Alhasil, keinginan Bung Hatta untuk membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian hingga akhir hayatnya. Bahkan, yang lebih mengharukan, ternyata hingga wafat, guntingan iklan sepatu Bally tersebut masih tersimpan dengan baik.
DR. (HC) Drs. H. Mohammad Hatta
atau lebih dikenal Bung Hatta adalah proklamator RI, Wakil Presiden I
RI, Bapak Koperasi Indonesia, negarawan, pahlawan, diplomat, dan
ekonom. Itulah gelar kedaulatan yang Bung Hatta sandang. Namun, selain
gelar-gelar diatas yang biasa kita baca, ada hal lain yang tidak kalah
penting yang membuat saya kagum seraya bangga atas sosok Bung Hatta lainnya yakni santun, jujur, hemat, serta uncorruptable.
Bung Hatta lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat pada 12 Agustus 1902. Pada usia 19 tahun, Bung Hatta
pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di
Nederland Handelshogeschool (sekarang Universitas Erasmus) dan mendapat
gelar Drs. Bung Hatta. Selama di Belanda, Bung Hatta terus melakukan
perjuangan kemerdekaan untuk bangsa di nusantara. Aktivitasnya dalam
organisasi menyebabkan Hatta pernah ditangkap pemerintah Belanda.
Tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia
dan bergabung dengan organisasi CPNI yang bertujuan meningkatkan
kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan.
Belanda menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua
Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta
diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Tahun 1945, Hatta secara aklamasi
diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang
menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung Karno memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut
Bapak Proklamator Indonesia. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada
tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno.
Bung Hatta meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun.
Hingga akhir hayatnya, hanya meninggalkan satu wasiat kepada
keluarganya, “Kalau saya meninggal, kuburkan saya di perkuburan
rakyat”. Beliau ingin dikubur bersama rakyat yang telah ia perjuangkan
selama hidupnya…
Bila India memiliki Mahatma Gandhi
sebagai bapak negarawan yang sederhana, santun, bersahaja bagi
rakyatnya, maka Indonesia memiliki Bung Hatta. Sepanjang hidupnya, Bung
Hatta berperilaku senantiasa menampilkan sikap yang santun
terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap Bung Karno
yang pada masa sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama cukup erat
namun kemudian mereka tidak dapat bekerja sama secara politik,
tetapi sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya.
Ketika Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula
sebaliknya. Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling
menghargai.
Banyak kisah tentang dia yang
menyadarkan kita semua, bahwa Indonesia pernah memiliki seorang pemimpin
dan negarawan yang teramat bersahaja. Dan, itu pula yang disampaikan
Rachmawati Soekarnoputri dalam tulisannya yang dimuat di Harian Kompas, 9
Agustus 2002, Mengenang 100 Tahun Bung Hatta.
Dalam tulisan tersebut, putri mendiang Bung Karno tersebut mengatakan,
suri teladan yang perlu diteladani dari Bung Hatta adalah sifat dan
perilakunya yang fair dan jujur. “Jujur di sini, tidak hanya
terbatas pada tidak melakukan praktik KKN selama berkuasa atau
menjabat. Namun, lebih dari itu, Bung Hatta jujur terhadap hati
nuraninya,” kata Rachmawati.
Hal itu terlihat saat Bung Hatta mulai
tidak sepaham dengan Bung Karno antara lain menganggap Bung Karno sudah
ke-kiri-kirian, terlebih saat Bung Karno mencetuskan ide Nasakom, Bung Hatta yang sudah tidak sepaham lagi dengan Bung Karno memilih mengundurkan diri 1 Desember 1956.
Kejujuran yang diperlihatkan Bung Hatta
dalam hal ini justru menunjukkan sikap ksatria seorang negarawan yang
patut dihargai dan dicontoh. Kendati demikian, hubungan pertemanan
antara Bung Hatta dan Bung Karno tidak lalu berubah menjadi permusuhan,
malahan Bung Hatta melakukan kerja sama yang kritis terhadap Bung Karno
(critical cooperation). Bahkan, adakalanya Bung Hatta
memberikan masukan langsung datang ke Istana selain menulis surat atau
menelepon. Dan, Bung Karno pun tetap menganggap Bung Hatta sebagai teman
bukan musuh yang harus “dilumpuhkan”.
Rachmawati juga mengungkapkan bahwa
sikap fair dan perilaku terasa ketika Bung Karno sakit setelah
terjadinya G30S/PKI tahun 1965. Ketika Bung Karno mulai jatuh sakit,
Bung Hatta tetap memberikan perhatian kepada Bung Karno. Bahkan, pada
saat sakit yang diderita Bung Karno semakin parah pada tahun 1969 dan
terpaksa harus dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Bung Hatta
bersikeras menjenguk Bung Karno di mana tak satu pun pejabat atau tokoh
lain mau menjenguk Bung Karno.
Salah
satu kisah mengugah dari Bung Hatta yang dikenang masyakarat adalah
kisah tentang sepatu Bally. Pada tahun 1950-an, Bally adalah merek
sepatu bermutu tinggi yang berharga mahal. Bung Hatta, ketika masih
menjabat sebagai wakil presiden, berniat membelinya. Untuk itulah, maka
dia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya.
Setelah itu, dia pun berusaha menabung
agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun, apa yang terjadi?
Ternyata uang tabungan tidak pernah mencukupi untuk membeli sepatu
Bally. Ini tak lain karena uangnya selalu terambil untuk keperluan rumah
tangga atau untuk membantu orang-orang yang datang kepadanya guna
meminta pertolongan. Alhasil, keinginan Bung Hatta untuk
membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian hingga akhir
hayatnya. Bahkan, yang lebih mengharukan, ternyata hingga wafat,
guntingan iklan sepatu Ball tersebut masih tersimpan dengan baik.
Andai saja Bung Hatta mau memanfaatkan
posisinya saat itu, sebenarnya sangatlah mudah baginya untuk memperoleh
sepatu Bally, misalnya dengan meminta tolong para duta besar atau
pengusaha yang menjadi kenalannya. Barangkali bukan hanya sepatu merek
Bally yang mampu dibelinya. Bisa saja ia memiliki saham di pabrik sepatu
dan berganti-ganti sepatu baru setiap hari. Tetapi, ia tidak melakukan
semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu Bally yang tidak
terbelinya hingga akhir hayat. Bila dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal ini merupakan sebuah tragedi.
Seorang mantan wakil presiden, orang
yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi
perundingan dengan Belanda –negara yang pernah menjajahnya—hingga
Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya
untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek terkenal. Meski memiliki
jasa besar bagi kemerdekaan negeri ini, Bung Hatta sama sekali tidak
ingin meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain atau negara.
Menurut Jacob Utama, Pemimpin Umum
Harian Kompas, segala yang dilakukan Bung Hatta sudah mencerminkan bahwa
dia tidak hanya jujur, namun juga uncorruptable, tidak
terkorupsikan. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk menodainya
dengan melakukan tindak korupsi. Mungkin banyak masyarakat
berkomentar, “Iya, lha wong sepatu Bally harganya, kan, selangit.”
Namun lagi-lagi itulah, ternyata bukan
hanya sepasang sepatu itu yang tidak mampu dibeli Hatta. Barang lain
yang juga tak mampu dibelinya adalah mesin jahit yang juga sudah lama
didambakan sang istri. Wah, mengapa bisa begitu? Ya, tak lain karena
setelah mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, 1 Desember 1956,
uang pensiun yang diterimanya sangat kecil. Bahkan saking kecilnya,
sampai-sampai hampir sama dengan Dali, sopirnya yang digaji pemerintah.
Dalam kondisi seperti ini, keuangan keluarga Bung Hatta memang sangat
kritis.
Sampai-sampai, pernah suatu saat Bung
Hatta kaget melihat tagihan listrik, gas, air, dan telepon yang harus
dibayarnya, karena mencekik leher. Beliau, pernah sampai mengirim surat
kepada Ali Sadikin – gubernur Jakarta waktu itu, untuk di beri waktu
keringanan membayar listrik, karena kondisi ekonomi Beliau yang sangat
pas-pasan. Yang membuat Bang Ali terharu membaca surat Beliau. Dan tidak
menyangka seorang Bapak Pendiri Bangsa ini memohon kepada Beliau untuk
di beri keringanan. Seorang Bapak Bangsa yang telah memperjuangkan
seluruh hidupnya untuk negeri ini, sekarang hidup dengan kondisi yang
sangat sederhananya. Beliau juga seorang kepala keluarga yang mampu
memberikan tauladan kepada keluarga. Harta yang Beliau wariskan kepada
keluarga bukan uang atau tanah melainkan hanyalah setumpuk buku. Setelah
wafatnya, keluarga menemukan buku harian, setumpuk uang dan potongan
iklan sepatu Bally, sepatu yang ingin Beliau beli dan diidam-idamkan
sampai akhir hidupnya.
Dalam keseharian, Bung Hatta tidak
pernah putus asa. Beliau selalu rajin menulis untuk menambah
penghasilannya. Baginya, biarpun hasilnya sedikit, yang penting
diperoleh dengan cara yang halal.
Itu sebabnya, mengapa Bung Hatta
mengembalikan sisa uang yang diberikan pemerintah untuk berobat ke
Swedia. Itu dilakukan, karena sepulang dari Swedia Bung Hatta mendapati
bahwa uang tersebut masih bersisa, dan dia merasa itu bukan haknya.
Sungguh mengagumkan. Apa yang dilakukan Bung Hatta adalah karena dia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik bangsa dan negara.
Dalam konteks itu pula, maka Bung Hatta pun tidak berusaha bekerja di
berbagai perusahaan meski sebenarnya sangat memungkinkan. Dalam
pandangannya, jika dia bekerja pada perusahaan, maka citra seorang
mantan wakil presiden akan runtuh. Juga, jika dia menjadi seorang
konsultan, maka sebenarnya dirinya sedang terjebak ke dalam bias
persaingan usaha yang sarat dengan kepentingan.
Pemikiran yang luar biasa itulah yang
dijalankan oleh Bung Hatta. Bung Hatta lebih memilih hidup sederhana
demi menjaga nama baik bangsa Indonesia. Bung Hatta telah mengorbankan
dirinya bagi negeri ini. Bung Hatta begitu hati-hati menggunakan
kekuasaan.
Semoga melalui artikel yang diangkat
dari kisah nyata dari seorang pemimpin besar bangsa ini, seorang
proklamator yang turut memperjuangkan NKRI dengan Pancasila sebagai
falsafah bangsa, memberi kebanggaan sekaligus teladan bagi rakyat
Indonesia, terutama generasi muda. Membaca kisah ini mestinya membuat
malu bagi setiap warga Indonesia, terutama para pejabat, baik eksekutif,
yudikatif maupun legislatif yang berebut kursi kekuasaan. Bagaimana
mungkin anggota dewan sudah meminta jatah laptop diawal jabatannya?
Bagaimana kontradiktifnya sikap Bung Hatta dengan sikap Kementerian Kabinet Indonesia Bersatu II yang minta kenaikan gaji pasca 1 hari dilantik?
Semoga kisah Bung Hatta tentang Sepatu
Bally menjadi bagian dari artikel dalam pendidikan sekolah terkait
pendidikan antikorupsi dan bela negara.
Sikap beliau membuat kita terharu sekaligus kagum mengetahu bahwa
seorang Wakil Presiden RI yang juga bapak proklamator harus menabung
untuk membeli sepatu “bally”, tapi…. hingga akhirnya hayatnya ia harus
memendam cita-citanya! Terima kasih Bung Hatta!
Salam bela negara dengan tidak korupsi,
Dikutip dari berbagai sumber.
http://nusantaranews.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar