Tanggal 12-13 Januari lalu, Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi berkunjung ke Indonesia. Sama sekali tidak ada demonstrasi menyambut kedatangannya. Berbeda sekali dengan yang terjadi 28 tahun silam.
Selasa 15 Januari 1974, paling kurang 11 orang meninggal, 300 luka berat dan ringan, serta 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sedikitnya 160 kg emas hilang dari sejumlah tokoh perhiasan. Peristiwa itu terjadi ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974).
Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Karena penjagaan aparat keamanan ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara, kecuali beberapa orang yang dapat diamankan petugas. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00 pagi PM Jepang tersebut berangkat dari Istana tidak dengan mobil, melainkan diantarkan oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari gedung Bina Graha ke pangkalan udara.
Peristiwa 15 Januari 1974 yang dikenal dengan nama ”Malari” (bisa berarti ”Lima Belas Januari” atau bisa pula ”Malapetaka 15 Januari”) 1974, dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada orang yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang (yang dibakar adalah mobil dan sepeda motor buatan negeri matahari terbit itu).
Juga ada sejarawan Belanda yang mengulas peran Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI) Hariman Siregar yang cukup menonjol saat itu serta proses pengadilannya kemudian. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap kekuatan tertentu di dekat Presiden Soeharto yang memiliki kekuasaan menentukan, yakni aspri presiden (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain). Ada pula analis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas antara Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo.
Tuntutan mahasiswa minimal berkisar pada tiga pokok persoalan, yaitu pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi terutama mengenai modal asing yang didominasi Jepang, dan pembubaran lembaga yang tidak konstitusional seperti aspri presiden. Waktu itu korupsi sudah mulai memperoleh akses ke istana melalui istri presiden, Tien Soeharto, yang memiliki ide membangun Taman Mini yang merupakan miniatur dari rumah adat dan perangkat budaya nusantara.
Gagasan itu ditentang para mahasiswa dan kalangan intelektual karena meskipun tidak dibiayai melalui APBN pasti akan menimbulkan KKN. Seperti kita ketahui, kemudian biaya pengelolaan anjungan tiap daerah masih dibebankan pada masing-masing provinsi.
Setelah terjadi demonstrasi yang disertai di tempat lain dengan kerusuhan, pembakaran dan penjarahan, maka Jakarta pun menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkopkamtib dan langsung mengambil alih jabatan tersebut. Aspri presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Sutopo Juwono didubeskan dan diganti Yoga Sugama. Sebagai kelanjutan dari tuntutan mahasiswa diberlakukan beberapa ketentuan hidup sederhana, terutama bagi PNS (pegawai negeri sipil) dan pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam perusahaan swasta. Apabila mengadakan pesta, maksimal dua kali dalam setahun dengan jumlah tamu undangan tak lebih dari 250 pasangan.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 telah mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya mengambil sikap yang ekstra hati-hati dan waspada terhadap semua orang dan golongan, serta melakukan sanksi yang tak berampun terhadap orang atau kelompok yang dianggapnya bisa mengusik ketenangannya dalam memerintah. Setelah ”kecolongan” yang hampir berakibat fatal, maka Presiden Soeharto pada masa selanjutnya sangat selektif memilih pembantu dekatnya.
Kemudian kita ketahui, ia melakukan strategi ”ajudanisasi”, seleksi pemimpin setelah menjadi ajudan presiden. Dari pengalaman bertahun-tahun sebagai ajudan, Soeharto mengetahui persis sikap dan kepribadian orang itu dan setelah itu, baru dipilihnya menduduki jabatan penting. Yang jelas, sang ajudan itu pasti akan loyal kepada sang komandannya.
Peristiwa 15 Januari 1974 tidak berdiri sendiri, oleh sebab itu seyogianya ditengok dan dikaji dalam rangkaian sejarah Orde Baru. Kita dapat memandangnya tahun 1974 itu sebagai babak baru hubungan Soeharto dengan para pembantunya.
Pangkopkamtib Soemitro terpental dalam peristiwa Malari itu, tetapi kemudian lawannya, yakni Ali Moertopo dan Soedjono Humardani secara berangsur-angsur juga tersisih. Ali Moertopo tidak pernah sampai menduduki Kepala Bakin yang diidamkannya, tetapi kemudian dijadikan Menteri Penerangan dan selanjutnya Wakil Ketua DPA sebelum akhirnya meninggal.
Malari 1974 merupakan koreksi frontal masyarakat (melalui gerakan mahasiswa dan kalangan kampus) yang nyaris berhasil menumbangkan Soeharto, jika Soemitro tidak ragu-ragu pada saat-saat terakhir. Kegagalan itu menyebabkan Soeharto menata kembali semua sistem kendali pemerintahannya dan membuatnya betul-betul tak tergoyahkan. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental. Jadi dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai ”arus balik” sejarah Orde Baru.
Sebelumnya yang dianggap musuh bersama, barulah PKI dan ormas-ormasnya serta Sukarnoisme. Tetapi setelah Januari 1974, semua golongan yang kritis, baik kiri dan kanan dicurigai (disebut ekstrem kiri dan ekstrem kanan), diawasi dan dijadikan kambing hitam segala kerusuhan.
Represi dijalankan secara sistematis. Mulai dari masalah domestik yang diatur dengan UU Perkawinan (yang berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975, kemudian diikuti dengan peraturan yang pada intinya mengarah kepada ”pelarangan poligami” bagi PNS). UU Parpol dan Golkar diundangkan 27 Agustus 1975 dengan tujuan mempersulit PNS jadi anggota parpol dan menggiring mereka masuk Golkar. Setelah itu, kehidupan politik disterilkan dari ”virus demokrasi” dan ”cuci otak” pun dilakukan. Pada Pemilu 1977 sistem kepartaian disederhanakan menjadi hanya 3 partai. Dilakukan Penataran P4 bagi seluruh masyarakat sejak tahun 1978.
Malari sebagai Wacana
Di dalam buku Otobiografi Soeharto (yang terbit tahun 1989) kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung sama sekali. Padahal mengenai Petrus (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang. Dalam Otobiografi Sudharmono dibahas tentang upaya yang dilakukan dalam rangka penertiban pegawai negeri sipil agar tidak melakukan korupsi dengan membatasi kegiatan mereka dalam perusahaan swasta.
Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak tahun 1973. Yoga Soegomo berada di New York ketika terjadi kerusuhan
15 Januari 1974. Tetapi lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta untuk menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala Bakin. Dalam waktu dua bulan ia berhasil membuat ”buku kuning” tentang peristiwa tersebut yang boleh dikatakan versi resmi pemerintah. Menurut Yoga, kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi yang mematangkan situasi dan akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.
Awalnya adalah diskusi di UI (13-16 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo dan TB Simatupang. Disusul kemudian dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan ”Petisi 24 Oktober”. Kedatangan Ketua IGGI, JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka Januari 1974 yang disertai bukan saja demonstrasi, tetapi juga kerusuhan.
Dalam buku-buku yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Ali Moertopo dan Soedjono Humardani merupakan pembina GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Lewat organisasi ini dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kiai Nur dari Banten.
Sedangkan Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Kegiatan yang antara lain perusakan mobil Jepang, Toyota Astra dan Kantor Coca Cola itu dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Sumitro-Sutopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166). Sebaliknya dalam ”dokumen Ramadi” diungkapkan rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya ”ada seorang jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”.
Jangan Mimpikan Orde Baru
Perlu disadari konteks sejarah ini, karena kalau tidak, kita akan terpaku kepada salah satu aspek dari peristiwa 15 Januari 1974. Dengan melihatnya dalam konteks upaya penumpukan kekuasaan pada satu tangan yaitu pada Soeharto, serta pelestariannya dengan menghalalkan segala cara, maka kita segera menyadari betapa pahitnya proses yang telah dilalui selama ini. Betapa kejam represi yang telah dijalankan. Jadi bila kemudian terwujud aspek stabilitas –yang merupakan unsur pertama dari trilogi pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan)—itu dicapai dengan biaya sangat mahal. Dengan mengorbankan demokrasi dan HAM. Kalau kini orang bernostalgia dengan stabilitas keamanan, janganlah dilupakan bahwa semasa Orde Baru itu dicapai dengan darah dan air mata.
Kita hidup pada masa yang berbeda. Ketika pers jauh lebih bebas. Ketika orang bebas mengeritik, presiden sekalipun. Ketika otonomi daerah mulai merambat dengan berbagai aspek positif dan eksesnya. Ketika banyak hal yang diharapkan pada awal reformasi, ternyata makin jauh dari kenyataan. Ketika kaki sering tersandung tetapi kita harus melangkah kembali meskipun dengan terseok-seok. Jelas masa transisi itu tidak sama dengan masa kejayaan pemerintahan Soeharto. Yang penting janganlah memimpikan kembali Orde Baru.
Oleh Asvi Warman Adam
Penulis adalah sejarawan pada LIPI
selokartojaya.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar