Hayam Wuruk
Hayam
Wuruk lahir tahun 1334, beberapa bulan sebelum Gajah Mada dikukuhkan
sebagai Mahapatih Amangkubumi. Pada saat Gajah Mada mengucapkan sumpah
sakral Amukti Palapa bayi Hayam Wuruk baru saja menikmati udara
Majapahit.
Dia tidak tahu dan mengalami langsung peristiwa
bersejarah itu, tapi belasan tahun kemudian tangannyalah yang kemudian
memimpin dan membawa Majapahit melaksanakan program maha dahsyat itu.
Di tangannyalah kemudian seluruh perairan nusantara bersatu menentang penjajahan bangsa asing, terutama Tiongkok.
Sabdanya
telah membentuk negara menjadi pemerintahan yang berwibawa dan disegani
rakyatnya. Masyarakat Majapahit menunduk hormat sambil merapatkan kedua
telapak tangannya dengan ikhlas kepada sang Raja. Sabda raja adalah
hukum yang harus dihormati.
Tiga puluh delapan tahun masa
pemerintahannya sejak tahun 1351 s.d. 1389, Hayam Wuruk telah membawa
seluruh rakyat Majapahit, Wilwatikta Agung, ke puncak kejayaan dan
keemasan. Membawa seluruh rakyatnya mengalami kemakmuran, kesejahteraan
dan keadilan. Setiap perayaan agung di pusat kerajaan dimeriahkan oleh
seluruh rakyat tanpa kecuali.
Pada masa pemerintahannya itulah
kerajaan-kerajaan lain di nusantara raya ini tidak hanya sekedar sebagai
negara bawahan yang tidak mempunyai kemerdekaan, tetapi semua kerajaan
itu bersama-sama dengan pemerintah pusat di Jawa Timur mengembangkan
potensi daerah masing-masing bagi kepentingan nusantara raya ini.
Persatuan
dan kesatuan yang menjadi program dasar Majapahit Agung telah
memberikan sumbangan pemikiran yang signifikan bagi pengembangan daerah
yang pada akhirnya membawa negara besar ini ke pintu gerbang kemajuan
peradaban bangsa yang disegani oleh negara sahabat dan mancanegara.
Tercatat,
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk tidak ada pemberontakan di dalam
negeri yang cukup berarti seperti pada masa-masa pemerintahan
sebelumnya. Hubungan dengan negara tetangga sangat baik, terutama dengan
Cina.
Ditandai dengan gempa bumi yang sangat dahsyat di desa
Banyupindah akibat letusan gunung Kelud, yang menimbulkan kerugian harta
dan nyawa, dan didahului dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan
dan krisis kepemimpinan di pusat kerajaan Majapahit, lahirlah bayi Hayam
Wuruk di tengah-tengah masyarakatnya pada tahun 1334.
Seluruh
masyarakat, dari kasta paling rendah sampai para bangsawan dan petinggi
Majapahit menyambut kelahiran jabang bayi calon pemimpin besar bangsa
ini. Semua bergembira.
Lebih dari sebulan Majapahit menyambut kelahiran putra mahkota itu dengan mengadakan pesta rakyat di alun-alun Bubat.
Para
pendeta Hindu dan Budha melakukan upacara keagamaan yang sangat
sempurna. Candi-candi dan tempat-tempat ibadah dibersihkan. Para
pujangga dan seniman istana mengukir dan memuji si jabang bayi dengan
sentuhan estetika mereka. Setiap desa, padukuhan dan tanah perdikan di
seluruh Majapahit, Daha, Kahuripan dan Singasari mengantarkan hasil bumi
mereka ke kotaraja bagi keberlangsungan upacara-upacara yang diadakan.
Mereka
bersama-sama merayakan hari bahagia menyambut putra mahkota di
kotaraja. Alun-alun Bubat dipenuhi tenda-tenda yang disediakan oleh
kerajaan bagi para pemimpin daerah yang datang. Seluruh Majapahit
bergembira, putra mahkota telah lahir, seorang laki-laki yang tampan,
sempurna lahir dan bathiniah.
Hayam Wuruk yang juga bernama Raden
Tetep itu bersama-sama Gajah Mada, orang yang memomongnya dengan
telaten sejak dia masih kecil, telah memberikan garis kebijakan yang
sangat jelas mengenai rantai kepulauan besar nusantara, yang menurut
Mohammad Yamin (berdasarkan uraian Nagarakretagama) terbagi dalam daerah
yang delapan, yaitu:
Seluruh Jawa, meliputi: Jawa, Madura dan Galiyao (Kangean)
Seluruh Pulau Sumatra (Melayu), meliputi: Lampung, Palembang, Jambi,
Karitang (Inderagiri), Muara Tebo, Dharmasraya (Sijunjung), Kandis,
Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing,
Tamiang, Perlak, Barat (Aceh), Lawas (Padang Lawas, Gayu Luas), Samudra
(Aceh), Lamuri (Aceh tiga segi), Bantam dan Barus.
Seluruh
Pulau Kalimantan (Tanjungnegara), meliputi: Kapuas, Katingan, Sampit,
Kuta Lingga (Serawak), Sedu (Sedang di Serawak), Kota Waringin, Sambas,
Lawar (Muara Labai), Kedangdanan (Kendangwangan), Landak, Samedang
(Simpang), Tirem (Peniraman), Sedu (Serawak), Brunai, Kalka Saludung,
Solot (Solok, Sulu), Pasir, Baritu, Sebuku, Tabalong (Amuntai), Tanjung
Kutai, Malanau dan Tanjungpuri.
Seluruh Semenanjung Melayu
(Malaka), meliputi: Pahang, Hujungmedini (Johar), Lengkasuka (Kedah),
Saimwang (Semang), Kelantan, Trengganu, Nagor (Ligor), Pakamuar (Pekan
Muar), Dungun (di Trengganu), Tumasik (Singapura), Sanghyang Hujung,
Kelang (Kedah, Negeri Sembilan), Kedah. Jere (Jering, Petani), Kanjab
(Singkep) dan Niran (Karimun).
Di sebelah timur Jawa, seluruh
Nusa Tenggara, meliputi: Bali, Bedulu, Lwagajah (Lilowan, Negara), Gurun
(Nusa Penida), Taliwang (Sumbawa), Dompo (Sumbawa), Sapi (Sumbawa),
Sanghyang Api (Gunung Api, Sangeang), Bima, Seram, Hutan (Sumbawa),
Kedali (Buru), Gurun (Gorong), Lombok Mira (Lombok Barat), Saksak
(Lombok Timur), Sumba dan Timor.
Seluruh Sulawesi, meliputi:
Bantayan (Bontain), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makasar, Butun
(Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Salaya (Saleier) dan
Solot (Solor).
Seluruh Maluku, meliputi: Muar (Kei), Wandan (Banda), Ambon dan Maluku (Ternate).
Seluruh Irian (Barat), meliputi: Onin (Irian Utara) dan Seram (Irian Selatan).
Hayam
Wuruk suka menari (memainkan peran wanita) sebagai Pager Antimun,
menjadi dalang dengan gelar Tirtaraju, kalau jadi pelawak dalam wayang
mengambil peran Gagak Ketawang, sebagai pemeluk agama Siwa dikenal
sebagai Janeswara. Sebagai raja selain mengambil nama abiseka Sri
Rajasanagara juga sering disebut Hyang Wekasing Suka. (Prof. Dr. Slamet
Muljana, Pemugaran Persada Sejarah LELUHUR MAJAPAHIT, hal. 190).
Masih
dalam Nagaraktretagama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit
sudah menetapkan batasan wilayah negara tetangga (bukan negara bawahan),
seperti: Sin (Syangka), Thai, Dharmanagara, Martaban (Birma), Kalingga
(Rajapura), Singanagari, Campa, Kamboja dan Annam (Yawana).
Kepopuleran
Hayam Wuruk bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara.
Seorang bhiku dari pertapaan Sadwihara di daerah Kancipuri (India) yang
bernama Sri Budhatiya mengarang buku Bhogawali, berisi pujian kepada
Sang Prabhu Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk dinobatkan sebagai putra
mahkota (yuwaraja) sejak masih kanak-kanak di Kahuripan dengan gelar
abhiseka Sri Rajasanagara yang terus dipakainya sampai menjadi raja di
Majapahit (dinobatkan pada usia 16 tahun, pada pertengahan tahun 1351).
Menurut
Pararaton, sehabis perang Bubat (kegagalan Hayam Wuruk memperistri
putri Sunda: Dyah Pitaloka) Hayam Wuruk memperistri Paduka Sori, putri
Bhatara Hyang Paramesywara dengan Dyah Wiyat Sri Rajadewi Maharajasa.
Bhatara Hyang Paramesywara adalah Bhre Wengker (raja di Wengker). Dyah
Wiyat adalah bibinya, adik ibunya yang menjadi ratu di Daha (Bhre Daha).
Jadi Paduka Sori masih adik sepupunya.
Dari perkawinan itu lahir
Bhre Lasem Sang Ahayu. Menurut Nagarakretagama pupuh VII/4 Bhre Lasem
Sang Ahayu bernama Kusumawardhani yang akhirnya kawin dengan Bhre
Mataram Wikramawardhana, putra sulung Bhre Pajang. Sepeninggal Sri
Rajasanagara, Wikramawardhanalah yang menjadi raja di Majapahit.
Sumber: http://amanahrakyatindonesia.blogspot.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar