Susno Duaji, seorang mantan Kabareskrim  yang belakangan getol menjadi ”peniup peluit” (whistleblower) membongkar  mafia di kepolisian, akhirnya ditahan oleh kepolisian. Dia diduga  menerima suap dalam sebuah kasus.
Sejauh mana itu benar tentu  pengadilan yang akan mengujinya, tetapi penahanan ini mengindikasikan  bahwa nyanyian soal mafia ini bukanlah nyanyian yang sumbang.  Penyelidikan dan penyidikan harus secara tuntas dilakukan karena soal  mafia yang selama lebih dari satu dasawarsa dibantah, nyatanya sekarang  diakui ada oleh pemerintah.
Persoalan korupsi, kolusi dan  nepotisme di tubuh penegak hukum memang sangat serius dan bisa  menghancurkan lembaga penegak hukum kalau tidak diberantas. Korupsi  adalah persoalan global di mana tak sebuah negara pun yang tak terserang  korupsi. Di banyak negara lain, gerakan pemberantasan korupsi menjadi  gerakan nasional yang bergandeng tangan dengan gerakan global. Maka,  muncul banyak terminologi yang dipakai untuk melawan korupsi, seperti  perlunya good governance dan good corporate governance.
Sejalan  dengan itu, berbagai survei dilakukan oleh beberapa lembaga  internasional yang nyatanya menyedot perhatian dunia dan dijadikan  rujukan di banyak negara termasuk Indonesia. Survei Indeks Persepsi  Korupsi (IPK) yang diadakan setiap tahun oleh Transparency International  selalu dipublikasikan luas dan dirujuk oleh Presiden di rapat kabinet.  Tahun 2009, misalnya, IPK Indonesia memperoleh skor 2,8, lebih baik  daripada skor pada tahun 2008 yang 2,6. Indonesia termasuk negara yang  tingkat korupsinya sangat parah dan di kawasan Asean masih berada di  bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Semua upaya pemerintah  dalam memberantas korupsi tak mampu mengubah persepsi yang negatif  tentang korupsi.
Kuartal terakhir 2009, pemberantasan korupsi di  Indonesia mengalami kemunduran ketika Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) ditengarai terlibat kasus pembunuhan yang seperti sebuah cinta  segitiga walau dikaitkan pula dengan adanya kasus yang ditangani.  Kemudian dua komisioner KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto  ditengarai menerima suap dan berseteru dengan kepolisian. Tuduhan ini  ternyata tidak berdasar fakta, melainkan sebuah pelemahan terhadap  institusi KPK sudah dimulai.
Publik mulai melihat bahwa  pemberantasan korupsi di Indonesia hampir seperti sesuatu yang muskil.  Ketidaktegasan pemerintah yang membiarkan pelemahan KPK ini berlangsung  disimpulkan sebagai suatu indikasi melemahnya komitmen pemberantasan  korupsi. Popularitas pemerintah segera merosot drastis, dan ini membuat  iklim pemberantasan korupsi semakin melemah.
Barangkali Presiden  sadar bahwa dia mesti melakukan sesuatu untuk merebut kembali  kepercayaan rakyat. Sebuah tim, tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia  Hukum, dibentuk sebagai ujung tombak pelaksanaan komitmen pemerintah  memberantas korupsi. KPK mesti didukung, apalagi KPK mulai terserang  semacam demoralisasi. Dalam keadaan seperti ini, sebuah survei dilakukan  oleh Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) yang  celakanya menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling korup di  antara 16 negara yang disurvei. Skor Indonesia adalah 9,27. Indonesia  lebih buruk ketimbang Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06),  Thailand (7,60), Malaysia (6,47) dan Singapura (1,42). Survei dengan  rentang 0-10, 0 untuk negara paling bersih korupsi dan 10 untuk negara  paling korup, menunjukkan bahwa Indonesia telah sampai pada situasi  terburuk di mana korupsi hampir sempurna. Sama sekali saya tak terkejut.  Siapa pun tak seharusnya terkejut karena survei ini diadakan  pascapelemahan KPK yang terjadi pada kuartal keempat 2009. Pesimisme  memang sesuatu yang tak terhindarkan.
Apakah antisipasi terhadap  persepsi yang semakin negatif ini yang membuat Presiden membentuk Satgas  Pemberantasan Mafia Hukum saya tidak tahu. Namun, Satgas telah membuka  kotak pandora mafia hukum yang selama ini dibantah secara keras.  Terbongkarnya kasus Gayus Tambunan telah berekor panjang: menyebar ke  mana-mana sehingga sekarang masyarakat melihat bahwa ada tali-temali  mafia hukum yang menyebar di kantor pajak, kepolisian, kejaksaan,  pengadilan, profesi advokat, dan lembaga pemasyarakatan.
Mereka  disebut sebagai markus, dan markus ini menjadi semacam ”unwilling  whistle blower” yang mengumbar nama-nama sehingga gurita mafia hukum ini  terkuak. Proses hukum terhadap mereka ini tengah berjalan dan sejauh  mana perkembangannya akan segera kita saksikan.
Yang pasti  sekarang kata mafia hukum tak bisa terbantahkan lagi. Presiden  menggunakan terminologi ini, dan ini merupakan pengakuan resmi bahwa  negara ini dirusak oleh mafia. Mafia hukum tentu tak akan hilang  seketika. Dalam negara yang korupsinya sistemik, endemik, dan  merajalela, dibutuhkan waktu yang panjang untuk memerangi korupsi. Yang  penting adalah jangan pemberantasan korupsi ini hanya untuk politik  pencitraan, hangat-hangat tahi ayam.
Pemberantasan mafia hukum  ini harus semakin agresif walau saya lebih cenderung operasi  pemberantasan mafia hukum ini difokuskan pada satu dua institusi saja.  Menetapkan target sembilan mafia adalah target yang terlalu besar yang  bisa jadi mengaburkan tujuan pemberantasan mafia hukum itu sendiri.  Mengapa tak memberantas tuntas mafia hukum di kantor pajak atau  kepolisian, dan menjadikan kedua institusi itu kelak sebagai ”island of  integrity’” pulau integritas yang akan dijadikan model bagi pengembangan  pulau-pulau lainnya.
Mengejar sembilan mafia akan membuat fokus  pemberantasan mafia menjadi lemah. Di sini, pengalaman Hongkong yang  berkonsentrasi pada kepolisian menjadi pelajaran menarik. Karena yang  kita bangun di sini adalah sistem, reformasi sistem birokrasi. Bukan  sekadar menjebloskan orang ke penjara. Kalau sistem itu tak dibangun  dalam bangunan sistem birokrasi yang bersih, mafia akan tumbuh kembali,  dan pelan atau lambat negeri ini akan jadi apa yang secara sinis  dikatakan sebagai ”republik mafia”. Sekaranglah saatnya untuk mengatakan  bahwa bukan mafia yang memerintah negara, melainkan negaralah yang  berkuasa dan memerintah.
Todung Mulya Lubis 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia 
selokertojaya.blogspot.com 
 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar