Minggu, 17 Oktober 2010

Umat Islam, Dimanakah (Iman) Kalian?

Sebuah inspirasi dari Kitab Al-Iman Sahih Bukhari

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada sebagian hamba-Nya yang berusaha untuk bersungguh-sungguh berjalan di atas jalan-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi termulia dan manusia yang paling luhur akhlaknya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga semoga keselamatan juga tercurah kepada para sahabatnya dan pengikut-pengikut mereka yang setia di atas jalan mereka. Amma ba’d.


Saudara-saudaraku -yang kucintai karena Allah- apabila kita melihat kondisi kaum muslimin dewasa ini, maka dada kita akan merasa sesak dan kepala kita akan pusing tujuh keliling. Mengapa demikian? Bukan karena kaum muslimin miskin harta, bukan karena kaum muslimin tidak memiliki bangunan yang megah dan mewah, bukan karena kaum muslimin tidak banyak jumlahnya, bukan juga karena negara-negara mereka tidak punya bala tentara dan beraneka ragam senjata. Namun, yang membuat hati kita sedih adalah ketika banyak sekali kita saksikan di antara umat Islam di negeri ini yang masih terjebak di dalam praktek-praktek penyimpangan dari jalan Rabb mereka.

Apakah hal itu sesuatu yang penting? Sebuah pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan. Tengoklah ke belakang beberapa tahun yang silam. Ada sebagian di antara kaum muslimin yang masih doyan dan ketagihan melakukan judi togel dan menenggak miras/minuman keras di mana-mana. Begitu pula kaum mudanya tenggelam dalam hura-hura dan foya-foya mengumbar nafsu tanpa kendali agama. Tidak kalah pula kaum wanitanya yang dengan suka rela bahkan bangga dan gembira mengumbar aurat mereka di layar-layar kaca, di lembaran tabloid dan media cetak lainnya. Subhanallah! Di manakah kaum muslimin ketika itu? Belum lagi kaum laki-lakinya yang sering meninggalkan shalat bukan karena alasan yang dibenarkan syari’at. Boro-boro shalat jama’ah di masjid, shalat saja mereka malasnya bukan main, Allahu akbar! Di manakah kaum muslimin ketika itu?

Saudaraku sekalian -semoga Allah mencurahkan hidayah dan taufik-Nya kepada bangsa ini- kehancuran akhlak suatu negeri merupakan malapetaka yang akan meruntuhkan sendi-sendi peradaban dan kemuliaan suatu masyarakat, di mana pun mereka berada. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kalau seandainya para penduduk negeri-negeri itu mau beriman dan bertakwa niscaya Kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan dari bumi. Akan tetapi mereka justru mendustakan, maka Kami pun akan menyiksa mereka akibat pendustaan yang mereka lakukan.” (QS. Al-A’raaf : 96).


Apakah yang dimaksud iman?

Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah meneguhkan kita di atas kebenaran- iman bukan hanya di lisan. Iman meliputi keyakinan kuat yang tertancap di dalam hati, terucapkan dengan lisan dan diikuti dengan ketundukan gerak-gerik anggota badan. Bukankah kita semua telah mengetahuinya? Iman adalah sumber kebahagiaan hidup kita dan kunci kesuksesan umat manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya semua manusia benar-benar berada di dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-’Ashr : 1-3).
Amal nyata dengan anggota badan merupakan bukti keimanan. Barangsiapa yang menganggap bahwa amal bukan bagian dari keimanan maka dia telah terjerumus dalam pemikiran sesat ala murji’ah yang dicela oleh para ulama dan telah dibongkar penyimpangannya oleh mereka. Bukhari rahimahullah mengatakan bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan, ia bisa mengalami peningkatan, sebagaimana ia juga bisa mengalami penurunan (lihat Sahih Bukhari, hal. 14).

Bukhari rahimahullah juga membawakan riwayat untuk kita cermati bersama, dari Abu Hurairah radhiyalahu’anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari enam puluh lebih cabang, dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Bukhari [9]).

Bukhari juga memberitakan kepada kita bahwa hakikat keislaman kita tidak hanya terhenti dalam pengakuan di mulut atau coretan di atas kertas semata. Beliau menuliskan sebuah bab di dalam Kita Al-Iman di dalam Sahihnya dengan judul ‘Seorang muslim itu adalah sosok manusia yang orang muslim yang lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya’ kemudian beliau membawakan riwayat dari Abdullah bin Amr bin Al-’Ash radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik itu adalah orang yang muslim yang lainnya merasa aman dari gangguan lisan dan tangannya, dan orang yang benar-benar berhijrah itu adalah yang rela meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari [10]).

Bahkan keislaman yang paling baik hanya akan diraih oleh orang yang menjaga lisan dan tangannya untuk tidak menzalimi kaum muslimin. Abu Musa radhiyallahu’anhu mengatakan; para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, keislaman seperti apakah yang paling utama?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu -keislaman pada diri- orang yang kaum muslimin yang lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari [1]).

Iman bukan dengan jiwa yang kikir dan bakhil serta merendahkan orang lain, akan tetapi iman akan muncul dalam bentuk kedermawanan dan kesopanan. Itulah keislaman yang terbaik dan patut untuk kita gembar-gemborkan. Abdullah bin Amr bin Al-’Ash radhiyallahu’anhuma menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam bagaimanakah yang terbaik?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu kamu memberikan makan kepada orang yang membutuhkan dan menyebarkan salam kepada [sesama muslim] yang kamu kenal maupun tidak kamu kenal.” (HR. Bukhari [12,28]).

Iman tidak hanya berhenti di dalam dada, akan tetapi ia akan melahirkan kesadaran dan ketulusan hati mencintai kebaikan bagi saudara-saudaranya. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak [sempurna] iman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai [kebaikan] bagi saudaranya sebagaimana yang dia senangi untuk dirinya sendirinya.” (HR. Bukhari [13]). Dan yang lebih penting daripada itu semua, keimanan akan melahirkan perasaan cinta yang sangat dalam di dalam hati seorang insan kepada Nabi akhir zaman di atas kecintaannya kepada semua manusia. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menginformasikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua ataupun anak-anaknya, bahkan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari [15]).

Iman memiliki rasa manis yang akan bisa dirasakan oleh orang-orang yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya, mengikhlaskan cintanya karena Allah dan membenci kekafiran kepada-Nya. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu memberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan bisa merasakan manisnya iman. [1] Allah dan rasul-Nya menjadi yang paling dicintainya daripada selain keduanya, [2] tidaklah dia mencintai orang lain kecuali karena dorongan kecintaan kepada Allah, [3] dia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana orang yang benci apabila hendak dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari [16]).

Seorang yang beriman tidak akan menaruh rasa curiga dan benci kepada para pendahulu mereka yang salih yang telah mendapatkan janji surga dari Allah subhanahu wa ta’ala. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda keimanan adalah cinta kepada kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari [17]).

Seorang yang beriman tidak akan menghalalkan kedustaan dan pengkhianatan. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga; apabila berbicara dia suka berdusta, apabila membuat perjanjian maka dia suka menyelisihi, dan apabila diberikan kepercayaan maka dia berkhianat.” (HR. Bukhari [33]).

Shalat juga merupakan pilar penting keimanan. Bukhari rahimahullah mengatakan, “Shalat adalah bagian dari iman…” (Sahih Bukhari, hal. 21). Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menceritakan bahwa suatu ketika Jibril dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang iman, islam dan ihsan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iman adalah kamu mengimani Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, perjumpaan dengan-Nya, para rasul-Nya, dan kamu beriman kepada adanya hari kebangkitan.” “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya [dalam beribadah], kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat yang harus diberikan, dan kamu berpuasa Ramadhan.” “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, kalau kamu tidak bisa [beribadah] seolah-olah melihat-Nya maka yakinilah bahwa Dia selalu melihat dirimu.” (HR. Bukhari [50]).

Oleh sebab itu, saudara-saudaraku sekalian di manakah keimanan kita tatkala sebagian di antara kita melalaikan kewajiban-kewajiban mereka dan menerjang larangan-larangan Allah ta’ala? Apakah dengan keimanan yang begitu rendah kita layak mendapatkan limpahan keberkahan dari langit dan bumi -sebagaimana yang Allah janjikan-? Kalau bukan karena kasih saying Allah tentunya kita sudah binasa. Kalau bukan karena rahmat-Nya tentu cengkeraman syaitan telah mencabik-cabik hati dan melumpuhkan langkah-langkah kita untuk menggapai ridha-Nya.


Jangan ikuti langkah-langkah mereka!

Ingatlah wahai saudara-saudaraku, keimanan kita menuntut kita untuk senantiasa mendekatkan diri dan menuruti bimbingan Allah ta’ala, bukan justru mendekatkan diri kepada Iblis dan kaki tangannya dan taklid kepada rayuan dan tipu daya mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang halal dan baik-baik dari apa yang ada di bumi ini dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya dia adalah musuh kamu yang sangat nyata. Sesungguhnya dia hanya menyuruh kalian untuk mengerjakan perbuatan jelek dan kekejian, serta untuk mengucapkan apa-apa tentang [agama] Allah dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Baqarah : 168-169).

Allah ta’ala juga memerintahkan kita untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Allah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah : 208). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya dia selalu memerintahkan perkara yang keji dan mungkar. Kalaulah bukan karena karunia Allah kepada kalian niscaya tidak ada seorangpun yang tersucikan selama-lamanya. Akan tetapi Allah berkenan untuk menyucikan [sebagian] orang yang Allah kehendaki, Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nuur : 21).


Bertakwalah kepada-Nya!

Saudaraku sekalian -semoga Allah mengokohkan iman dan menyuburkan ketakwaan kita- ketakwaan merupakan anugerah yang terindah pada diri umat manusia. Dengan takwa itulah dia akan meraih ketinggian dan kemuliaan derajat di sisi-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat : 13).

‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu mewasiatkan kepada puteranya Abdullah, ”Amma ba’du. Aku mewasiatkan kepadamu untuk bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, karena barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjaganya. Dan barang siapa yang meminjamkan hartanya di jalan Allah, Allah pasti membalasnya. Barang siapa yang bersyukur kepada-Nya pasti diberikan tambahan nikmat oleh-Nya…” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 210. Cet. Darul Hadits).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu memberikan wasiat kepada seorang panglima yang diutusnya untuk memimpin sebuah pasukan perang, ”Aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla Dzat yang pasti akan kau temui serta tidak ada akhir hidupmu kecuali menghadap kepada-Nya. Padahal Dia lah yang menguasai dunia dan akhirat” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 210. Cet. Darul Hadits).

‘Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada seseorang yang isinya, ”Aku wasiatkan kepadamu untuk bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, itulah syarat amalan yang akan diterima oleh-Nya. Dan tidak akan mendapatkan rahmat-Nya kecuali orang yang melaksanakannya. Dan tidaklah Allah memberikan pahala untuk sesuatu selain pada jalur ketakwaan kepada-Nya. Sesungguhnya banyak orang yang memberikan nasihat untuk bertakwa, akan tetapi betapa sedikit orang yang bisa mengamalkannya. Semoga Allah menjadikan saya dan kamu termasuk orang-orang yang bertakwa” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 210. Cet. Darul Hadits)

Hasan Al Bashri mengatakan, ”Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjaga dirinya dari hal-hal yang Allah haramkan kepada mereka serta mereka melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan kepada mereka.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 208. Cet. Darul Hadits).

Thalq bin Habib mengatakan, ”Takwa adalah engkau mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan berdasarkan pancaran cahaya dari Allah (ilmu) karena mengharapkan pahala dari Allah. Dan engkau pun meninggalkan kemaksiatan terhadap Allah dengan berdasarkan pancaran cahaya dari Allah karena merasa takut dari hukuman Allah” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 208. Cet. Darul Hadits).

Hasan Al Bashri mengatakan, ”Ketakwaan senantiasa menjaga diri orang-orang yang bertakwa sampai-sampai membuat mereka meninggalkan banyak perkara yang dihalalkan karena kekhawatiran mereka terseret kepada perkara yang diharamkan.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 208. Cet. Darul Hadits).

Abu Sulaiman mengatakan, ”Sesungguhnya orang yang benar-benar merugi itu adalah orang yang menampak-nampakkan amal kebaikannya di hadapan orang-orang sementara dia justru berterus terang berbuat kejelekan tatkala menyendiri [bersama] sesuatu yang lebih dekat kepada dirinya daripada urat nadinya sendiri.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 213)


Pokok kemaksiatan

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pokok kemaksiatan yang besar maupun yang kecil ada tiga: ketergantungan hati kepada selain Allah, memperturutkan kekuatan angkara murka, serta mengekor kekuatan nafsu syahwat. Ketiga hal itu adalah : syirik, kezaliman, dan perbuatan-perbuatan keji. Puncak dari ketergantungan hati kepada selain Allah adalah kesyirikan dan menjadikan selain Allah sebagai sesembahan lain di samping-Nya.

Puncak dari memperturutkan kekuatan angkara murka adalah terjadinya pembunuhan. Sedangkan puncak dari mengekor kekuatan nafsu syahwat adalah perzinaan… Ketiga hal ini saling menyeret sebagiannya kepada sebagian yang lain. Kesyirikan menyeret kepada tindak kezaliman dan perbuatan keji, sebagaimana ikhlas dan tauhid akan memalingkan keduanya dari seorang yang bertauhid… Begitu pula kezaliman akan menyeret kepada tindak kesyirikan dan kekejian, dan sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang paling zalim sebagaimana keadilan yang paling adil adalah tauhid.

Sehingga keadilan sering disandingkan penyebutannya (di dalam Al-Qur’an) dengan tauhid, sebagaimana kezaliman menjadi penyanding bagi syirik… Begitu pula perbuatan keji akan menyeret kepada kesyirikan dan kezaliman, terlebih lagi apabila keinginan untuk itu sangatlah kuat dan tidak mungkin terwujud kecuali dengan melakukan sebentuk kezaliman dan meminta bantuan kepada tukang sihir dan syaitan… Maka ketiga hal ini sebagiannya saling menyeret dan memerintahkan untuk melakukan sebagian dosa yang lain. Oleh sebab itulah setiap kali hati seseorang memiliki tauhid yang melemah dan semakin besar pula kesyirikannya maka secara otomatis semakin banyak pula kekejian padanya dan semakin besar ketergantungan hatinya kepada gambar-gambar dan terjerat kerinduan yang dalam kepadanya…” (Al-Fawa’id, hal. 78-79).

Semoga Allah ta’ala menganugerahkan kepada kita keimanan yang kokoh dan ketakwaan yang selalu menyertai di mana pun dan kapan pun kita berada. Yang dengan keduanya Allah Yang Maha pemurah akan mencurahkan kepada bangsa ini keberkahan dari langit dan bumi.
sumber: abumushlih.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails