Pluralitas Agama ataukah Mayoritas Muslim
Mengapa kini makin marak saja isu adanya pluralitas agama di Indonesia padahal di negeri ini sejak dalam masa penjajahan oleh bangsa Belanda yang Protestan dan diteruskan oleh penjajahan Jepang yang menganut Budha dan Kong Hu Cu itu sudah ada kemajemukan agama. Mana pula yang lebih relevan dibicarakan dalam kaitannya dengan upaya membangun bangsa-negara Indonesia untuk menjadi bangsa-negara yang maju dalam percaturan internasional, isu pluralitas agama atau isu Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di Indonesia?Sejak dahulu kala, bukan di era reformasi ini saja telah ada pluralitas agama di Indonesia. Bahkan tidak ada satupun negara di dunia yang warga negaranya hanya memeluk satu agama, tidak pula di negara Madinah masa Rasulullah di mana di sana juga ada Yahudi dan Nasrani/Kristen. Tapi kemudian mengapa sepertinya di Indonesia ini, khususnya mulai di masa Orde Baru lalu dan berlanjut di era reformasi sekarang ini ada histeria bahwa di negeri ini ada pluralitas agama (baca: tidak hanya orang Islam saja).
Mengapa pula sepertinya Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di negeri ini tidak menjadi isu sosial politik, bahkan nampak ingin ditenggelamkan. Mengapa ada upaya untuk tidak menonjolkan bahwa strukrur sosial bangsa ini didominasi oleh muslim (sekitar 90%), sedang pemeluk agama lain, seperti Katholik, Protestan, Budha, Hindu, Kong Hu Cu membagi sekitar 10% sisanya? Bukankah proporsi seperti itu lebih layak diungkapkan, dikemukakan, dan ditonjolkan sewaktu bangsa ini sedang berupaya mencari strategi pembangunan yang efektif bisa menghantar bangsa menjadi bangsa yang besar? Mengapa pula ada upaya sistematis untuk meyakinkan semua orang di Indonesia (baca: umat Islamnya) bahwa faktor mayoritas agama itu tidak penting untuk diperhitungkan dalam proses pengelolaan bangsa dan negara.
Sebetulnya teramat mudah untuk dipahami bahwa maraknya isu pluralitas agama dan penenggelaman fakta muslim sebagai mayoritas di Indonesia memiliki tujuan politik dan rekayasa sosial terselubung. Jelas tiupan atau bisikan sosio-kultural adanya pluralitas agama seperti itu mempunyai maksud politis, agenda politik, yakni berupaya ‘mendiskreditkan’ eksistensi orang Islam di negeri ini. Apakah umat Islam di Indonesia terlalu lengah untuk tidak mengerti bahwa tiupan seruling pluralitas agama di negeri ini bermaksud ‘memerintahkan’ kaum muslimin Indonesia agar mau menerima saja bila kebijakan sosial-politik yang diberlakukan atas mereka itu tidak bersumber dari ajaran Islam.
Hembusan itu juga merayu (atau ‘memaksa’) agar orang Islam di negeri ini tidak protes bila kepada mereka diberlakukan kebijakan nasional yang berbeda bahkan bertentangan dengan ajaran agama Islam yang mereka anut, seperti misalnya diterapkannya kebijakan nasional yang mendukung atau membiarkan maraknya: lokalisasi pelacuran, kesetaraan gender yang bias, kebebasan ganti-ganti agama ala HAM Barat, legalisasi klab malam dan dugem, promosi seks bebas, gay, dan buka aurat, budaya mabuk karena peredaran miras, hidup glamor penuh pemborosan di tengah kemiskinan rakyat. Bahkan misi politik hembusan adanya pluralitas agama itu bisa menjurus yang lebih menyakitkan lagi bagi umat Islam, yakni hendaknya orang Islam di Indonesia ini mau menerima bila dipimpin oleh orang yang beragama lain dalam proses kehidupan sosial-politiknya, seperti layaknya zaman penjajahan dulu di mana orang Islam diperintah oleh penguasa Belanda yang Protestan-Katholik atau penguasa Jepang yang menganut Budha-Kong Hu Cu.
Isu pluralitas agama di Indonesia amat jelas arah sasarannya, dan sudah banyak memakan korban, termasuk di kalangan ulama, santri, kyai, bahkan di kelompok sarjana atau cendekiawan Muslim sekalipun. Propaganda adanya pluralitas agama ini ternyata memang efektif mengubah pola pikir dan aqidah umat, khususnya pada masa orde baru dahulu, di mana umat Islam dipojokkan isu mau mendirikan negara Islam, mau menghidupkan piagam Jakarta, dan pada saat bersamaan ‘musuh’ Islam rajin menyusun kebijakan sosial yang bertentangan dengan ajaran sosial Islam dan pelan-pelan menguasai posisi strategis dalam pemerintahan di negeri ini. Umat Islam di awal orde baru tampak begitu tidak berdaya terhadap rekayasa sosial-politik secanggih itu, apalagi pada saat tersebut mereka sekaligus ditekan pula secara fisik-militer untuk tidak protes dengan alasan demi menjaga stabilitas negara, kebutuhan pembangunan, keutuhan bangsa, keamanan dan ketertiban, dan semacamnya. Apakah di era reformasi sekarang ini umat Islam Indonesia masih juga terperangkap oleh isu seperti itu? Masya Allah.
Banyak sudah disiapkan forum yang menseminarkan adanya pluralitas agama di negeri ini, ironisnya juga termasuk oleh lembaga Islam sendiri. Apa gerangan targetnya? Apakah umat sudah terbawa oleh isu pluralitas agama sehingga mereka siap menjadi warga negara yang ‘baik-baik’ yang nantinya diam saja walau kebijakan sosial-politik di negeri ini bervisi non-Islami atau bahkan mereka akan oke saja bila dipimpin oleh orang lain dalam kehidupan sosial-politiknya (dengan alasan orang lain itu lebih mampu di bidang manajemen, sedang kita ini masih bodoh di bidang itu). Allahu Akbar. Mengapa tidak ada upaya umat, khususnya cendekiawan muslim atau ulama dan aktifis Islam menseminarkan makna mayoritas muslim di negeri ini terhadap implikasi kebijakan sosial-politik di negerinya. Mengapa belum satupun lembaga Islam, apalagi lembaga pemerintahan, yang membuat seminar nasional-internasional: ‘Implikasi Kebijakan Sosial-politik bagi Negara yang Mayoritas Penduduknya Muslim” agar bisa ditimbang secara rasional bentuk-bentuk kebijakan dan kepemimpinan nasional mana yang efektif bagi kemajuan bangsa-negara semacam itu (buat pula komparasi dengan negara yang mayoritas penduduknya beragama lain, seperti Barat, Cina, Jepang, dll yang membangunan negerinya dengan pola sekuler).
Masalah Teori Dan Paradigma Pembangunan Yang Membuat Indonesia Menjadi Negara Maju Dan Jaya
Semua orang di Indonesia ini kalau ditanya dalam suatu poling pendapat (akhir-akhir ini populer sekali survey seperti itu) tentu nyaris semua akan mengaku ingin membuat bangsa-negara Indonesia ini menjadi maju dan besar. Tapi mari coba ditanya atau ditelusuri teori dan paradigma pembangunan apa yang akan mereka pakai untuk membuat Indonesia ini menjadi bangsa-negara yang maju dan jaya. Bisakah negeri ini menjadi negeri maju bila kepada mayoritas penduduknya yang muslim itu diberlakukan kebijakan sosial-politik yang non-Islami? Bukankah cara seperti itu seperti jauh panggang dari api. Mayoritas bangsa akan kehilangan identitas diri mereka, dan akhirnya mereka akan menjadi gerombolan munafik yang kehilangan kepercayaan dan kepribadian sehingga menjadi makanan lunak bagi serigala hedonis berskala internasional. Bangsa mana yang berhasil menjadi bangsa besar bila mayoritas warganya bersifat munafik, tidak berkepribadian, dan lemah dalam aqidah-syariahnya.Kualitas suatu bangsa itu ditentukan oleh kualitas mayoritas penduduknya, bukan oleh kualitas minoritasnya. “When majority gets empowered, the minority will be carried away (NOT THE REVERSE), and the nation will be powerful“. Tatkala mayoritas bangsa yang muslim itu menjadi maju maka minoritas akan terikut maju (TIDAK SEBALIKNYA), dan negarapun akan menjadi kokoh-kuat. Ini tantangan. Mungkinkah mayoritas penduduk Indonesia yang muslim itu bisa maju jika diberlakukan pada mereka model pembangunan yang non-syar’i? Mari kita menjadi rasional, jangan antipati atau menolak syariat sosial-kenegaraan yang diajarkan Allah swt untuk membangun bangsa-negara Indonesia tercinta ini.
Sumber fuadamsyari.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar