Di dalam lubang berdiameter 1 m dengan dalam 1,2 m ada Salmah, Paidi, Dadang Sukanta, Dyatmo Suminto, Firzen Saleh, dan Suherman.
Menanggapi peristiwa tersebut, budayawan Emha Ainun Nadjib menyoroti bahwa rakyat kini sudah tidak mempunyai jalan keluar karena sistem yang resmi tidak mengakomodasi dan tidak pernah bertanya kepada rakyat. "Sistem pemerintahan sudah ada, sistem negara sudah ada, perwakilan rakyat juga sudah ada, tapi itu semua tidak mengakomodasi, maka akhirnya mereka mencari pola-pola solusi lain," ungkap Emha saat dihubungi melalui telepon, Senin (2/8/2010) siang.
Maklumlah, lanjut Emha, kalaupun rakyat menempuh jalur hukum toh di jalur ini ada dismanajemen dan kelemahan-kelemahan konstitusi, bahkan pada beberapa kasus mengisyaratkan hukum kita belum jadi. Kalaupun sudah nampak jadi, masih ada gangguan dari aparat yang curang. "Kalau jatuhnya vonis A, ternyata praktiknya B. Kalau kita kehilangan kambing, menempuh jalur hukum malah bisa kehilangan sapi," ujar Emha.
Menurut Emha, negara ini belum layak disebut negara atau belum berperilaku normal laiknya sebuah negara. "Ini untuk mengatakan negara ini batal untuk disebut negara."
Emha menambahkan, para petugas yang bekerja di pemerintahan dan para penegak hukum yang dibayar oleh rakyat belum berperilaku sebagaimana seharusnya. Maka tidak heran apabila muncul kasus-kasus seperti yang terjadi, termasuk yang sekarang dialami oleh enam warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat itu. "Itu semua mencerminkan bahwa sekian lama kita membangun demokrasi, ternyata tidak sanggup meletakkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, sebagai pemilik negara, dan Tanah Air.
Bahkan, sudah menjadi gejala umum ada pemahaman pemikiran yang terbalik antara hubungan rakyat dengan negara, rakyat dengan pemerintah, dan pemerintah dengan negara.
"Banyak aparat yang tidak mengerti bahwa negara ini adalah milik rakyat. Contohnya, KTP itu bukan tanda pengenal yang harus diminta oleh rakyat dalam rangka mengabsahkan mereka sebagai warga negara. Rakyat Indonesia itu begitu lahir kan secara otomatis sudah menjadi warga negara. Nah, pemerintah itu dibayar untuk menandai tanpa diminta oleh rakyatnya."
Emha memberi contoh lain. Jika polisi menilang, maka mereka meminta kartu identitas, SIM, STNK. "Kalau kita tanya balik, mohon Bapak menunjukkan tanda pengenal. Pada beberapa kesempatan, polisi biasanya menjawab bahwa yang ditilang tidak punya hak untuk meminta kartu identitas. Lah ini bagaimana, bukankah yang jadi bos itu rakyat? Tidak ada tilang pun masyarakat boleh sewaktu-waktu mengecek keabsahan para petugas penegak hukum, apa mereka beneran atau gadungan?"
Emha menyimpulkan, banyak aparat pemerintah yang tidak mengerti bahwa mereka adalah buruhnya negara, dan yang mempunyai negara adalah rakyat. Nah, sekarang ini rakyat tidak ada, yang ada adalah penduduk.
"Bedanya rakyat dan penduduk, dari terminologinya saja "rakyat" yang berasal dari bahasa Arab yakni ro'yah artinya kepemimpinan, kumpulan manusia yang mempunyai kedaulatan. Sementara itu, penduduk adalah orang-orang yang tinggal di suatu tempat yang tidak memiliki kedaulatan apa-apa, sama dengan zaman kerajaan. Statusnya cuma menumpang. Jadi kesimpulannya, ini bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi negara kerajaan Indonesia."
sumber: kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar