Pada Mei 1998 merupakan titik penting dalam sejarah Indonesia.  Dari  titik ini, perubahan bermula. Rezim Orde Baru (ORBA) yang berkuasa  selama 32 tahun tumbang oleh gerakan massa. Mereka  disatukan oleh sebuah tuntutan: REFORMASI. Reformasi kemudian adalah  kata kunci pada perubahan di pentas public Indonesia. Apa yang  sebelumnya tidak boleh dijamah berubah menjadi wilayah yang boleh  diobrolkan secara terbuka. Wacana penerapan Syariat Islam (SI) yang di  ‘tiarap’-kan pada masa ORBA kembali muncul ke permukaan. Seolah memutar  ulang fragmen sejarah, perdebatan tentang Piagam Jakarta kembali  mengemuka di sidang umum MPR.
Lebih jelas Arskal Salim menyatakan, bahwa perdebatan mengenai  peluang penerapan syariat (hukum Islam) di Indonesia, melalui Piagam  Jakarta, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah berkesudahan sejak  sidang BPUPK/PPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru, tema ini  muncul kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29  UUD 1945 yang bergulir pada Sidang Tahunan MPR dalam dua tahun terakhir  ini.
Aceh yang menjadikan penerapan SI sebagai kartu tawar menawar  politik  dengan Jakarta (pemerintah pusat), mendapatkan kado istimewa  dengan terbitnya UU Nomor 44/1999 tentang keistimewaan Aceh; sebuah  undang-undang yang menandai mulainya pemberlakuan SI di Aceh.
Melalui pintu otonomi daerah, banyak daerah-daerah lain yang kemudian  menerbitkan peraturan-peratuaran daerah (perda) yang mengadopsi SI.    Belakangan, rancangan undang-undangan anti pornografi dan pornoaksi (RUU  APP) ditengarai sebagai perwujudan SI. Pertanyaan yang segera muncul  adalah : Ada apa dengan gairah besar dari sebagian komponen bangsa untuk  menerapkan SI di Indonesia ?. Apakah SI merupakan jalan keluar bagi  bangsa Indonesia yang di dera seribu satu masalah itu ? Apa  problem-problem krusial bagi penerapan SI di Indonesia ? Adakah jalan  keluar yang rasional dan realistis bagi kontroversi penerapan SI di  Indonesia ? pertanyaan-pertanyaan yang mesti dijawab oleh diri kita  sendiri sebagai bangsa dan warga Negara Indonesia yang baik.
Kata kontroversi adalah kata yang pas untuk mewakili wacana ini.  Karena memang kontroversi penerapan SI di Indonesia terjadi di semua  level. Paling tidak ada dua level yang paling kentara, yaitu level  internal dan level eksternal. Pada level internal, menyangkut tentang  isi tubuh syariat itu sendiri, pertanyaan-pertanyaan elementer-nya  adalah: Apa yang dimaksud syariat dalam hal ini (ontologis) ?, Bagaimana  merumuskan syariat yang hendak di undangkan itu (epistemologis) ?,  Bagaimana syariat mesti diterapkan dalam kontek local dengan karakter  yang berbeda-beda di Indonesia (aksiologis) ?
Pada level ontologis, perdebatan tentang syariat Islam (SI)  sebenarnya bukan khas Indonesia. Pemikiran Arab kontemporer banyak  membicarakan hal ini. Persoalan poros-nya adalah bagaimana memandang  kaitan antara teks (al-Qur’an dan hadis) dengan realitas. Setidaknya ada  tiga aliran dalam hal ini: skriptual, moderat dan liberal. Kaum  skriptualis memandang bahwa realitas harus tunduk kepada teks. Aliran  moderat melihat bahwa teks dan realitas mesti  berdialog untuk  menghasilkan aturan yang disepakati. Sedangkan kelompok liberal  memandang bahwa oleh karena teks diturunkan untuk kepentingan realitas,  maka ia harus menyesuaikan diri terhadap realitas.
Fakta sosiologis  menunjukkan bahwa ketiga kelompok ini -dengan  segala perangkapnya masing-masing- masih sedang bergulat dalam wacana  Indonesia kontemporer. Tidakkah ini problematik ? Lantas pada level  aksiologis-syariat Islam berhadapan dengan persoalan yang tidak  sederhana. Ini mengantarkan kita untuk berpindah pada sisi eksternal  dari problem penerapan SI di Indonesia.
Untuk mengambil beberapa sampel, kita bisa menyebut –dalam konteks  ini- : Problem pluralitas-kebhinnekaan Indonesia, transformasi sosial  dan interaksi-belajar dengan dan dari dunia luar yang meliputi  Negara-negara Muslim ataupun Negara-negara Barat. Pada soal  pluralitas-kebhinnekaan Indonesia, penerapan SI di Indonesia menghadapi  tantangan (challenge) yang cukup serius. Masalahnya, Indonesia  ditakdirkan lahir sebagai bangsa yang heterogen (warna-warni) bukan  homogen (satu warna) dan itu direpresentasi oleh Pancasila dan UUD 1945  sebagai basic Negara dan konstitusi. Akibatnya, seluruh warga negara  Indonesia berkedudukan dan berhak mendapat perlindungan dan perlakuan  yang sama dari Negara tanpa memandang back ground/ latar belakang agama  yang dianutnya, suku dan warna kulit.
Persoalan yang cukup serius di sini adalah bagaimana penerapan  syariat  tidak melibas-menafikan keserbanekaan tersebut. Kondisi inilah   yang menjelaskan mengapa pendekatan politik-legal penerapan SI di  Indonesia selalu mendapat tantangan, bukan hanya dari kalangan  non-muslim, bahkan dari kalangan tokoh-tokoh Islam sendiri. Taruhannya  sangat serius yaitu eksisnya Indonesia sebagai bangsa kokoh bersatu.  
Maka, banyak tokoh-tokoh Islam atau organisasi Islam yang mengambil  jalan panjang dengan transformasi sosial. Artinya, masyarakat –lewat  lembaga-lembaga dan nilai-nilai social- terus dikondisikan untuk semakin  Islami. Idealismenya, tanpa pendekatan politik-kenegaraan pun kelak,  rakyat Indonesia akan menjalankan syariat Islam dengan sendirinya.
Terma pemberlakuan syariat Islam tidak mesti berujud pemberlakuan  fiqh Islam sebagai hukum positif Negara. Menurut M. Imdadun Rahmat,  penerapan hukum fiqh bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tanpa  harus menjadi hukum Negara.
Lebih lanjut, Imdadun Rahmat menyatakan bahwa bentuk Negara ‘nation state’  dengan system demokrasinya cukup menyediakan peluang bagi terwujudnya  Negara yang Islami. Artinya Negara yang mampu melindungi kemaslahatan  rakyatnya sehingga hak-hak mereka sebagai warga Negara terpenuhi,  termasuk hak untuk mengekspresikan agamanya dengan leluasa.
Mempelajari syariat itu penting. Sehubungan dengan hal ini, maka  penting bagi kita mempertimbangkan perkataan Prof. TM. Hasbi  Ash-Shiddiqie bahwa maksud kita mempelajari syariat Islam ialah supaya  kita bisa menyusun satu fiqh yang berkepribadian kita sendiri, seperti  sarjana-sarjana Mesir sekarang ini berusaha memesirkan fiqhnya. Fiqh  Indonesia ialah fiqh yang ditetapkan sesuai dengan tabiat dan watak  serta kepribadian  Indonesia.[1]
Sedangkan pada level eksternal,  transformasi yang telah dilakukan,  misalnya oleh NU sejak 1984, perlu terus dilakukan dengan kualitas yang  terus ditingkatkan. Langkah ini kemudian dikemas dalam wacana yang  santun, anti kekerasan, dialogis dan mengedapankan rahmat. Ketika  terbukti di bumi realitas bahwa Islam benar-benar menjadi rahmatan lil- alamin, tanpa diformalkan sekalipun, Islam akan menjadi nilai obyektif di tengah-tengah masyarakat.
Dalam khazanah klasik, kita akan menjumpai pandangan seperti ini pada  visi politik imam Malik yang belakangan mazdab fiqh-nya akrab dengan  tradisi local dengan konsep mashlahah mursalah dan maqashid syariah-nya. Selanjutnya kesediaan untuk tunduk pada aturan main bersama (rule of the game)   pada saat kekuatan Islam menjelma menjadi entitas politik berupa  partai-partai harus terus dipupuk untuk dalam semangat menyemaikan  demokrasi.
Telah terbukti bahwa demokrasi sebagai perangkat bernegara tidak  kontradiktif dengan Islam. Dan akhirnya, tetap perlu digalang  konsolidasi global antar Negara dan komunitas muslim untuk mewujudkan  tata dunia yang lebih adil dan damai.
Semua tawaran aksi di atas bukanlah jawaban jadi, tetapi kerja keras  untuk mewujudkannya akan menentukan masa depan Indonesia. Satu hal yang  perlu penulis tegaskan lagi bahwa dari pada energy bangsa kita habis  untuk ‘bertengkar’ dalam soal-soal yang tidak perlu, mengapa kita tidak  membicarakan sesuatu yang dalam jangka panjang lebih menjamin kohesi   kebangsaan, kebanggaan menjadi sebuah bangsa dan capaian-capaian riil  pada pembangunan sumber daya manusianya (SDM).
Oleh Dedy Susanto 
Daftar Pustaka:
 
Arskal Salim. Penerapan Syariat Bukan Negara Islam. 24/03/2002
Mohd. Idris Ramulyo, S.H., M.H. Asas-asas Hukum Islam, Sinar Grafika: Jakarta, 1997
Penerapan Syariat Islam Di Indonesia: Melihat Problem, Mencari Solusi. Saturday, April 15, 2005
dzuzant.wordpress.com 
 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar