Osama (atau Usamah) bin Laden - ObL - yang menurut informasi dari AS tewas terbunuh pada serangan di kediamannya, Abottahad Pakistan. Kematian ObL disikapi mendua oleh dunia, senang dan sedih. Senang dialami oleh (sebagian) warga AS, khususnya yang menjadi korban pengeboman WTC dan pemerintah AS. Pemerintah AS bahkan membuat pernyataan ‘justice has been done‘ untuk menunjukkan bahwa dengan terbunuhnya ObL seolah-olah keadilan telah ditegakkan.
Keadilan substantive ataukah keadilan sebagai bentuk pembalasan dendam tidak lagi menjadi bagian dari refleksi dari penegakan hukum. ObL menjadi salah satu tokoh penting dunia dengan pencitraan yang bernegasi dengan Dalai Lama mulai dikenal setelah pengeboman WTC AS. Sejak saat itu ObL menjadi individu yang paling dicari untuk dimintakan pertanggung jawaban atas berbagai aksi teror yang dilakukan kelompok yang mengatasnamakan pembelaan kepada Tuhan.
Pencarian dilakukan, segala sumber daya yang dimiliki dikerahkan untuk mencari ObL. Pelosok dunia diobok-obok, dan ‘pusat’ pencarian dilokasir di negara Pakistan. Pencarian ObL dan pengerahan sumber daya ternyata menghasilkan pergerakan roda industri, khususnya industry mesin militer. ObL menjadikan dunia ‘bersatu’ untuk melakukan perburuan. Figure pemersatu disematkan karena berhasil membangun solidaritas dunia atas terorisme dengan mendukung AS dalam melakukan pencarian beliau.
ObL sebagai fenomenal dalam penegakan hukum. Disebut fenomemal karena dalam upaya melakukan pencarian dengan menangkap para pelaku teror lainnya. Penangkapan dilakukan untuk mencari tahu keberadaan ObL. Guantanamo menjadi saksi bagi interogasi atau penyidikan bagi individu yang diduga sebagai pelaku teror. Bahkan metode interogasi atau penyidikan menggunakan cara-cara primitive dan bertentangan dengan kemanusiaan (HAM). Setitik informasi menjadi penting dan wajib ditelusuri, untuk membangun ‘puzzle’ keberadaan ObL.
Penegakan hukum melintasi wilayah negara dan system hukum dengan kemungkinan tanpa keinginan untuk benar-benar menegakkan hukum. Melainkan melakukan pembalasan dendam atas aksi teror yang dilakukan. Saksi dicari, ditangkap dan diinterogasi untuk mendukung kesalahan atau menegaskan bahwa ObL adalah tokoh yang berada dibalik aksi teror diseantero dunia. Penegasan tersebut didukung oleh media yang secara masif memberitakan pernyataan dari AS dan negara-negara pendukungnya. Pernyataan AS disebarluaskan, seolah-olah menafikan pernyataan ObL (dan Al Qaeda) dan menganggap pernyataan ObL sebagai omong kosong dan bohong.
ObL adalah pahlawan bagi polisi dunia. Karena berhasil mencitrakan AS sebagai pemimpin dunia dalam memberantas terorisme dengan kebijakan preemtif-nya pada masa kepemimpinan George W. Bush. Ketika terorisme menjadi alat propaganda yang mengijinkan AS untuk melakukan operasi militer dan intelejen di beberapa negara. Dan atas nama pemberantasan terorisme, negara-negara berdaulat ‘tunduk’ pada kemauan AS. Apalagi negara-negara yang pernah terkena serangan terorisme, akan dengan suka hati untuk membuka pintu kedaulatan nasionalnya kepada kepentingan AS.
Bahkan Indonesia-pun tidak luput dari pengaruh kepahlawanan ObL. Pembentukan Densus 88 POLRI yang hadir dengan bantuan/asistensi dari AS yang berkepentingan atas pemberantasan terorisme. Bangsa Indonesia sudah merasakan kehebatan Densus 88 dalam mengungkap pelaku terorisme. Semua itu karena ObL juga melahirkan (baca: mendidik) pelaku teror dengan ‘bahan baku’nya orang Indonesia. Dan sebagai anak didik ObL tidak memalukan ‘guru’nya dalam melakukan aksi teror-nya. Aksi terorisme selain menghasilkan Densus 88, juga menghasilkan dasar hukum dalam rangka pemberantasan terorisme.
ObL, tokoh fenomenal yang pernah lahir di dunia. Aksi kekerasan modern yang dikonstruksi sebagai teror(isme) ‘diciptakan’ dan dipropagandakan oleh figure ObL. Entahlah, apakah perlu berterima kasih atau bersyukur atas keberadaan figure ObL ataukah ikut mengutuki ketika dinyatakan tewas dalam serangan militer oleh AS? Harapannya adalah aksi teror dan terorisme dapat meniada, bukanlah malah terjadi penggadaan. Penggadaan termasuk pencarian model baru teror dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Dalam hal ini tetap masih diperlukan usaha bersama dalam membangun perdamaian dunia, termasuk pemaknaan atas perdamaian dunia di era teknologi informasi.
Perdamaian yang mengedepankan dialog dalam kesetaraan dan keadilan, bukan didasarkan pada keinginan untuk menaklukkan atau menguasai dalam berbagai bidang kehidupan. Perdamaian antar bangsa yang melahirkan keadilan. Keadilan yang dilandaskan pada kemajemukan atau keberagaman sebagai keniscayaan hidup.
Yakub Adi Krisanto
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar