan (majestas) yang
sakral kepada yang profan (being).
Dalam paham Kalacakra dari
kacamata Hindhu berarti penghubungan diri dengan realitas tertinggi
(Ishvara) dengan menggunakan kama-nafsu ragawi sabagai
kamasana-kendaraan jasmani menghalau maya-ilusi, hingga mencapau
mahamaya-realitas ilusi, menuju moksa atau kelenyapan.[37] Moksa dalam
Hindu umumnya terjadi setelah kematian, namun dalam Tantrisme Kalacakra
moksa dapat dicapai bahkan sebelum kematian mengahadang. Namun untuk
meraihnya diperlukan tekhnik yoga tertentu. Dalam hal ini terutama
hathayoga, yakni yoga yang sangat keras, memegang peranan penting.
Yogin, atau praktisi yoga laki-laki (Yogini untuk perempuan) yang sedang
menjalankan yoga tersebut, harus berusaha membangkitkan ular sebagai
titisan dewi Parwati sakti Siwa.[38] Ular itu akan menutup saluran
tertentu dalam badan yang akan memberikan akibat kemenangan atas
samsara-kesengsaraan.[39] Latihan itu disebut tantrayana, latihan
membangkitkan Dewi.[40] Persetubuhan dengan dewi ular titisan sakti Siwa
adalah bentuk kebahagiaan yang tertinggi yang dapat dicapai.[41] Dasar
filsafat kepercayaan ini ialah bahwa realitas yang tertinggi ialah
persatuan antara dua sifat yang berjenis maskulin dan feminin. Jenis
maskulin adalah aspek yang tertinggi, sedangkan jenis feminin adalah
aspek pembebasan. Yang pertama disebut upaya, yakni syarat. Maksudnya
ialah syarat mencapai kebenaran. Yang kedua bersifat pasif, merupakan
aspek pembebasan, disebut prajna. Kesatuan antara maskulinitas dan
feminitas melaksanakan kesatuan transendental, mengakibatkan pembebasan
dari samsara. Berdasarkan pandangan itu, maka semua dewa, Buddha dan
boddhisattva mempunyai sakti yang berupa dewi atau perempuan. Kesatuan
antara jenis maskulin dan jenis feminin adalah manifestasi dari prinsip
tertinggi. Demikianlah dapat dipahami mengapa dalam tantrayana,
persetubuhan mendapat kedudukan yang sangat tinggi, dan wanita sebagai
pendukung feminitas mendapat kehormatan luar biasa. Seorang wanita yang
menjadi yogini dengan sendrinya mendapat kehormatan dan kedudukan yang
sangat tinggi, lebih tinggi daripada wanita biasa. Oleh karena itu,
persetubuhan dengan seorang yogini dipandang sebagai salah satu jalan
yang mulia untuk mencapai pembebasan. Jika dilakukan dengan awidya,
mengakibatkan klesa-dosa atau leta yang merupakan perintang kejalan
moksa. Terbukti dalam pendarmaannya, di Sagala Kertanagara ditegakkan
arca Ardhanesvara[42] yang merupakan arca Siwa manunggal dengan
saktinya, yakni dewi Parwati.
Sumber: http://amanahrakyatindonesia.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar