Kota Solo yang pernah menorehkan sejarah berdirinya organisasi sepak bola Indonesia. pada tahun 1930 kali pertama Kongres PSSI digelar dan Ir. Soeratin adalah orang yang pertama kali dipercaya oleh masyarakat sepak bola tanah untuk memimpin PSSI.
Napak tilas 80 tahun lalu, kini akan terulang kembali. Kota Solo dipilih untuk menjadi tuan rumah Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI 2011. Dulu 80 tahun lalu adalah awal kebangkitan persepakbolaan Indonesia, tetapi KLB PSSI yang akan berlangsung besok 9 Juli 2011 merupakan penentuan akan nasib dan wajah persepakbolaan tanah air.
Berbulan-bulan lamanya tubuh PSSI mengalami perpecahan, terhitung awal Maret 2011 PSSI mengalami stagnan kepemimpinan setelah Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI dibekukan oleh pemerintah. Awal April 2011 FIFA mengambil keputusan dengan membentuk Komite Normalisasi sebagai pelaksana harian PSSI sekaligus yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kongres PSSI dari krisis kepemimpinan.
Berdirinya Komite Normalisasi menimbulkan secerca harapan akan kembali normalnya wajah sepak bola tanah air, namun dalam perjalannya Komite Normalisasi banyak menemui hambatan dan rintangan. Ketua Komite Normalisasi, Pak Agum Gumelar dianggap berat sebelah dalam menjalankan tugasnya.
Pemicunya adalah keputusan FIFA yang melarang empat orang (Arifin Panigoro, George Toisutta, Nirwan Bakrie dan Nurdin Halid) untuk mencalonkan kembali sebagai Ketua Umum PSSI. Komite Normalisasi tetap berpegang pada keputusan FIFA, sementara mayaoritas peserta kongres menginginkan keputusan ada ditangan pemilik suara. Pada titik akhir pelaksanaan kongres tanggal 20 Mei 2011, Komite Normalisasi dan mayoritas pemilik suara tidak mencapai titik temu, sehingga kongres tersebut berakhir deadlock tanpa menghasilkan keputusan apapun.
Kegagalan kongres di Jakarta yang lalu tidak membuat FIFA berang, ternyata nama Indonesia masih mempunyai daya magic tersendiri oleh FIFA, sebagai buktinya Sepp Blater melah memberikan kesempatan terakhir untuk melakukan perbaikan tentang konsisi tubuh PSSI.
Akhirnya kota yang terkenal dengan Bengawan Solo tersebut dipilih untuk menjadi pertarungan terakhir tentang nasib sepak bola Indonesia.
Di Solo PSSI lahir dan di Solo pula PSSI dipertaruhkan.
Kami pencinta sepak bola tanah air berharap, KLB di Kota Bengawan bisa mengakhiri kemelut di tubuh PSSI selama ini, bila KLB kembali gagal memilih kepenguruan PSSI yang baru, secara otomatis FIFA menjatuhkan sanksi.
Seperti syair “Bengawan Solo”, harapannya konflik yang selama ini berkecamuk, termasuk silang pendapat antara Komite Normalisasi dengan Pendukung George Toisutta dan Arifin Panigoro, bisa terbawa aliran sahdu Bengawan Solo, yang letaknya tak jauh dari lokasi Kongres Luar Biasa PSSI, konflik itu menuju muara dan akhirnya terkubur kedasar laut. Jangan ada lagi dikotomi seolah-olah Komite Normalisasi pro Status quo, dan pendukung George Toisutta, Arifin Panigoro adalah orang-orang reformis.
Satu lagi, kami berharap Komite Normalisasi dan peserta KLB bisa bersikap laksana laut, yang artinya bersikap sabar dan rendah hati. Lautan sanggup menampung apa saja, sekalipun limbah yang datang, laut tetap akan menerima, dan tanpa membuat airnya keruh ditengah gelombang ombak yang terus bergemuruh. Dalam konteks kali ini, tak bosan-bosan kami berharap Komite Normalisasi dan peserta KLB bisa berpikir jernih dan bersikap arif juga sabar seperti laut, ditengah dinamika adanya perbedaan pendapat.
KLB di Solo besok 9 Juli 2011 adalah masa “Injury time” terakhir, Komite Normalisasi dan peserta kongres tentu punya cara untuk menyelamatkan persepakbolaan tanah air.
Salam.
Frans Az
Sumber: www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar