Timnas sepak Indonesia sudah separoh jalan menuju final Piala AFF 2010 setelah memukul Filipina 1-0 pada semifinal leg pertama di Jakarta, Kamis (16/12) lalu. Masih ada satu laga semifinal lagi yang harus dijalani Firman Utina dan kawan-kawan. Leg kedua kembali digelar di Jakarta, Minggu (19/12), dan banyak yang beranggapan, satu kaki timnas Indonesia telah menapak final meski skor 1-0 sebetulnya belum aman. Jika lolos ke final, itu pun belum menjadi sejarah karena itu final keempat “Merah Putih” setelah 2000, 2002, dan 2004.
Apakah dengan lolos ke final, bisa dikatakan, timnas Indonesia telah sukses? Jika ukurannya gelar juara, jelas belum. Terakhir sepak bola Indonesia juara sudah hampir dua dasawarsa silam, tepatnya pada SEA Games 1991 Jakarta. Setelah itu, timnas Indonesia hanya “nyaris juara” dan tiga tahun terakhir bahkan seperti di era kegelapan.
Tahun 2007 Indonesia kandas di penyisihan grup Piala AFF. Hal itu terulang lagi dua tahun kemudian saat tim “Merah Putih” juga terlempar di penyisihan grup SEA Games 2009, antara lain setelah kalah 0-2 dari Laos. Tahun 2010, untuk pertama kalinya sejak 1996 Indonesia juga tidak lolos ke Piala Asia.
Bukan hanya di level senior, kinerja tim junior juga mencemaskan. Timnas U-16 hasil binaan Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Pemerintah Kabupaten Bangkalan memang lolos ke Piala Asia U-16. Namun, begitu timnas itu diambil-alih di bawah pembinaan PSSI, mereka amburadul dan jadi juru kunci Piala AFF U-16 di Solo, termasuk setelah kalah dari Timor Leste 0-2, September lalu.
Dengan suramnya wajah timnas selama itu, bisa dimaklumi jika insan sepak bola nasional begitu bergairah menyambut kemenangan demi kemenangan tim polesan Pelatih Alfred Riedl di Piala AFF 2010. “Indonesia hiruk-pikuk berkaitan dengan Piala ASEAN, di mana seorang rela menjual seluruh ayamnya untuk menonton laga (Filipina vs Indonesia),” begitu akun twitter majalah sepak bola Inggris “FourFourTwo” mengutip berita Reuters.
Pahlawan kesiangan di PSSI
Di tengah hasil positif timnas di Piala AFF ini, pengurus PSSI tiba-tiba tampil dengan gagahnya, seolah sambil menepuk dada dan berkoar-koar, “Inilah hasil kerja kami!” Sebagian media pun memberi panggung begitu leluasa bagi mereka untuk membusungkan dada.
Mereka diundang dan ditampilkan dalam acara-acara talkshow. Dalam talkshow di sebuah televisi, pejabat PSSI dikabarnya melontarkan pernyataan bahwa, dengan memukul Filipina 1-0 di semifinal pertama lalu, Indonesia seperti menaklukkan separoh kekuatan timnas Inggris.
Alasannya, beberapa pemain timnas Filipina adalah hasil naturalisasi dari Inggris. Pernyataan menggelikan dan logika yang serampangan! Sebagai penguasa otoritas sepak bola nasional, PSSI tidak perlu berlagak bak pahlawan kesiangan seperti itu. Apalagi, perjalanan timnas belum usai. Apakah dengan timnas lolos ke final, PSSI merasa target mereka telah terpenuhi sehingga bisa menepuk dada?
Sesuai kontraknya dengan PSSI, Pelatih Alfred Riedl beberapa kali menyatakan, targetnya menangani tim “Merah Putih” di Piala AFF 2010 adalah lolos final. “Target saya adalah lolos final. Saya tidak ambil pusing dengan target lainnya,” ujar Riedl.
Namun tidak demikian bagi publik bola nasional yang ekspektasi mereka telanjur melambung tinggi. Lolos ke final belum cukup. Jika final dijadikan ukurannya, kita sudah pernah mencapainya pada 2000, 2002, dan 2004. Timnas saat ini baru akan dikenang dalam sejarah jika mampu juara. Kurang dari itu, Riedl tak lebih hebat daripada Nandar Iskandar (2000), Ivan Kolev (2002), dan Peter Withe (2004).
Mengapa harus reformasi PSSI?
Andaikata timnas lolos ke final dan juara, adakah kredit poin untuk pengurus PSSI saat ini? Apakah itu cukup untuk membayar lunas atas era kegelapan yang mereka buat sejak 2003? Publik sepak bola nasional, seperti diperlihatkan suporter saat timnas berlaga di Piala AFF ini, tidak bisa dikibuli oleh fatamorgana sesaat.
Mereka tetap jernih melihat akar persoalan sepak bola nasional. Sepanjang perhelatan Piala AFF, suporter tak pernah bosan meneriakkan “Nurdin turun! Nurdin turun! Nurdin turun”. Dalam berbagai obrolan keseharian maupun dunia maya, tercipta kesadaran di benak publik bola: “Kami mendukung timnas, tetapi tidak untuk pengurus PSSI.”
Saya belum pernah melakukan survei, tetapi kita mungkin bisa mengatakan: mungkin tidak ada topik di portal-portal berita atau situs internet yang dipenuhi makian dan umpatan dalam komentar pembaca selain topik soal PSSI. Memang, dari dulu obrolan soal PSSI selalu mengundang polemik dan sering kontroversial. Tetapi, tidak ada yang sekontroversial kepengurusan PSSI sejak dipimpin Nurdin Halid mulai 21 Oktober 2003 hingga saat ini.
Setelah terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, ia kerap berurusan dengan masalah hukum dan mendekam di penjara dalam kasus korupsi. Bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Jika mengacu pada Statuta PSSI terbaru yang telah diratifikasi FIFA, aturan Pasal 35 Butir 4 berbunyi: “The members of the Executive Committee.. must not found guilty of a Criminal Offense,” Nurdin sudah lama tidak layak menjadi Ketua PSSI.
Ketua PSSI adalah Ketua Komite Eksekutif, jadi aturan itu seharusnya juga mengikat Nurdin. Tetapi, ahh.. apa masih ada gunanya berbicara aturan dengan PSSI, termasuk dengan AFC dan FIFA? Publik pun berusaha memaklumi ketika ia ingin menjabat Ketua PSSI dengan “back up” FIFA, dengan harapan ia berubah dan membawa sepak bola ke arah perbaikan.
Namun, Nurdin tidak berubah dan masih seperti dulu. Sejak ia terpilih hingga jabatan keduanya mau habis, berbagai persoalan timnas dan kompetisi seperti tak berkesudahan. Bukan persoalan lumrah yang biasa muncul, tetapi lebih pada masalah miss-management, termasuk transparansi keuangan. Rapat-rapat Komite Eksekutif PSSI tidak pernah terpublikasikan agendanya seperti rapat gelap.
Pengelolaan dana PSSI juga tidak pernah jelas. Bahkan, sampai hari ini, mereka tidak pernah mau mengumumkan isi Statuta PSSI ke publik. Seorang rekan pernah meminta Sekjen PSSI Nugraha Besoes untuk meminjam Statuta PSSI itu, tetapi tidak diberi. Seborok-boroknya FIFA, mereka masih mau mempublikasikan statuta mereka plus laporan dana.
Begitulah, tidak akan pernah habis kita membicarakan sisi gelap kepengurusan PSSI. Bukti terbaru buruknya manajemen PSSI tercermin pada ketidakmampuan mengelola tiket laga semifinal kedua Piala AFF, Indonesia vs Filipina, yang kisruh. Dan masih banyak lagi sisi-sisi gelap lainnya.
Lantas, adakah sisi terangnya? Sering diklaim, PSSI sukses memutar kompetisi hingga masuk peringkat ke-8 Asia dan juaranya tampil di Liga Champions Asia. Namun, jangan lupa: di samping ada borok di sana-sini, menurut salah satu pejabat PT Liga Indonesia, penilaian plus AFC itu lebih didasarkan pada tingginya animo penggemar sepak bola negeri ini yang tak pernah bosan memadati stadion-stadion.
Penonton dan suporterlah yang punya andil besar mengangkat sepak bola Tanah Air, di samping pemain, pelatih dan ofisial klub-klub. Di tangan merekalah, sepak bola negeri ini bisa hidup dan semarak seperti sekarang. Bukan PSSI! Sudah saatnya seluruh insan sepak bola menyatukan langkah untuk menciptakan atmosfer sepak bola yang lebih bagus. Hanya satu jalan ke arah itu, yaitu dukung habis timnas, tetapi jangan lupa: reformasi PSSI!
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar