Minggu, 17 Oktober 2010

Sebuah Koreksi Pada Pemikiran Islam Liberal

23 August 2010
  1. Islam itu Rahmatan lil ‘alamin, artinya membawa kebaikan bagi seluruh alam. Bagaimana rasionalnya? Apa jika seluruh umat Islam sudah mau shalat semua kemudian tercipta rahmat pada alam itu? Atau semua orang Islam harus menjadi kaya raya dulu lalu kemudian datang kebaikan pada alam semesta? Apa ajaran Nabi Muhammad SAW memang begitu? Banyak orang Islam di zaman nabi belum utuh shalatnya, juga masih banyak umat masa itu yang tidak menjadi konglomerat, tetapi jelas bahwa Islam telah mendatangkan kondisi kebaikan luar biasa pada wilayah Mekah-Medinah dan sekitarnya yang akhirnya menstimulir terbentuknya peradaban mulia di dunia?
  2. Penjelasan rasionalnya adalah: “Islam itu akan mendatangkan rahmat bagi alam semesta jika wilayah/alam itu dikelola secara Islami”. Rahmat bagi alam itu hadir tatkala pengelolaan dunia menggunakan tuntunan Allah swt terkait pengelolaan dunia itu sendiri.  Sebaliknya dunia akan rusak dan masyarakat manusia akan terpuruk jika pengelolaan dunia mengabaikan tuntunan Islam yang terkait masalah pengelolaan dunia, bukan terkait masalah ritual atau pengelolaan keluarga. Walau semua orang Islam sudah shalat (suatu yang utopis bukan?) namun jika pengelolaan negara tidak menggunakan cara Islam pasti negara dan masyarakat di dalamnya tetap akan penuh dengan pertikaian-kerusakan-kebatilan. Rahmat tidak akan hadir pada alam ini. Jadi datangnya Rahmat pada Alam tidaklah terkait dengan Ritual Islam maupun Cara  berKeluarga Islam tapi terkait dengan Politik Islam. Ritual Islam dan berKeluarga Islam bisa mendatangkan kemanfaatan pada lingkup individu dan keluarga sedang Politik Islam (atau juga sering disebut sebagai Islam Politik) akan mendatangkan kemanfaatan pada dunia yang dikelola oleh Politik Islam itu.
  3. Pemahaman kelompok Islam Liberal dan Sekuler tentang agama Islam sungguh bertolak belakang dengan paradigma Islam tersebut di atas. Islam dianggap hanya mengajarkan cara beritual, bagian dari ajaran Islam yang oleh mereka masih (lumayan) diakui keberadaannya, sedang diluar itu Islam dianggap tidak mengajarkan konsep cara menjalani kehidupan, apakah cara berkeluarga dan berbangsa-bernegara. Mereka berpendapat bahwa Cara berkeluarga dan bernegara berada di luar ranah agama Islam (kalau pandangan agama lain tentu bukan urusan orang Islam) dan boleh seenaknya dikemas menurut hasrat pribadi. Pemikiran seperti ini jelas sesatnya karena bertentangan dengan al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
  4. Kehadiran Rasulullah yang  berhasil secara nyata mendatangkan rahmat pada wilayah dan masyarakat Mekah-Madinah dan sekitarnya terjadi karena Rasulullah mengetrapkan syariat Islam terkait pengelolaan wilayah dan Negara sewaktu beliau menjadi Kepala Negara di sana. Tatkala Rasulullah masih mengajarkan Ritual Islam dan berkeluarga Islam di Mekah selama 13 tahun, di penghujung masa itu kondisi wilayah dan masyarakat Mekah tetap rusak, perempuan dihinakan, bayi perempuan dibunuh hidup-hidup, kriminal merajalela, akhlak penduduk hancur, kemaksiatan marak, ekonomi penduduk bangkrut sarat ketimpangan oleh penindasan dan  praktek eksploitasi. Ritual dan berkeluarga melulu tidak akan menghantar datangnya rahmat pada alam. Politik Islamlah yang akan menghantar datangnya Rahmat bagi alam.
  5. Paradigma bahwa Islam mendatangkan rahmat bagi alam semesta juga tidak boleh disempitkan maknanya dalam skala individual. Tatkala seorang sopir muslim memberi sedekah pada peminta di jalan raya jelas itu bukan yang dimaksud dengan konsep bahwa “Islam itu Rahmat bagi Alam Semesta” karena agama si sopir bisa apa saja, bahkan orang atheispun bisa melakukan itu. Tatkala ada kecelakaan menimpa seseorang, atau bahkan tatkala ada pesawat jatuh lalu orang ramai menolong korban juga belum masuk kategori bahwa “Islam itu Rahmatan lil ‘Alamin” karena siapapun yang masih punya nurani akan melakukan hal yang sama. JANGAN SEKALI-KALI MENGKERDILKAN MAKNA SEBENARNYA DARI “ISLAM ITU RAHMATAN LIL ‘ALAMIN” apalagi jika pengkerdilan itu dilakukan hanya untuk menutupi kehendak syahwat politik yang menjadi lawan politik Islam.
  6. Kalau di masa Rasulullah praktek Politik Islam itu diterapkan di Negara Madinah, maka bagi umat Islam Indonesia harusnya pengetrapan Politik Islam dilakukan di negeri ini agar Indonesia bisa segera menjadi maju seperti Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Tapi anehnya mengapa justru banyak tokoh Islam dan ulama Islam Indonesia yang menolak Politik Islam dan malah berfihak atau mendukung Politik Sekuler? Astaghfirullah. Mereka senangnya hanya pada Ritual Islam belaka dan Politiknya menganut Politik Ghoirul Islam, politik yang membuang ajaran Islam terkait masalah sosial-kenegaraan. Akibatnya sudah bisa dirasakan saat ini, kekayaan alam bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim itu semakin menipis terhisap oleh rekayasa ekonomi orang lain, akhlak bangsa semakin rusak, ekonomi bangsa terpuruk-puruk, kriminalitas tinggi, kemaksiatan merajalela, utang menumpuk. Ironisnya lagi, justru ketaatan Ritual Islam umat Islam Indonesia sendiri malah terus merosot, proporsi pemeluk Islam di negeri ini juga semakin rendah. Tokoh dan ulama Islam yang berpandangan sempit semacam itu pasti harus bertanggung jawab di hadapan Allah SWT nanti di alam barzah karena terjerembabnya Islam dan umat Islam di negeri ini.
  7. Politik Islam di Indonesia sesungguhnya sudah hadir sejak menjelang dan awal kemerdekaan negeri ini. Berdirinya Masyumi, NU, PSII,  Perti yang merupakan Partai Politik berasas Islam menunjukkan tingginya kesadaran tokoh/ulama Islam untuk mengusung Politik Islam, bukan berislam hanya ritualnya belaka. Politik Islam yang bermakna berpolitik sesuai ajaran Islam (sedang Ritual Islam adalah beritual sesuai ajaran Islam) mengandung misi utama “MENGELOLA NEGERI SESUAI SYARIAT SOSIAL-KENEGARAAN ISLAM”. Politik Islam tentunya harus diperjuangkan oleh WADAH POLITIK (PARTAI POLITIK)  yang berASAS Islam. Mana bisa wadah politik yang tidak berasas Islam mampu mengarah pada perjuangan untuk mengelola Indonesia sesuai syariat Islam? Wadah yang tidak berasas Islam (wadah ‘netral’) semacam itu akan tidak memiliki legitimisasi keIslaman dalam politik formal, walau dibentuk oleh komunitas muslim atau Ormas Islam sekalipun, sehingga akan kehilangan acuan Islam dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan nasionalnya. Wadah tidak berasas Islam  seperti itu mudah TERSERET ATAU DIBELOKKAN  MENDUKUNG KE POLITIK SEKULER YANG MENJADI LAWAN IDEOLOGI ISLAM. Apakah umat Islam Indonesia belum juga sadar sehingga terus memilih-mendukung Partai Sekuler, bukan Partai Islam? Semoga Ramadhan kali ini lebih membuka hati nurani umat, khususnya tokoh/muballigh/ulama Islam. Amien.
Sumber: fuadamsyari.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails