 
 Pada bulan Mei 1912 seorang tokoh yang kelak akan menjadi ‘ruh’ pergerakan yaitu Oemar Said Tjokroaminoto[1] bergabung  atas undangan H.Samanhudi.  Oemar Said pada saat itu dikenal sebagai  seorang yang radikal, anti feodalisme dan anti penjajah. Beliau dikenal  sebagai seorang yang menentang kebiasaan-kebiasaan yang ada, menganggap  sama dan sederajat dengan bangsa manapun, beliau tidak mau  menghormat-hormat terhadap pejabat, bangsawan apalagi terhadap kaum  penjajah. Di samping memiliki sikap yang demikian, Tjokroaminoto  mempunyai keinginan kawan sebangsanya memiliki sikap yang demikian.[2]
Anggaran Dasar baru Syarekat Islam bagi  seluruh Indonesia disusun Tjokroaminoto, kemudian pada bulan september  1912 diajukan surat permohonan agar Sarekat Islam diakui kedudukannya  sebagai badan hukum.[3] Anggaran dasar baru menyebutkan bahwa tujuan  Sarekat Islam adalah memajukan semangat dagang bangsa, memajukan  kecerdasan rakyat dan hidup menurut perintah agama dan menghilangkan  faham-faham keliru mengenai agama Islam.[4]
Kehadiran Tjokroaminoto di SI merupakan  dimulainya babak baru dalam organisasi pergerakan Indonesia. Orientasi  gerakan berubah, dari orientasi sosial ekonomi menjadi organisasi yang  berorientasi sosial politik[5]. Perubahan nama dari SDI menjadi Sarekat Islam[6], merupakan indikasi transformasi organisasi dari yang berlatar belakang ekonomi kepada politik.[7]. SI sebagai gerakan politik pada sejak tahun 1912 juga dikemukakan oleh John Ingleson dalam ‘Jalan Kepengasingan’  yang menyatakan bahwa pada tahun 1912, ia merupakan partai poltik Islam  yang terkemuka dan selama beberapa tahun menjadi partai modern  satu-satunya pada masa kolonial[8].
Pada tanggal 26 Januari 1913, diadakan  Kongres I Sarekat Islam di Surabaya. Ribuan orang datang  berbondong-bondong, jalan-jalan menuju Taman Kota di mana kongres  diselenggarakan penuh sesak oleh orang. Ketua H. Samanhudi disambut  besar-besaran, di stasiun beliau disambut dengan korps musik dan  dibopong beramai-ramai menuju mobil jemputan. Menurut laporan Asisten  Residen Kepolisian pada tanggal 12 Pebruari, menyebutkan bahwa massa  yang hadir pada saat itu ditaksir antara delapan sampai sepuluh ribu  orang.[9]
Kongres tersebut dipimpin oleh Tjokroaminoto dan pada kongres itu beliau menyatakan bahwa Sarekat Islam bertujuan: “…Membangun  kebangsaan, mencari hak-hak kemanusiaan yang memang sudah tercetak oleh  Allah, menjunjung derajat yang masih rendah, memperbaiki nasib yang  masih jelek dengan jalan mencari tambahan kekayaan”.[10]
Kemudian pada tanggal 23 Maret tahun  yang sama, kongres ke II dilaksanakan di Solo. Pada kongres itu H.  Samanhudi terpilih sebagai ketua dan Tjokroaminoto sebagai wakil.  Kongres tersebut dipimpin oleh Tjokroamonoto.
Sarekat Islam bagai aliran setrum  tegangan tinggi yang menghentakkan seluruh syaraf kesadaran kaum  muslimin bangsa Indonesia untuk segera mendobrak penjara-penjara yang  telah mengurung seluruh eksistensi mereka berabad-abad.  Semangat  perlawanan yanag muncul di mana-mana dipandang oleh Korver sebagai  gerakan emansipasi kalangan Sarekat Islam, suatu cita-cita yang dihayati  oleh para pemimpinya. Gerakan emansipasi tersebut meliputi:
Pada kongres di Bandung, Tjokroaminoto menyatakan: “…merupakan tugas Sarekat Islam untuk memprotes kata-kata dan perbuatan yang bermaksud merendahkan ‘de Inlandsche onderdanen’  …rakyat yang berdiam di desa-desa atau kampung-kampung terus menerus di  sebut de kleine man (wong cilik), apakah sebutan ini sesungguhnya  tepat?” “Tidak!, ucapan seperti itu atau pandangan –pandangan yang  demikian sudah tidak pantas lagi didengar oleh suatu bangsa yang sedang  mulai berevolusi dan yang sedang mulai meningkatkan dirinya!”.[11]
Identitas diri meliputi masalah keagamaan, seperti ungkapan yang melarang atau mengingkari agama sendiri, yaitu agama Islam. Harian Kaoem Muda  pada tahun 1915 mengecam suatu perkawinan antara putri seorang Bupati  dengan seorang Perwira Eropa yang tidak menganut agama Islam.[12]
Kemudian identitas kebangsaan,  seperti kecaman dan kritikan pedas yang dilancarkan terhadap orang  Indonesia yang meminta persamaan status hukum dengan orang Eropa. Hal  demikian dianggap sebagai pengkhiahat dan merendahkan bangsanya sendiri.  Selama masih ada orang demikian yang merasa sok berlagak, apakah  sesungguhnya yang dapat kita harapkan dari orang Eropa. Demikian tulis  harian Kaoem Moeda.[13]  Identitas diri yang juga didengungkan adalah sebagai bagian dari bangsa  Asia dengan suatu anggapan akan hancurnya peradaban Barat disusul  dengan bangkitnya Asia sebagai kekuatan yang pernah memimpin dunia.
Masalah tuntutan persamaan hak-hak  politik secara gamblang dan terang-terangan diucapkan, dimulai ketika  pemerintah Belanda bermaksud membentuk milisi pada tahun 1914.  Tjokroaminoto dalam bulan september 1914, menolak rencana pembentukan  milisi apabila tidak disertai perbaikan dengan perluasan hak-hak politik  rakyat. Beliau juga berjanji (yang menurut Korver ‘janji samar-samar’)  apabila Jawa diserang, SI tidak akan memberikan bantuan kepada agresor.[14]  Kemudian R. Ahmad mengemukakan bahwa SI menolak dengan keras terhadap  rencana pembentukan milisi rakyat, sebelum Indonesia merdeka dan tidak  mempunyai hak bicara menentukan perang dan damai, pada saat ini  Indonesia masih dianggap sebagai ‘barang’ dan tidak mungkin ‘barang’  dapat mempertahankan diri, para pemiliknyalah yang harus mempertahankan  barang. Sinar Jawa menulis bahwa mempertahankan tanah air adalah baik,  tetapi pemerintah hendaklah memerintah rakyatnya dengan baik dan  mengakhiri penindasan yang dilakukannya;bangsa Indonesia harus lebih  dulu disamakan derajatnya dengan bangsa-bangsa lain.[15]
G.J. Hazeu (Penasihat untuk Urusan  Bumiputra) menyatakan bahwa kesadaran politik dan cita-cita otonomi bagi  pemimpin-pemimpin SI semakin tumbuh dan bahwa sikap ini dengan cepat  meluas pada anggata-anggotanya.[16]
Fakta-fakta tersebut menunjukkan  kesadaran politik seluruh lapisan masyarakat bahwa bangsa Indonesia  tidak boleh pasif menerima nasib dijajah oleh kolonial Belanda tetapi  harus bangkit menetukan nasibnya sendiri berhasil dilakukan SI.
Pada tahun 1915, Sarekat Islam telah memiliki 500 000 anggota,[17] dan enam tahun kemudian yaitu tahun 1921 anggotanya telah mencapai dua juta[18] orang serta telah terbentuk cabang-cabang SI di seluruh provinsi di Indonesia kecuali Irian Barat.[19]
Kongres Nasional Pertama di Bandung,  dihadiri oleh seluruh cabang Sarekat Islam yang meliputi  Jawa, Sumatra,  Kalimantan, Bali dan Sulawesi. Kongres yang bersifat nasional ini bukan  hanya pertama bagi Sarekat Islam, tetapi juga merupakan kejadian  pertama kali dalam sejarah pergerakan politik di Indonesia. Hal ini  tidak sekedar mencerminkan bahwa Sarekat Islam telah tersebar ke seluruh  penjuru tanah air (yang kelak menjadi batas-batas kekuasaan wilayah  Indonesia), tetapi juga mencerminkan suatu usaha yang sadar dari para  pemimpin SI untuk menyebarkan dan menegakkan cita-cita nasionalisme  dengan Islam sebagai ajaran yang dianggap dasar dalam pemikiran  tersebut.[20]
Kata ‘nasional’ diperdengarkan kepada  khalayak ramai untuk pertama kalinya. Menjelaskan kata ‘nasional’  Tjokroaminoto berkata bahwa ia merupakan suatu usaha untuk meningkatkan  seseorang pada tingkat  natie …usaha pertama kali untuk  berjuang menuntut pemerintahan sendiri atau sekurang-kurangnya agar  orang-orang Indonesia diberikan hak untuk mengemukakan suaranya dalam  masalah-masalah politk.[21]  Kemudian dalam pidatonya Beliau mengemukakan lebih spesifik mengenai  bagaimana seharusnya hubungan antara Indonesia dengan Belanda, sebagai  berikut:
“Tidaklah layak Hindia –Belanda diperintah oleh Holand, Zoals een landheer zijn percelen beheert (sebagai tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya). Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberikan makanan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya. Keadaan yang sekarang yaitu negri kita diperintah oleh suatu Staten-General yang begitu jauh tempatnya nun di sana…dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggung jawabkan bahwa penduduknya terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri….Tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita tanpa partisipasi kita, mengatur hidup kita tanpa kita”.[22]
Korver menyatakan bahwa Kongres SI  merupakan kesempatan pertama dalam sejarah Indonesia yang memungkinkan  manusia Indonesia dari berbagai bagian kepulauan Indonesia bersama-sama  melaksanakan politik dan bertukar fikiran mengenai bermacam-macam  permasalahan.[23]
Berdasarkan kenyataan di atas, maka di  Indonesia pada awal abad ke XX tahun 1915 M Sarekat Islam satu-satunya  organisasi gerakan politik yang telah berhasil dan mampu menggerakan  kesadaran politis dan menyelenggarakan kongres tingkat nasional I  (pertama) di Bandung/Jawa Barat .Setelah melaksanakan Kongres Nasional  pertama di Bandung, kemudian disusul Kongres Nasional II (1917).[24]
Kongres Nasional ke II diselenggarakan  di Jakarta melahirkan Program asas dan program Tandzim. Keterangan Asas  (Pokok) mengemukakan kepercayaan Centraal Sarekat Islam bahwa:  “Agama Islam itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat  manusia…dan bahwasannya itulah sebaik-baiknya agama buat mendidik budi  pekertinya rakyat…Partai juga memandang agama sebagai sebaik-baiknya  daya upaya yang boleh dipergunakan agar jalannya budi akal masing-masing  orang itu ada bersama-sama budi pekerti….dan memperjuangkan agar tambah  pengaruhnya segala rakyat dan golongan rakyat…di atas jalannya  pemerintahan dan kuasanya pemerintah yang perlu akhirnya akan boleh  mendapat kasa pemerintah sendiri (Zelf bestuur).[25]
Sesungguhnya mulai menampak betul-betul sifat, maksud dan tujuan “Syarikat Islam” ialah ketika sudah ditetapkan Program-Asas[26]  (Beginsel-program) dan Program-Pekerjaannya (Program van Actie) di  dalam Kongresnya pada tahun 1917 di Batavia (DJakarta). Maksud  Pergerakan S.I : akan menjalankan Islam dengan seluas-luas dan sepenuh-penuhnya, supaya kita mendapat suatu Dunia Islam yang sejati dan bias menurut kehidupan Muslim yang sesungguh-sungguhnya[27].
Program kerja dibagi atas delapan bagian  yaitu: Mengenai politik Sarekat Islam menuntut didirikannya dewan-dewan  daerah, perluasan hak-hak Volksraad dengan tujuan untuk  mentransformasikan menjadi suatu lembaga perwakilan yang sesungguhnya  untuk legelatif. Sarekat Islam juga menuntut penghapusan kerja paksa dan  sistim izin untuk bepergian. Dalam bidang pendidikan, SI menuntut  penghapusan peraturan diskriminatif dalam penerimaan murid di  sekolah-sekolah. Dalam bidang agama, SI menuntut dihapuskannya segala  peraturan dan undang-undang yang menghambat tersiarnya agama Islam.  Sarekat Islam juga menuntut pemisahan lembaga kekuasaan yudikatif dan  eksekutif dan menganggap perlu dibangun suatu hukum yang sama bagi  menegakkan hak-hak yang sama di antara penduduk negeri. Partai juga  menuntut perbaikan di bidang agraria dan pertanian dengan menghapuskan particuliere landerijen  (milik tuan tanah) serta menasonalisasi industri-industri monopolistik  yang menyangkut pelayanan dan barang-barang pokok kebutuhan rakyat  banyak. Dalam bidang keuangan SI menuntut adanya pajak-pajak berdasar  proporsional serta pajak-pajak yang dipungut terhadap laba perkebunan.  Kemudian SI menuntut pemerintah untuk memerangi minuman keras dan candu,  perjudian, prostitusi dan melarang penggunaan tenaga anak-anak serta  membuat peraturan perburuhan yang menjaga kepentingan para pekerja dan  menambah poliklinik dengan gratis.[28]
Dalam Kongres Nasional Ke II ini  terlihat bahwa dalam tubuh SI ada kubu baru yang menyusup (infiltrasi)  sehingga menjadi konflik antara kubu Islam versus kubu Komunis . (SI  Cabang Semarang) dan dalam Kongres Nasional tahun 1919 terjadi puncak  konflik . Komunisme pertama kali diperkenalkan oleh Hendricus Josephus  Fransiscus Marei Sneevliet. Dia memulai karirnya sebagai seorang  penganut mistik Katholik tetapi kemudian dia beralih ke ide-ide sosial  demokratis revolusioner. Sneevliet datang ke Hindia pada ahun 1913  setelah mengalami masa ramai dan penuh angin topan di SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) dan gerakan-gerakan buruh yang mempunyai hubungan dengan SDAP, kemudian dia menjadi simpatisan SDP (Sociaal Demokratische Partij),  perintis Partai Komunis, pecahan SDAP. Dia kemudian bertindak sebagai  agen Komunis Internasional (Komintern) di China dengan nama samaran G.  Maring. Kemudian dia menetap di Surabaya selama dua bulan dan menjadi  pemimpin redaksi Handelsblad, kemudian menjadi sekretaris Kamar Dagang di Semarang. [29] 
Di Semarang Sneevliet mendirikan VSTP (Vereeniging Spoor en Tramwegpersoneel) Serikat Buruh dan Trem sebuah gerakan radikal dimana ia kelak bertemu dengan Semaun, sebelum ia memprakarsai berdrinya ISDV (Indsche Sociaal Democratische Vereniging) bersama Ir. Adolf Baars.[30] Partai kecil beraliran kiri ini dengan cepat akan menjadi partai komunis pertama di Asia yang berada di luar Uni Soviet.[31]  Sejak datang ke Hindia dia sanga tertarik dengan gerakan-gerakan buruh,  untuk menjalin hubungan dengan gerakan politik Indonesia, ia mulai  menerbitkan Het Vrije Woord (Kata yang bebas). Anggota ISDV  pada mulanya hampir seluruhnya orang Belanda, kemudian sekitar tahun  1914-15 partai ini menjalin persekutuan dengan Insulinde (Kepulauan Indonesia), sebuah partai yang didirikan tahun 1907 dan setelah tahun 1913 menerima sebahagian besar anggota Indische Partij yang berkebangsaan Indo-Eropa yang radikal.[32]  Tetapi organisasi ini bukanlah merupakan media ideal bagi ISDV untuk  meraih rakyat sebagai basis utamanya, oleh sebab itu ISDV mulai  berpaling ke SI.[33]  Pemimpin-pemimpin muda SI yang radikal di tarik oleh Sneevliet dan  Baars ke ISDV dan dimatangkan dalam arti sosialis-revoluioner. Orang  terpenting dari kelompok ini adalah Semaoen yang sangat berjasa bagi  organisasi SI cabang semarang melalui garis sosialis.[34], juga Alimin di Batavia (Jakarta)[35].
Sebelum diselenggarakan Kongres Nasional  SI Pertama di Bandung, sejumlah aktivis ISDV bangsa pribumi sudah  bergerak secara aktif di SI dan Semaun hadir pada saat itu.[36]  Deliar Noer menyatakan bahwa tujuan ISDV ialah memancing rakyat banyak  untuk memperoleh dukungan-dukungan kepemimpinan mereka dalam rangka  pergerakan rakyat pada umunya. Mereka merasa cukup apabila kepercayaan  rakyat terhadap Sarekat Islam goncang. Sebagaimana yang dikatakan Adolf  Baars,“…Kami tahu…perdebatan ini telah menyebabkan kebingungan  yang besar di kalangan orang-orang Indonesia…dan bahwa masalah ini  banyak diperkatakan. Dengan itu saja, tujuan kita pun telah berhasil”.[37] Kegiatan ISDV di dalam lingkungan Sarekat Islam mengoncangkan partai seperti dalam masalah-masalah Indie Weerbaar, Volksraad dan perburuhan.[38]  Para pemimpin SI yang anti komunis menaruh curiga bahwa  kegiatan-kegiatan ISDV mendapat sokongan dari pihak pemerintah Belanda  dalam rangka usaha untuk mencegah pengikut partai yang tumbuh cepat dan  hal ini telah menyebabka timbulnya ketakutan di kalangan orang Belanda.  Abdul Moeis menulis bahwa Sneevliet seolah-olah dikirim dengan sengaja  oleh pemerintah Belanda untuk memecah gerakan rakyat yang merupakan  bahaya besar bagi tanah air Belanda.[39]
Pengaruh kiri ke dalam Sarekat Islam  semakin bertambah besar, jumlah anggota SI Semarang berkembang pesat  mencapai 20.000 orang pada tahun 1917 dan di bawah pengaruh Semaoen  mengambil garis keras anti kapitalis yang kuat. Cabang ini semakin hari  semakin lantang menyerang SI terutama masalah Indie Weerbaar dan Volksrad  sebagaimana telah dijelaskan, dan dengan sengit menyerang kepemimpinan  Central Sarekat Islam, terutama terhadap Salim dan Moeis.[40]Pada  bulan November 1918 Sneevliet dibuang, sementara Adolf Baars pulang  pada bulan Maret 1919. Kepergian pemimpin-pemimpin Belanda menjadikan  Semaoen dan Dharsono yang terkenal mahir dalam teori, tampil sebagai  pemimpin. Fokus policy-nya adalah hubungan dengan Sarekat Islam, dalam hal ini masalah infiltrasi untuk menancapkan pengaruh dalam SI.[41] 
Pada tahun 1918, Semaoen terpilih sebagai pengurus pusat CSI. Pada masa itu SI cenderung terwarnai oleh pentolan-pentolan ISDV,[42]  kegiatan pun bergeser kemasalah-masalah perburuhan. Pada kongres SI  tahun 1918 disetujui mengenai pemogokan-pemogokan buruh yang teratur  untuk memperbaiki nasib, mencari keadilan dan melawan pebuatan  sewenang-wenang (dan) akan memajukan ikhtiar kaum buruh buat memperbaiki  nasib, mencari keadilan dan melawan perbuatan sewenang-wenang itu untuk  menegakkan keadilan dan untuk menghapuskan tindakan-tindakan sesuka  hati.  Partai  juga akan  membantu pemogokan–pemogokan. Pada kongres  tahun 1919 partai memberikan pengarahan tentang cara-cara mogok, dimana  pemogokan hanya dilakuakan apabila cara-cara damai tidak berhasil dan  apabila menurut perhitungan kemenangan dapat diraih oleh pihak buruh.  Pemogokan pada mulanya harus dibatasi pada suatu tempat, kemudian  diperluas ketempat lain dan pada akhirnya seluruh Tanah Air, bergantung  kepada perlu tidaknya tekanan ditingkatkan sebagai sokongan terhadap  tuntuan pekerja.[43]
Pada Kongres Nasional SI ke VII Oktober  1921 di Surabaya tersebut SI Merah (Komunis) secara organisatoris  dikeluarkan dari tubuh SI. Kubu Komunis Yang dikeluarkan dari kubu SI  (SI Putih) tahun 1921 menjadi PKHT dan pada tahun 1924 M menjadi PKI.  Berontak tahun 1926 dan 1927 di Sumatra, 1948 di Jawa/Madiun, 1965 G30S  di Jakarta.
Komunisme bagi Sarekat Islam seperti  duri dalam daging, semenjak awal datangnya faham ini membidik SI sebagai  sasaran untuk mensosialisasikan ide-idenya. Sarekat Islam yang berbasis  rakyat kecil, adalah lahan subur bagi komunisme. Ketika Sun Yat Sen  memimpin revolusi cina, Lenin sangat terkesan dan menaruh harapan besar  bagi perkembangan komunisme di Asia.  Oleh sebab itu Lenin memerintahkan  kontak yang lebih dekat dengan gerakan emansipasi di Timur khususnya  negeri-negeri yang dipengaruhi Hinduisme. Perkembangan yang  ‘menggembirakan’ komunisme di Asia digambarkan lewat ungkapan Lenin yang  dicatat oleh G. Sinovjet dalam Die Weltpartei des Leninismus: “Apa yang  terjadi di Barat memang sangat penting, tetapi apa yang terjadi di  Timur lebih penting, karena membuka jalan untuk berreovolusi”.[44]  Revolusi Rusia (revolusi Bolsjewik),  pada tahun 1917, memberikan  dorongan kaum komunis diseluruh dunia untuk menyusun langkah-langkah  menuju revolusi dunia.  Pada tahun 1918 SDAP  mentransformasikan dirinya  menjadi Parati Komunis Belanda.
Upaya-upaya untuk mengeluarkan  orang-orang Komunis diprakarsai oleh Agus Salim dan Moeis yang memandang  bahwa perbedaan antara yang terjadi adalah perbedaan prinsip. Oleh  sebab itu Komunisme merupakan tantangan utama bagi Sarekat Islam dalam  bidang ideologi.  Neratja edisi 18 Oktober 1921 memuat tulisan  Agus Salim yang menyatakan bahwa tindakan disiplin haruslah juga diambil  terhadap PKI (Partai Komunis India; maksudnya Hindia) karena hal ini  sangat perlu untuk menegakkan dasar partai, yaitu Islam. Panetrasi  dassar-dasar bukan Islam mengakibatkan partai melemah. Kemudian Salim  berkeyakinan bahwa tidak perlu mencari isme-isme lain yang akan  mengobati pergerakan, obatnya ada dalam asasnya sendiri, asas yang lama  dan kekal yang tidak dapat dimubahkan orang sunggupun sedunia memusuhi  dengan permusuhan lain atau tazim, asas itu adalah Islam.  Segala  kebajikan yang terdapat dalam suatu isme, ada dalam Islam dan sesuatu  kecelaan atau kenistaan dalam suatu isme tidak terdapat dalam Islam.[45]
Kongres Nasional VII digelar di Surabaya dihadiri oleh 36 cabang SI.[46]  Tjokroaminoto tidak hadir pada kongres tersebut, sehubungan dengan  penahanan yang dilakukan pemerintah Belanda dengan tuduhan bahwa  Tjokroaminoto telah memberikan keterangan palsu dalam kasus afdeiling B.
Seamoen dan Tan malaka berusaha  mempengaruhi keputusan sidang agar tidak menyetujui kebijakan disiplin  partai, melalui pidatonya yang masing masing diberi waktu lima menit.  Pada pidatonya Tan malaka menyatakan sebagai berikut :
“Saya telah mengemukakan berbagai  hal yang sama-sama ada pada PKI dan CSI. Saya menunjuk persatuan antara  kalangan Muslimin di Kaukasus, Persia, Bukhara dan daerah-daerah lainnya  dengan kaum Bolsycwik. Persatuan dengan kaum buruh Islam itu dianggap  oleh kaum kapitalis Inggris sebagai suatu bahaya bagi penindasannya.  Itulah sebabnya  Pemerintah Inggris sampai minta dua kali dengan sangat  kepada pemerintah Soviet  menghentikan propagandanya di negara-negara  Islam. Ini menggambarkan betapa sadarnya   kaum Islam di luar  Hindia  dan benar-benar memahami siapa kawan dan siapa lawan mereka di dunia  ini. Dikongres saya minta pemimpin-pemimpin CSI membujuk anggotanya  supaya tidak mau menerima disiplin partai.”[47]
Pada tahun 1921 M  HOS Cokroaminoto  ditangkap dan ditahan oleh Belanda. Penahanan terhadap Tjokroamnoto  terjadi dilatarbelakangi peristiwa-peristiwa kerusuhan di Toli-toli,  Sulawesi yang mengakibatkan ditangkapnya  Moeis dengan tuduhan telah  Mengadakan provokasi terhadap masyarakat Sulawesi. Kemudian kejadian  berdarah di Cimareme pada tanggal 7 Juli 1919.[48]
Pada pemeriksaan mengenai kasus tersebut  terungkap suatu organisasi rahasiah bernama Sarekat Islam Afdeling-B.  Beberapa pengurus SI, seperti Sosrokardono dituduh terlibat dalam  perkara tersebut.[49]  Kemudian Tjokroaminoto ditangkap pada bulan September 1921 dengan  tuduhan memberikan keterangan palsu pada pengadilan Sosrokardono.  Tjokroaminoto dibebaskan pada bulan April 1922.[50]
Penangkapan serta penahanan terhadap  Tjokro ini mendapat reaksi keras bahkan dari kalangan pers Belanda dan  Dewan Rakyat yang menyatakan bahwa tuduhan itu adalah rekayasa dengan  tujuan memfitnah.
[1] R.M.H Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Desa Bakur (Ponorogo/Madiun) pada tanggal 16 Agustus 1882 anak kedua dari keluarga R.M. Tjokroamiseno (Bupati Kletjo (Madiun), Kakeknya R.M. Adipati Tjokronegoro pernah  menduduki jabatan-jabatan penting diantaranya sebagai bupati di  Ponorogo. Oleh karena jasanya pada negeri, ia dianugrahi bintang jasa Ridder der Nederlansche Leeuw. R.M. Adipati Tjokronegoro adalah putera seorang Ulama yang bernama Kiai Bagoes Kasan Besari yang  memiliki pondok pesantren di Desa Tegal Sari, Kabupaten Ponorogo,  Karesidenan Madiun, Jawa Timur yang kemudian memperistri seorang putri  dari Susuhunan II. Dengan perkawinannya itu, dia menjadi keluarga  Keraton Surakarta. Tjokroaminoto menjalani pendidikan terakhirnya adalah  O.S.V.I.A di Magelang pada usia 19 Th sebuah pendidikan untuk anak-anak  priyai. (Sumber Amelz, HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya Jilid  I, Jakarta: Bulan bintang, 1952 dan Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto,  Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985) 
[2] Pada  tanggal 13 mei 1912 tiga orang delegasi Sarekat Islam Solo mengunjungi  Surabaya untuk keprluan organisasi dan  menemui Tjokroaminoto agar  beliau bergabung dengan organisasi untuk memperkuat jajaran pengurus SI.  Pada saat itu Tjokroaminoto sedang bekerja pada sebuah perusahaan Gula  di luar kota Surabaya. Menurut keterangan yang diperolrh Deliar Noer,  para pemimpin SI di Solo membayar ganti rugi perusahaan dimana  Tjokroaninoto bekerja agar kontrak kerjanya diputus dan kemudian  menjamin sepenuhnya nafkah hidup apabila beliau mau bergabung dengan SI
[3] Beberapa  alasan yang menyebabkan SI mengajukan pengakuan badan hukum, antara  lain: Pertama agar SI mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan hukum  perdata. Kedua, pengakuan badan hukum dianggap sebagai persetujuan resmi  pemerintah terhadap perkumpulan yang bersangkutan (banyak pegawai renda  pemerintah yang bersimpati tidak berani masuk SI karena takut ditindak  oleh para atasan mereka). Ketiga, sulit bagi suatu perkumpulan yang  tidak diakui untuk mengadakan rapat (Peraturan Kepolisian Umum Untuk  Hindia Belanda menetapkan bahwa perkumpulan yang tidak diakui sebagai  badan hukum memerlukan izin tertulis dari Penguasa setempat untuk  mengadakan rapat atau berarti tidak boleh mengadakan rapat). Korver,  1985 hal 29-30.
[4] Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta:1994.  hal.6
[5] Lihat  Mansur:1995, hal 142; Dalam penerbitan Kementrian penerangan Republik  Indonesia PEPORA No. 8 dengan judul Kepartaian di Indonesia, mengenai  PSII dikemukakan sebagai berikut: “Sekalipun pada saat itu banyak  perhimpunan lainnya di lapangan sosial ekonomi, tetapi SDI  adalah  pertama-tama yang menginjak lapangan politik. Nama SDI diganti dengan SI  (Sarekat Islam) saja. Ringkasnya pada tahun 1911 SDI bergerak di  lapangan sosial ekonomi. Satu tahun kemudian,  tahun 1912 namanya  berobah menjadi SI dan geraknyapun trang-terangan di lapangan politik.”  Dalam A. Ghani, hal 7.
[6] Perubahan  nama dari SDI ke SI, menurut Abdul Azis Thaba, MA. Dalam Islam dan  Negara terjadi pada tanggal 11 November 1911 dalam suatu pertemuan di  Solo, hal.142.
[7] Abdul Azis MA.1996, hal 141.[8] Dalam Abdul Azis Thaba MA, 1996 hal 141.
[9] Korver, hal.22
[10] Utusan Hindia , 7 Maret 1912; Dalam Deliar Noer, hal 126
[11] Korver,op.cit. hal 50
[12] POKT (Persoverzicht in het Koloniaal Tidjschrift) 5 (1916) hal 86, dalam Korver, op.cit. hal 54.
[13] Korver, op.cit, hal 54
[14] Korver, op.cit. hal 57
[15] Korver, op.cit. hal 58
[16] Korver,op.cit. hal 60
[17] Menurut  Korver jumlah anggota SI seluruhnya pada periode 1912-16 ditaksir  sekitar 700.000 anggota   dengan 180 cabang. Korver, op.cit. hal 195.  Lihat juga Priggodigdo, op.cit. hal 7, menyatakan jumlah anggota SI  sampai tahun 1916 mencapai 800.000 anggota.
[18] Pringgodigdo,   op.cit. hal 6 menyatakan bahwa jumlah SI  pada tahun 1919 mencapai 2 juta orang.[19]Cabang-cabang SI sampai tahun 1916 telah dibuka di: Banten (1914) yaitu: Serang, Labuan dan Rangkasbitung. Jakarta (1913), meliputi: Jakarta, Tangerang, Jatinegara dan Bogor. Priangan, meliputi: Bandung, Cimahi, Cianjur, Sukabumi, Tasik Malaya, Cikalong Kulon, Majalaya dan Manonjaya. Cirebon: Cirebon, Indramayu, Ciamis, Majalengka, Kuningan, Jatibarang,Karangampel dan Losarang. Tegal (1913): Tegal, Pemalang, Brebes dan Patarukan. Banyumas (1913): Banjarnegara, Purbolinggo, Cilacap, Sukaraja dan Purwokerto. Pekalongan (1913) : Pekalanongan dan Batang. Bagelan (1913): Wonosobo, Kutoarjo, Purworejo, Gombong dan Kebumen. Kedu (1913): Parakan, Muntilan, Tumanggung dan Magelang. Semarang (1912): Kdus, Demak, Purwodadi, Semarang, Sukaraja, Salatia, Kendal, Ambarawa, Pati, Jepara, Godong dan Kaliwungu. YogyakartaSurakarta(1912): Surakarta, Sragen, Boyolali, Klaten, Batureno, Karanganyar, Delanggu dan Selo. RembangMadiun (1912): Madiun, Ngawi, Ponorogo, Magetan dan Pacitan. Kediri (1913): Kediri, Tulungagung, Gurah, Blitar, Pare, Nganjuk, Kertosono, Padangan dan Wlingi. Surabaya (1912): Surabaya, Sidoarjo, Jombang Mojokerto, Gresik, Sidayu dan Babad. MaduraPasuruan (1913): Malang, Bangil, Kapanjen dan Pasuruan. Probolinggo (1914): Probolinggo, Kraksaan, Paiton, Lumajang dan Gading. Besuki (1913): Banyuwangi, Jember, Situbondo, Bondowoso, Besuki dan Kalisat. Bali (1915): Jembrana. Distrik Lampung (1914): Telukbetung, Sukadan, Kota Bumi, Mangala, Aji Kagungan dan Negara Tulung Bawang. Bengkulu (1914): Bengkulu dan Kroe. Palembang (1915): Palembang, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi, Pagar Alam, Muara Bliti, Pulau Panggung, Menanga, Burai dan Batu Raja. Jambi (1916): Jambi, Muara Tembesi, Muara Tebo, Bangko dan Sarulangun Jambi. Riau (1914) : Indragiri. Sumatra Barat (1916) : Padang. Tapanuli (1916): Sibolga Padang Sidempuan, Barus dan Gunung Sitoli.  Sumatra Timur (1914): Medan, Labuan Bilik, Serdang, Langkat, Tanjung Balai dan Tebing Tinggi. Aceh (1915): Kota Raja, Singkel dan Sinabang. Kalimantan (1913): Samarinda dan Banjarmasin. Kalimantan Tenggara (1914): Negara,   (1913): Yogyakarta dan Kretek.  (1913): Rembang, Bojonegoro, Tuban,  Cepu, Sidorejo, Blora, Randublatung, Jatirogo, Lasem dan Singgahan.   (1913): Sepanjang, Sampang, Sapudi, Bangkalan, Sumenep, Pamekasan dan  Prenduan. Kendangan, Barabai, Pasir, Kota Baru, Pleihari, Martapura,  Muara Tewe, Alibiyu, Amuntai, Rantau, Sampit, BakumpaiParingin, Klua,  Balikpapan, Tenggarong, Kota Waringin dan Tabalong. Kalimantan Barat (1915): Pontianak dan Sulawesi (1914): Ujung Pandang (Makasar) dan Donggala. Korver, Op. Cit. Hal 227-230.
[20] Lihat Deliar Noer, op. Cit. Hal 126[21] Idem
[22] Deliar Noer, op, cit hal 126-127. Lihat juga Korver op.cit hal 58-59. Mansur, op.cit hal 200.
[23] Korver op.cit hal 270
[24] Dari  berbagai literatur, penulis menemukan bahwa kongres yang I (pertama)  diselenggarakan di Bandung pada tahun 1916. Pendapat tersebut  dikemukakan sebagai berikut: Mansur, dalam buku ‘Menemukan Sejarah,  1996, hal 192 dan198. Deliar Noer, dalam Gerakan Modern Islam di  Indonesia, edisi terjemah,1982, hal 126,142, kongres ke II tahun 1917.  Ape Korver, op. Cit hal 59, 63. Pringgodigdo, dalam Sejarah Pergerakan  Rakyat Indonesia, hal 7, sedangkan Kongres Nasional ke II  diselenggarakan di    Jakarta 20-27 Oktober 1917 dan ke III di Surabaya  29 September-6 Oktober 1918.
[25] Deliar Noer, op. cit, hal 127.[26] Program Asas ini konon didikte oleh Rosululloh dalam mimpi.
[27] Tafsir Program-Asas P.S.I.I , hal 3 dan 4.
[28] Deliar Noer, op.cit, hal 128-129
[29] Harry A. Poeze, Tan Malaka-Pergulatan menuju Republik, Jakarta, 1988, hal 165. Lihat juga, Korver, op,  cit, hal 6. Deliar Noer, hal 136. Ricklefs, hal 260
[30] Harry A. Poeze, op, cit, hal 165.[31] Ricklefs, op.cit, hal260.
[32] Riklefs,  op. cit hal 261. Deliar Noer menyebutka bahwa ISDV awalnya dihuni oleh  orang-orang Indo-Eropa yang tidak bersifat Komunis, tetapi kemudian  organisasi ini mempopagandakan ide Sosialis dan mengubah dirinya menjadi  perkumpulan Komunis setelah brhasilnya Revolusi Rusia.op. cit hal 136.  Lihat juga A.Poeze, op, cit hal 166.
[33] Pringgodidgo  menyatakan bahwa usaha-usaha yang dilakukan ISDV dalam rangka merekrut  anggota memakai organisasi lain sebagai perantara. Karena dia sendiri  tidak bisa bersandar pada rakyat umum. Anggota-anggota orang Belanda  mendekati serdadu-serdadu Belanda (Sneevliet), serdadu-serdadu Angkatan  Laut (Bansteder) dan Pegawai Negri sipil didekati oleh A.Baars,  sementara anggota-anggota bangsa Hindia disusupkan ke SI untuk mendekati  rakyat (Semaun). Op. cit. Hal 28.
[34] Poeze, op, cit hal 166.[35] Alimin,  lahir 1889 adalah generasi permulaan dari kaum komuis Indonesia selain  Muso, Ngadiman dan Sardjono. Alimin memasuki Budi Utomo dan Saerkat  Islam. Tahun 1910 muncul Insulinde yang merupakan organ sayap kiri Budi  Utomo. Aliminlah penanggung jawab majalah kepunyaan Insulinde di Batavia  dan merupakan anggota Komite Pimpinan Sarekat Islam. Ia kemudian  menjadi pimpinan Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda yang terbentuk  tahun 1914 dan menjadi Sekjennya di Batavia. Setelah Persatuan Demokrat  berubah menjadi Partai Komunis Indonesia tahun 1923, Bulan Desember  1924 ia diangkat menjadi anggota pimpinan PKI. Setelah gagal dalam  pemberontakan akhir tahun 1926- awal 1927, Alimin beserta Muso tak bisa  kembali ke Indonesia setelah sebelum pemberontakan ia ditugaskan untuk  meminta nasehat Intenationale. Setelah mengalami berbagai peristiwa ia  balik ke Moskow. Partai Komunis dilarang. (Prisma No.8 Tahun 1979, Hal  50)
[36] A.Poeze, op, cit hal 166.[37] Deliar Noer, op. cit hal 134.
[38] Infiltrasi  yang dilakukan oleh ISDV mengakibatkan gerakan SI berubah, yang tadinya  berpusat pada usaha menanamkan kesadaran politik dan ekonomi nasional  terhadap rakyat, setelah ada serangan dari pihak Semaoen dkk. Maka para  pemimpin SI berkonsentrasi menghadapi serangan ini agar cita-cita  pergerkan tetap dalam jalur yang benar. Mansur, op. cit. Hal 251. Lihat  juga Pringgodigdo yag ,enyatakan pengaruh ISDV membuat SI cenderungnke  kiri, di samping pengaruh sifat penjajahan yang ber arti oleh bangsa  untuk bangsa asing. Op.cit. hal. 8-9.
[39] Deliar Noer, op. cit. Hal 136.[40] Ricklefs, op. cit. Hal 263.
Serangan balasan dilakukan Agus Salim dalam Neratja edisi 1 Oktober 1917, menulis:
“Adalah suatu kaum yang harus kita  jauhkan dari pada pergerakan kita, suatu kaum yang hendak menerbitkan  perceraian antara bangsa kita yaitu kaum yang hendak membagi bangsa kita  atas‘kaum pekerja’ dengan ‘kaum bermodal’. Kaum itu alah kaumnya  membatalkan hak milik, yang memakai nama ‘socialist’yang dibangunkan dan  dikembangkan dalam ngri ini oleh tuan-tuan Seneevliet, Baars dan  lain-lain….kaum socialist itu membuta tuli saja hendak memindhkan  sengketa dan perselidihan di rumah tangganya (Eropa) ke Tanah Air  kita,padahal suatu pun tidak ada sebabnya bagi kita akan bersebgketa  atau berselisih dalam rumah tangga kita”. Deliar Noer, hal. 133
[41] Sejak  Revolusi Rusia pada tahun 1917, ISDV menjadi badan Komunis yang nyata.  Pada akhir tahun 1917, ISDV telah menghimpun 3.000 orang sedadu dan  kelasi ke dalam sovie-soviet, terutama di pelabuhan Surabaya. Lhat  Ricklefs, op..cit. hal 265.
[42] Meminjam  istilah Pringgodigdo yang menyatakan bahwa SI pada masa itu ‘bergeser  ke kiri’. Pengaruh pentolan ISDV, juga tercermin dalam Anggaran dasar  CSI sebagai sala h satu dasarnya yaiu perjuangan menentang kapitalisme  berdosa. Pringgodigdo, op. cit. Hal. 8, 28. Lihat juga Ricklefs, hal  262-263, A. Poeze, op.cit. hal 167.
[43] Deliar Noer, op. cit. Hal. 135.[44] Dalam Mansue, op. cit. Hal 215.
[45] Dalam Deliar Noer, op. cit hal 138-139
[46]Berkurangnya  jumlah peserta yang hadir pada kongres ini dibanding kongres-kongres  sebelumnya,    sebahagian disebabkan kesukaran keuangan (seringnya  kongres diadakan dengan sendirinya merupakan beban yang berat bagi para  anggota dalam hal keuangan). Disamping itu reaksi represip Pemerintah  Belanda dalam menghadapi kecenderungan kekerasan politik yang terjadi  pada saat itu, menyebabkan para pendukung partai merasa tertekan dan  takut. Faktor  lain yang sangat berpengaruh adalah konflik elit partai  yang menjurus pada hal-hal yang bersifat pribadi, telah turut pula  merenggangkan ikatan kepemimpianan terhadap pengikut massa pengikut yang  mulai mempertanyakan hubungan mereka terhadap partai. Hal ini juga  suatu bukti bahwa, penetrasi golongan Komunis yang beroperasi sejak  tahun 1914 telah berhasil memecah kekuatan SI. Lihat Deliar Noer, op  cit  hal 141
[47] Total  waktu brbicara bagi golongan komunis pada kongres ini adalah 15 menit,  lima menit untuk Semaoen, lima mnit untul Tan Malaka dan lima menit  untuk wakil komunis cabang selain Semarang.Hal ini berbeda dengan  masa-masa sebelumnya dimana golongan Komunis bebas berbicara tanpa  dibatasi waktu dan materinya. Sebelum naik ke mimbar ketua panitia  mengingatkan kepada pihak Komunis untuk tidak melakukan propaganda  Komunis. A.Poeze,op.cit.hal 205.
[48] Peristiwa  Cimareme terjadi ditengah-tengah ancaman kelaparan yang mengancam pulau  Jawa, untuk mengatasi bahaya kelaparan tersebut Pemerintah Belanda  mengambil kebijakan untuk mengambil beras dari para petani dengan jumlah  tertentu. Tetapi dalam tehnis pengambilan beras tersebut tidaklah  sesuai dengan ketentuan, melainkan sesuai dengan para pejabat setempat  yang berbua sewenag-wenang. Bahkan pengambilan beras seringkali tidak  memakai tanda terima, sehingga penyerahan beras dilakukan beberapa kali.
Haji Hasan seorang penduduk berusia  86 tahun, menolak meyerahkan jatah beras dengan alasan jatah beras  tersebut untuk menghidupi sejumlah orang yang harus diberi makan. Pada  bulan April dia memohon kepada pemerinah untuk mengurangi jumlah padi  yang harus diserahkan, tetapi Bupati menolak dan mengutus Wedananya  untuk tetap mengambil berdasarkan jumlah yang telah ditentukan.
Pada tanggal 7 Juli 1919, datanglah  Wedana dan para pamongnya. Haji Hasan bersama keluarga dan warga  setempat berbaris dengan pakaian putih dan menolak menyerahkan padi,  kemudian Wedana melaporkan hal ini kepada Residen dan Bupati bahwa  masyarakat di kampung Cimareme mau menyerang para Pejabat Pemerintah.  Tidak lama kemudian datanglah Residen dengan 30 orang polisi, kemudian  Bupati yang juga datang menyita keris dan baju Haji Hasan dan warganya.  Karena Haji Hasan dan Warganya tidak mau beranjak dan membubarkan  barisannya, Residen menyuruh polisi untuk menembak barisan tersebut.  Maka empat orang tewas seketika, 20 orang luka berat, 30 petani  ditangkap serta sebahagian lain berhasil melarikan diri. Lihat Deliar  Noer, op.cit.hal 215-216. Ricklefs, op.cit. hal 263.
[49] Sosrokardono,  Sekretaris CSI pada masa itu dituduh berpartisipasi dalam suatu  organisasi yang mempunyai tujuan untuk melakukan kejahatan (maksudnya  Afdeling-B, pen.). Diadili di Cianjur pada bulan November 1920, kemudian  dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. M.C. Ricklefs, berpendapat bahwa   Sosrokardono lah yang mendirikan Afdeling B atau Seksi B atau Sarekat  Islam B suatu cabang revolusioner, pada tahun 1917. Ricklefs juga  menyatakan bahwa penangkapan terhadap kasus Afdeling B, selain  Sosrokardono ditangkap juga Alimin dan Muso dimana pada saat mereka  adalah orang ISDV yang disusupkan ke SI. Pada tahun 1923, Sosrokardono  dibebaskan, kemudian bersama Alimin dan Muso bergabung dengan PKI. Pada  harian Kemajuan Hindia edisi 30 Agustus 1924 memuat berita bahwa  Sosrokardono menaruh dendam kepada Tjokroaminoto dan bersama PKI menuduh  beliau sebagai orang Pengecut. Ricklegs, op.cit. hal. 264,271. Noer,  op.cit.hal. 218.
[50] Robert  Van Niel, ‘Development of the Indonesian Elite in the Early Twentieth  Century’, Desertasi Ph.D, Cornel Unversity,1954. Menyatakan fihak  Belanda bertahan pada pendapat bahwa Afdeling-B adalah sebuah  organisasi  rahasiah yang mempunyai tujuan untuk menggulingkan  pemerintahan atau mau membunuh semua orang Eropa dan Cina. Sementara itu  Neratja, edisi 24 Februari 1919 melaporkan mengenai sebuah  pengumuman yang dikeluarkan oleh Central Sarekat Islam bahwa orang yang  bernama Haji Ismail, Pemimpin Afdeling-B, pernah menjadi Ketua SI  Manonjaya pada tahun1914. Afdeling B didirikan pada tahun 1917 oleh Haji  Ismail dengan menempatkan para anggotanya pada disiplin keras. Kemudian  pada tanggal 24 Februari 1919 Haji Ismail Mendatangi Tjokroaminoto dan  menyatakan kesediannya dia dan para pengikutnya untuk menerima intruksi  dari CSI. Tjokroaminoto, selakku Presiden CSI menolak tawaran tersebut  disebabkan tidak mengetahui bentuk dari Afdeling B tersebut. Kemudian Neratja,  edisi 29 November 1919 memuat laporan G.A.J. Hazeau, Penasihat  Masalah-masalah Bumiputra, yang menyatakan bahwa Haji Hasan adalah musuh  SI. Dalam Deliar Noer, op. cit. hal. 217.
 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar