Kerta negara (3)
2. Pendekatan Antropolitik Atas Pemerintahan Raja Kertanagara
Sebagaimana diulas diatas, pemerintahan raja Kertanagara menurut
Kidung Harsawijaya dibenci oleh para pembesar zaman Wisnuwardhana karena
dipecat oleh Kertanagara akibat mereka menentang politik perluasan
cakrawalamandala. Dendam kesumat ini menurut Kidung Panji Wijayakrama
menimbulkan pemberontakan-pemberontakan politik atas pemerintahan
Kertanagara. Walaupun dapat dipadamkan secara militer, secara ideologi
kebencian itu mendarah daging dalam hati lawan politik Kertanagara.
Kebencian dan dendam memuncak dengan pemberontakan Jayakatwang atas
hasutan Dyah Wiraraja adipati Sumenep (Negarakretagama pupuh 44/4)
dalang intelektual kejatuhan Kertanagara.
Bagaimana kiranya
sebab-musabab perlawanan ini lahir dari mikro menjadi makro hanya dapat
dilihat dari pendekatan antropolitik atas pemerintahan raja Kertanagara.
Dengan kata lain memandang pola kebijakan politik raja Kertanagaralah
sebagai sebab kemunculan tindakan kontra-politik mikro yakni
pemberontakan Mahisa Rangga serta Caya Raja (Negarakretagama pupuh 41/5)
atau Kalana Bhaya (Paraton) yang berhasil dipadamkan Kertanagara
menjadi tindakan kontra-politik makro yang akhirnya meruntuhkan
kekuasaannya. Dengan kata lain, pendekatan antropolitik mengasumsikan
bahwa perlawanan politik mikro dan makro itu adalah bentuk lain dari
peribahasa senjata makan tuan.
Dikatakan demikian, walaupun
Kertajaya melaksanakan politik perkawinan dengan Jayakatwang dengan
harapan mempererat tali kekeluargaan antara Singasari-Kediri, melalui
perkawinan antara anak Kartanagara dan Ardhraja anak Jayakatwang tidak
menyebabkan dendam kesumat itu reda. Solusi Kertanagara adalah solusi
politis jangka pendek yang hanya menyelesaikan masalah dalam interval
waktu singkat dan tidak memberikan solusi jangka panjang.
Pendekatan antropolitik, menguraikan pola pemerintahan Kertanaga secara
kausal dari dalam personalitas-religius independensi raja Kertanagara,
sebagai penyebab dari keruntuhan kerajaannya sendiri, yakni:
a. Sikap Ahangkara
Telah dijelaskan dimuka tentang dasar pikiran raja Kertanagara
sebagai titisan Jina di kerajaan Singhasari. Terbukti bahwa sebagai Jina
beliau tidak hanya menguasai kekuatan gaib di semesta alam, tetapi juga
menguasai kerajaan secara nyata. Kekuasaan rohaniah dan lahiriah yang
terdapat pada satu orang itu pasti saling mempengaruhi.[43]
Demikianlah, dapat diharapkan bahwa dasar pikiran raja Kertanagara
sebagai Jina juga mempengaruhi politik kenegaraan yang dipeganggnya.
Sebagai Jina yang menguasai kekuataan gaib di semesta alam, ia merasa
kuat dan mampu menghindarkan segala bencana. Sebagai raja yang secara
positif menguasai orang-orang di Keraton dan diwilayah Singasari, ia
merasa orang yang tertinggi.
Demikianlah dalam Kidung Panji
Wijayakrama dan Pararaton kita dapati peristiwa sejarah tentang
pemecatan mahamantri patih Raganata, seorang yang bijak lagi cakap dalam
melaksanakan tugasnya. Namun umurnya sudah lanjut. Oleh Wiraraja,
bupati Sumenep, patih dongkol Raganata disamakan dengan harimau krepuk
atau harimau tua. Mahamantri empu Raganata selalu memberikan
nasihat-nasihatnya kepada sang prabu. Segala kesulitan dalam menjalankan
pemerintahan secara jujur dikemukan. Tindakan-tindakan yang demikian
itu tidak disukai oleh batara Siwa Buddha, kahngkaraneng bhumi. Epiteton
itu mengandung pengertian bahwa raja Kertanagara mengagungkan
kekuatannya sendiri. Ia sadar bahwa ia menguasai kekuatan gaib.
Akhirnya, mahamantri Raganata berhenti dari jabatannya sebagai patih,
dan diangkat menjadi adhyaksa di Tumapel. Pengarang Panji Wijayakrama
itu melanjutkan uraniannya, bahwa raja Kertanagara bersikap ahangkara
atau angkuh terrhadap siapapun juga. Artinya, ia tidak takut menghadapi
siapa pun juga. Dalam hal ini, sikap ahangkara itu ditujukan kepada
mahamantri bijak empu Raganata yang telah berusia lanjut. Sudah pasti
ada sebabnya, mengapa raja Kertanagara serta merta menghentikan patihnya
dan menggantikannya dengan Mahisa Anengah dan Apanji Angragani. Pada
saat pemecatan itu, raja Kertanagara merasa seakan-akan disiram
kejahatan atau bermandi kejahatan, heran mengapa empu Raganata terlalu
menurutkan nafsunya, terlalu mementingkan kedudukannya. Yang terang
ialah bahwa raja Kertanagara tidak dapat menerima keberatan-keberatan
yang dikemukakan oleh Mpu Raganata.
Sikap ahangkara itu
ditunjukkan pula oleh raja Kertanagara kepada Kaisar Tiongkok Kubhilai
Khan. Dalam bidang politik, raja Kertanagara ingin menguasai Nusantara.
Sejak tahun 1275 Masehi (menurut Negarakretagama), ia telah mulai dengan
pengiriman tentara keluar Jawa. Sikap ahangkara itu semakin membuncah
pada saat utusan Kaisar Khan, Meng Ki mengirim surat perintah tunduk
kepada raja Kertanagara. Dibalasnya surat itu dengan menyuruh memahatkan
surat balasan Kertanagara pada kepala Meng Ki. Itulah sekedar contoh
sikap ahangkara raja Kertanagara. Ia terlalu mengagungkan kekuasaannya
sebagai Jina dan sebagi raja. Ia tidak takut kepada siapapun. Juga tidak
takut kepada kekuasaan kaisar Tiongkok.
b. Hubungan antara Kubhlai Khan dengan Kertanagara
Setelah kaisar Kubhilai Khan melihat utusannya kembali dengan
tulisan diatas dahinya, ia sangat marah. Kemudian ia menyiapkan
tentaranya yang terdiri dari orang Mongolia untuk menyerbu Singasari.
Ekspedisi terjadi pada tahun 1292. demikianlah pengiriman tentara
Mongolia itu pada hakikatnya tidak ada hubungannya dengan undangan
adipati Wiraraja dari Sumenep untuk menolong Raden Wijaya dalam
memerangi raja Jayakatwang di Kediri, seperti diuraikan dalam Kidung
Panji Wijayakrama dan Kidung Harsa Wijaya. Mereka datang di Jawa untuk
menghukum raja Kertanagara atas penghinaan terhadapnya, dan memaksanya
untuk tunduk kepada kehendak kaisar Kubhilai. Tentara Kubhilai itu dalam
Negarakretagama, Pararaton, Kidung Harsa Wijaya dan Panji Wijayakrama
disebut tentara Tartar. Tentara itu jelas bukan tentara Tionghoa.[44]
c. Politik Perkawinan dan Gagasan Cakrawalamandala
Dalam Record[45], karangan pendeta Buddha I-tsing dari Kanton,
bahwa pelabuhan Melayu alias Jambi dalam abad ke-7 adalah pelabuhan
penting untuk lalu lintas kapa-kapal yang berlayar dari dan ke Tiongkok.
Boleh dipastikan bahwa pelabuhan itu dalam abad ke-13 masih mempunyai
kedudukan yang sangat penting untuk lalu lintas kapal yang berlayar dari
dan ke Tiongkok. Demikianlah pelabuhan Melayu itu banyak dikunjungi
oleh perahu-perahu Tiongkok, perahu-perahu kaisar Kubilai. Pelabuhan
Melayu menguasai pelayaran di Selat Malaka dan merupakan pangkalan untuk
perluasan pengaruh Tiongkok di negeri selatan. Hal itu diketahui benar
oleh raja Kertanagara. Maka, raja Kertanagara mengerahkan segala
kekuatan tentara Singasari unruk merebut kekuaasaan di negeri Melayu
pada tahun 1275, ketika kaisar Kubilai masih sibuk dengan usahanya
menguasai Tiongkok. Diuraikan dalam Kidung Panji Wijayakrama, bahwa
akibat pengerahan tentara ke negeri Melayu, melalu pelabuhan Tuban.
Mereka diantar oleh patih Mahisa Anengah dan Panji Angragani. Tidaklah
benar uraian Kidung Harsa Wijaya, bahwa pamalayu itu digerakkan oleh
keinginan merebut putri Melayu yang akan dikawinkan dengan Raden Wijaya.
Sudah pasti bahwa raja Kertanagara mendengar berita-berita tentang
serbuan tentara Mongolia di negeri Annam dan Campa antara tahun 1280 dan
1287. serbuan tentara Mongolia itu menyebabkan usaha raja Kertanagara
memperkuat pembinaan persahabatan dengan negeri Melayu yang telah
dikuasainya. Pada suatu saat, negeri Melayu pun akan menjadi sasaran
serangan tentara Kubilai. Demikianlah pada tahun 1286, berdasarkan
prasasti Amoghapasa, raja Kertanagara mengirim arca Amoghapasa sebagai
hadiah kepada raja Melayu Warrmadewa. Kedatangan arca itu diantar oleh
pelbagai pembesar pemerintahan dari kerajaan Singasari. Pemberian arca
itu dapat ditafsirkan sebagai pemberian çakti kepada raja Melayu.
Pemberian çakti itu mengandung arti memperkokoh persahabatan untuk
mengahadapi kemungkinan serangan tentara Kubilai dari Tiongkok.
Demikianlah raja Kertanagara berusaha membendung pengaruh Kubilai, agar
jangan sampai menjalar ke wilayah Nusantara. Untuk tujuan yang sama,
raja Kertanagara mengirimkan putrinya, Dewi Tapasi, untuk dikawinkan
dengan raja Campa. Campa dengan ibukotanya Panduranga merupakan benteng
pertama untuk membendung pengaruh kekuasaan Kubilai. Agar jangan timbul
kekeruhan dalam negeri selama tentara Singasari bertugas di negeri
Melayu, Ardaraja pangeran dari Kediri, diambil menantu oleh Kertanagara,
serta raden Wijaya, panglima perang Singasari, dipasangkan dengan dua
orang putrinya.
Bila dilihat lebih dalam gagasan
cakrawalamandala Kertanagara sebagai usaha membendung hegemoni Kubilai
atas Asia umumnya dan Asia Tenggara khususnya akan lebih berdasar dan
bersumber pada watak ahangkara raja Kertanagara. Beliau sadar akan
keagungan dan kekuasaannya. Tidak mau menyerah mentah terhadap kaisar
Kubilai. Kesadaran akan keagungan itu menimbulkan keberanian untuk
menanggulangi kekuasaan dan nafsu menjajah kaisar Kubilai di wilayah
Nusantara. Dalam Negarakretagama pupuh 44/3, hanya dinyatakan bahwa
semua raja-raja sampai Nusantra tunduk kepada cicit batara Girinata,
yakni Sri Kertanagara. Dalam Panji Wijayakrama, tidak disebutkan
kekuasaan raja Kertanagara didaerah seberang. Yang tersebut dalam pupuh
VII/153 ialah kekuasaan raja Kertarajasa Jayawardana setelah pengusiran
tentara Tartar dan sekembalinya tentara Singasari dari Melayu di bawah
pimpinan Kebo Anabrang. Sedangkan politik perkawinan Kertanagara, baik
kedalam mandala Singasari dan keluar, bukanlah usaha membendung hegemoni
Kubilai melainkan sebagai upaya peredam kemungkinan pemberontakan.
Demikianlah landasan politik perkawinan didalam negeri merupakan
persiapan keamanan kerajaan, penegelakan pemberontakan.[46]
d. Ekspedisi Pamalayu
Ekspedisi Pamalayu merupakan manifestasi gagasan cakrawalamandala
raja Kertanagara sebagai bumper atas hegeomoni Kubilai di Asia Tenggara.
Negarakretagamai pupuh 41/5 menyebut pengiriman tentara oleh
Kertanagara untuk menaklukkan Melayu pada tahun Saka 1197 atau tahun
Masehi 1275. Pada pupuh 42/1, Negarakretagama kembali menyebutkan
pengiriman kembali tentara Singasari atas perintah Kertanagara untuk
menaklukkan Bali. Ekspedisi kedua ini berhasil dan mengantarkan raja
Bali sebagai tawanan perang.[47] Dilihat dari sudut antropolitik, secara
jangka pendek raja Kertanagara sepintas berhasil melaksanakan politik
cakrawalamandala namun bila dilihat efek politik terhadap stabilitas
dalam negeri negatif karena bermunculan pemberontakan mikro (Mahisa
Rangga dan Cayaraja) serta pemberontakan makro (Jayakatwang).
e. Pemberontakan (Mikro-Makro) Atas Raja Kertanagara Sebagai Kausal Keruntuhan Singasari
Telah dijelaskan secara singkat diatas bahwa ekspedisi Pamalayu
rancangan raja Kertanagara menimbulkan tindakan kontra-politik sejak
ekspedisi itu masih berupa gagasan perluasan cakrawalamandala.
Tindakan-tindakan kontra politik yang dilakukan para wreddha menteri
menyebabkan mereka harus rela dilengserkan oleh raja Keranagara keposisi
yang lebih rendah. Berita Kidung Harsa Wijaya dan Kidung Panji
Wijayakrama menguaraikan pemecatan para wreddha mantri yang dimulai dari
pemecatan patih Raganata, demung Wiraraja, dan tumenggung Wirakreti.
Pengalihan posisi dari para wreddha menteri ke para yuwa menteri itu
menyebabkan nestapa dalam hati pujangga Santasemereti, sehingga ia
memutuskan untuk meninggalkan pura keraton Singasari dan memilih bertapa
di hutan.
Tak ayal pemecatan itu menimbulkan pemberontakan
dari orang dalam keraton yang tidak terima atas keputusan sang prabu,
pemberontakan Cayaraja/Baya/Bhayangkara pada tahun Saka 1192 atau 1280
Masehi. Slamet Muljana menafsirkan pemberotakan ini sebagai
pemberontakan atas pemecatan Mpu Raganata dan para wreddha menteri
lainnya sebab mengingat makna literer cayaraja adalah “bayang-bayang
raja atau pelindung raja”, bhaya adalah singkatan dari bhayangkara yang
berarti “pelindung, penjaga keselamatan.”[48]
Pemberontakan
tak hanya berhenti sebelum ekspedisi Pamalayu dijalankan, lima tahun
setelah tentara Singasari menyerang Melayu, yakni tahun 1280. Mahisa
Rangka memberontak kepada Kertanagara, pemberontakan ini jika secara
jumlah fisik merupakan pemberontakan mikro namun dari segi politik,
pemberontakan ini merupakan kontinuitas dari pemberontakan Cayaraja.
Skala pemberontakan yang semakin membesar bukannya membuat
Kertanagara sadar akan kekeliruan kebijakan politik yang ia ambil malah
ia semakin bertindak gegabah dengan mengirimkan kembali pasukan
Singasari untuk menaklukkan Bali. Sejak pengiriman pasukan Singasari
pertama ke Melayu kekuatan militer penjaga keraton di Singasari telah
menipis apalagi ditambah pengiriman tentara Singasari ke Bali.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Wiraraja, menurut Kidung Panji
Wijayakrama segera ia mengutus Wirondaya untuk mengirimkan surat kepada
Jayakatwang penguasa Gelang-Gelang yang berisi hasutan bahwa inilah
momentum tepat untuk menyerang Singasari karena tak ada lagi pelindung
militer disekeliling Kertanagara yang ada hanya “harimau tua,” Mpu
Raganata.
Walaupun ekspedisi ke Bali berhasil, namun tidak
dengan perlindungan raja Kertanagara di Singasari sendiri. Taktik dua
arah yang dilancarkan Jayakatwang atas Singasari. Kertanagara gugur dan
mengakhiri dinasti Rajasa Singasari.
3. Pendekatan Sosiokultural Atas Pemerintahan Raja Kertanagara
Uraian dari pendekatan antroreligi dan antropolitik diatas telah
cukup menggambarkan watak sosial raja Kertanagara. Sifat ahangkara yang
berlebihan atas pentahbisannya sebagai Jina melahirkan paradoks,
alih-alih Kertanagara ingin menunjukkan kekuatan dan keagungannya
(majestas) sebagai raja ternyata malah melahirkan sikap egoisme yang
justru akhirnya menciptakan determinan antara dirinya dengan para
pembesar-pembesar andalnya.
Pemecatan para wreddha mantri
manimbulkan kebencian dihati rakyat, yang kemudian menimbulkan
pemberontakan-pemberontakan baik mikro maupun makro. Secara sosial,
Kertanagara mempersempit ruang gerak publik dan merampas hak bersuara
dan mengeluarkan pendapat dikalangan warganya.[49] Bukannya menanggapi
dengan memberikan alasan logis, malah ia semakin menunjukkan gelagai
kediktatoran dengan memecat para punggawa ahli keraton.
Gagasan cakrawalamandala yang terwujud dalam ekspedisi Pamalayu
menimbulkan kekhawatiran dalam diri para wreddha mantri akan timbulnya
pemberontakan berskala besar. Tanggapan Kertanagara atas permasalahan
ini hanya berupa tindakan solusi politik jangka pendek yaitu perkawinan
politik.
Jelasnya, keruntuhan Singasari disebabkan oleh
tindakan gegabah raja Kertanagara, hilangnya simpati rakyat atas
pemerintahan yang dikendalikannya serta semakin menipisnya kekuatan
militer pelindung keraton Singasari. Terlepasnya Kertanagara dari makna
kultural yang seharusnya menjadi landasan pijakan membuatnya lari
terlalu jauh dari garis lingkar konsensus hukum agama Hindu-Buddha
sebagai patokan hukum sosiokutural Sehingga memudahkan pemberontak untuk
menaklukkan Kertanagara baik dari segi politik, religi, dan sosial.
1. Kesimpulan
Kerajaan Singasari masa pemerintahan raja Kertanagara jika dilihat
dari sudut pandang antropologi dari prespektif antroreligi,
antropolitik, dan sosikultural melahirkan tiga kesimpulan, yaitu:
Pertama
: Secara antroreligi, masa pemerintahan Kertanagara pada abad
ke-13 tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ajaran tantrisme Vajrayana
yang disebutkan dalam Negarakretagama pupuh 43/3 sebagai Tantra
Subuthi. Aliran ini dipeluk oleh Kertanagara dan melegitimasikan dirinya
sebagai Jina, Wairocana-Locana serta Ardhanaresvara.
Kedua
: Secara antropolitik, raja Kertanagara adalah raja yang seringkali
mengambil kebijakan politik out of state dari pada in of state.
Kertanagara selalu memandang bahwa ancaman negara Singasari berasal dari
luar (Mongolian Empire) dan tidak mengindahkan bahaya dari dalam negeri
(Pemberontakan Jayakatwang).
Ketiga : Secara
sosiokultural, masa pemerintahan raja Kertanagara adalah masa
kegemilangan secara politik (ekpedisi Pamalayu) namun meninggalkan ironi
dalam hubungan sosiokultural. Walaupun Kertanagara ditahbiskan sebagai
Jina, bukannya menerapkan dharma kebuddhaan dengan mengayomi rakyat
melainkan semakin mempersempit ruang gerak publik dengan merampas hak
mengutarakan pendapat rakyatnya.
2. Saran
Melihat
kesimpulan kajian antropologi atas pemerintahan raja Kertanagara atas
Singasari diatas baik secara antroreligi, antropolitik, dan
sosiokultural. Maka kami hanya ingin menyarankan untuk tidak mengulangi
pola pemerintahan seperti masa raja Kertanagara yang terlihat jaya
diluar negara namun bobrok dalam konsolidasi sosial sebagai bangsa dan
negara yang berdaulat. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan
terutama para pemimpin politik tanah air.
Sumber: http://amanahrakyatindonesia.blogspot.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar