| Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si | 
|   “Stop Segera TKI ke Arab Saudi”, begitu bunyi headline  Kompas, 20 November 2010. Tulisan itu berangkat dari fakta bahwa kasus  demi kasus kekerasan yang menimpa para tenaga kerja Indonesia di luar  negeri terus saja terjadi. Naluri kita sebagai bangsa terusik mendengar  dan melihat dari tayangan televisi tentang penderitaan secara fisik dan  psikis yang dialami saudara-saudara kita di negeri orang demi sesuap  nasi untuk menyambung hidup. Beberapa di antaranya malah ada yang  meninggal dunia. Belum lagi yang mengalami pelecehan seksual – sampai  ada yang pulang membawa anak tanpa ayah yang jelas.  Kekerasan demi kekerasan yang menimpa  para tenaga kerja di luar negeri sungguh membuat martabat dan harga diri  bangsa ini sedemikian rendah. Kasus yang menimpa Sumiati (23), warga  Kabupaten Dompu, NTB  baru-baru ini memperpanjang daftar keprihatinan  kita yang mendalam. Perlindungan terhadap TKI dari pemerintah, dalam hal  ini Kementerian Tenaga Kerja, juga sangat lemah, sehingga setelah ada  kejadian pemerintah baru ramai-ramai mengambil langkah penyelesaian.  Kesannya pemerintah sangat reaktif dan tidak antisipatif. Sebagai misal, terakit kasus Sumiati,  Presiden segera menggelar Rapat Kabinet khusus untuk menyelesaikan  masalah tersebut dengan mengundang para menteri terkait.  Tetapi akar  persoalan mengenai TKI secara keseluruhan tampaknya tidak tersentuh.  Karena tidak ada grand design pembangunan ketenagakerjaan,  tampaknya kasus demi kasus mirip Sumiati akan terus terjadi. Saya pun  bertanya apa permsalahan TKI  yang sudah sekian lama terjadi tidak cukup  menjadi pelajaran bagi bangsa ini untuk membangun sistem  ketenagakerjaan Indonesia yang lebih bermartabat. Tulisan ini mencoba mengurai kasus  Sumiati dan tenaga kerja Indonesia di luar negeri pada umumnya dengan  cara pandang fenomenologi dan menghubungkannya dengan si mafia pajak  Gayus Tambunan. Lho apa hubungannya? Pengkaji ilmu sosial mengenal  fenomenologi sebagai sebuah perspektif yang sangat handal untuk membaca  makna sebuah peristiwa secara komprehensif. Berpikir fenomenologis  artinya berpikir analitis dan cerdas untuk mengeksplorasi dan menggali  makna di balik sebuah peristiwa  secara utuh. Fenomenologi sediri  artinya berpikir tentang fenomena, yang artinya kejadian. Fenomenologi  adalah sebuah perspektif sosial yang digagas oleh seorang ahli  matematika dan filsuf dari Jerman bernama Edmund Husserl (1859-1938)  yang intinya bahwa aneka peristiwa kehidupan (duka, bahagia, malapetaka,  pengalaman hidup) semuanya tidak pernah berdiri sendiri. Meminjam  istilah Riyanto  (2009: 2-3), “dalam fenomenologi, aneka peristiwa  kehidupan tidak terpisah satu sama lain. Tidak ada peristiwa sekecil  apapun yang tidak bermakna”. Sebagai contoh, kemacetan lalu lintas di  Porong akibat lumpur Lapindo, kata Riyanto (2009) bukan peristiwa yang  sama sekali terpisah dari aneka kasus korupsi di Jakarta. Begitu juga  peristiwa seorang ibu di Malang dua tahun lalu yang tega membunuh semua  anaknya sebelum akhirnya dia bunuh diri, kasus meninggalnya beberapa  orang saat antri berebut pembagian zakat di Pasuruan dua tahun lalu,  tragedi Mbah Minah yang dihukum gara-gara mengambil tiga buah kakao,  Pritasari yang divonis bersalah karena mengeluhkan pelayanan yang tidak  profesional melalui dunia maya dan membayar beberapa juta rupiah kepada  Rumah Sakit Internasional, dan penolakan warga sekitar gunung Merapi  untuk mengungsi karena memikirkan ternaknya dan berbagai kasus sejenis  lainnya, dalam pandangan fenomenologi, bukan peristiwa yang berdiri  sendiri. Selalu ada akar permasalahan yang membuka mata kita tentang  hamparan derita yang saling terkait. Menggunakan nalar filsafat fenomenologi,  maka bisa dieksplorasi lebih jauh bahwa kasus yang menimpa Sumiati di  Saudi dan para tenaga kerja Indonesia lainnya di luar negeri juga bukan  peristiwa tunggal yang terpisah dari rentetan peristiwa-peristiwa besar  di Tanah Air, seperti kasus korupsi dan mafia pajak yang dilakukan Gayus  Tambunan yang merugikan negara miliaran rupiah. Logikanya sederhana.  Jika tidak ada orang-orang seperti Gayus Tambunan, Anggodo, mantan Jaksa  Urip Tri Gunawan, Ayin, Hamka Yandu, pengemplang dana BLBI, dan skandal  Bank Century yang merugikan negara miliaran rupiah dan kasus-kasus  sejenis lainnya oleh para koruptor yang sekarang mendekam di penjara,   maka Sumiati dan 4, 5 juta tenaga kerja lainnya tidak perlu lagi  bekerja di luar negeri. Sebab, dana yang mereka korupsi mestinya bisa  untuk mengembangkan industri yang menampung jutaan tenaga kerja, dan  untuk pembangunan sarana dan prasarana publik untuk menghidupkan roda  perekonomian rakyat. Sayangnya, dana tersebut hanya dinikmati oleh  segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, yang lebih  parah lagi korupsi juga mengakibatkan citra negeri ini buruk di mata  para investor asing sehingga mereka enggan menanamkan modalnya di  Indonesia. Buktinya, Indonesia masih bertengger pada papan atas sebagai  salah negara paling korup di dunia.  Akibatnya, lapangan kerja sulit dan  pengangguran menggunung karena tidak ada kepercayaan internasional  dalam investasi. Korupsi sungguh perbuatan keji dan bisa digolongkan  sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang  pelakunya mestinya bisa dihukum mati, karena merugikan orang banyak.  Koruptor adalah penjahat-penjahat kerah putih yang menggerogoti dana  negara yang notabene adalah dana masyarakat. Gayus adalah sekadar contoh seorang  aktor jahat yang mencabik-cabik rasa keadilan. Bagaimana tidak. Seorang  pegawai rendah di Direktorat Jenderal Pajak yang tugasnya mengumpulkan  dana dari wajib pajak dan menjadi dana negara malah main kong kalikong  dengan para wajib pajak. Karena ulah Gayus, para wajib pajak bisa  melenggang tanpa bayar pajak karena sudah membayar upeti kepada Gayus.  Lewat upeti haram yang dikumpulkan seorang Gayus yang pegawai rendahan  itu bisa kaya raya dengan sekian banyak rumah mewah, mobil, dan dana  simpanan deposito miliaran rupiah. Hebatnya lagi dengan status tahanan,  Gayus dengan enaknya bisa keluar dari tahanan untuk menonton  pertandingan tenis internasional di Bali. Pertanyaannya, sendirikah  Gayus? Jika fenomenologi dijadikan sebagai alat  analisis sebagaimana diurakan di muka, semua aksi Gayus baik korupsinya  maupun keluarnya dari tahanan bukan peristiwa tunggal. Tidak mungkin  Gayus melakukan  itu semua secara sendirian. Siapa yang melepas Gayus,  siapa yang mem-back up Gayus  tatkala main mata dengan para  wajib pajak adalah serentetan pertanyaan yang bisa diurai untuk dicari  jawabnya jika para aparat penegak hukum memang punya keinginan kuat  untuk membongkar kasus Gayus secara tuntas. Kasus pengadilan atas Mbah Minah yang  tidak bisa baca dan tulis sehingga tidak bisa melakukan pembelaan hanya  gara-gara masalah yang sangat sepele,  vonis terhadap Pritasari, dan  penyiksaan yang menimpa Sumiati di Saudi Arabia juga tidak lepas dari  kondisi rapuhnya nilai keadilan dan perlindungan hukum terhadap warga  negara. Gayus, Mbah Minah, Pritasari, dan Sumiati sekadar eksemplar dari  persoalan bangsa yang  lebih luas dan serius, yakni kerakusan,  ketidakadilan, dan kemiskinan. Tampaknya potret suram negeri ini masih  akan lama menempel pada wajah bangsa yang banyak dirundung duka ini.  Saya tidak tahu bagaimana ketiga masalah tersebut (kerakusan,  ketidakadilan, dan kemiskinan) dapat diselesaikan dengan cepat. Sayang,  fenomenologi tidak menjangkau  sampai ke solusi terhadap persoalan,  tetapi membaca mata rantai munculnya persoalan. Malang, 20 November 20120 Daftar Bacaan Orleans, Myron. 2006.  “Phenomenology”,  (in Edgar F. Borgatta and Rhonda J.V. Montgomery, ed.)., Encyclopedia of Sociology.  Fifth Edition. New York: Macmillian Rerefence USA. Riyanto, Armada. 2009. “Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas: Rivalitas dan Harmonitasnya di Indonesia (sketsa –filosofis- fenomenologis)”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, di STFT  Widya Sasana, Malang,  29 November 2009. Sumber: mudjirahardjo.com  | 
Minggu, 28 November 2010
Kajian Fenomologi Kasus Gayus dan Sumiati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar