Inilah soto legendaris yang berlokasi di Jl. Ambengan 3A. Buka mulai pukul 06.30-21.30. Rasa soto ayamnya khas banget. Apalagi dengan taburan koya gurih, membuat Soto Ayam P. Sadi terasa lengkap kelezatannya di lidah.
Dengan harga Rp10.000 per porsi Anda dijamin puas. Letaknya 500 meter arah timur dari pertigaan jalan (Undaan Wetan-Ambengan). Bersebelahan dengan Agung Bilyard Ambengan Surabaya.
Alamat :Jl. Ambengan No. 3A Surabaya Timur/Tegalsari
Telepon : 031 5323998
kisah soto ayam ambengan pak sadi
Dengan Soto, Kebiasaan Merokok Hilang
KETIKA Sadi harus mengisi selembar angket kepuasan
pelanggan di sebuah hipermarket, Sadi menolak
mengisinya. Sebenarnya Sadi bersedia, asalkan petugas hipermarket
tersebut yang menuliskannya. "Bukan saya tidak mau, tetapi saya tidak
bisa menulis. Petugas itu tidak percaya karena saya baru saja melakukan
transaksi dengan kartu kredit. Masak punya kartu kredit tidak bisa
menulis, begitu katanya. Saya hanya bersekolah sampai kelas V SD. Kalau
kartu kredit kan hanya tanda tangan, tidak perlu nulis," kata Sadi (61),
pemilik Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli).
Perjalanan hidup Sadi dari hanya kuli pikul angkring
soto hingga memiliki restoran sendiri, agaknya yang
membuat Sadi bersikap apa adanya. "Orang hidup tidak
perlu sombong. Ingat saja dari mana dulu kita berasal.
Kalau itu dipegang terus, apa yang kita capai saat ini
rasanya nikmat sekali," kata Sadi yang telah memiliki
tujuh anak ini.
Tahun 1960, Sadi yang masih remaja harus datang ke
Surabaya. Di kampung halamannya di Lamongan, ia tidak
memiliki apa-apa untuk hidup. "Ibu saya meninggal
ketika saya berusia 7 tahun, dan ayah hanya buruh
sawah atau kerja serabutan saja. Kata orang kalau mau
sukses harus mencoba hidup di kota, jangan di desa,"
kisah Sadi.
Pekerjaan pertama yang ia dapatkan adalah membantu
pamannya berjualan soto. Tugasnya, memikul pikulan
soto keliling kampung. Dua tahun Sadi menekuni
pekerjaan itu, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk
berjualan sendiri.
"Saya ingin jualan sendiri. Waktu itu saya jualan tahu
tektek. Jualan hari pertama hanya laku 12 piring.
Harganya murah sekali, Rp 5 seporsi. Saya masih ingat
semua," kata Sadi.
Tidak laku berjualan tahu tektek, Sadi kembali
berjualan soto. Tetapi dewi keberuntungan masih belum
berpihak padanya. Sadi terpaksa harus kembali menjadi
kuli pikul lagi.
"HINGGA pada suatu hari pada tahun 1971, saya
ditawarkan oleh seseorang untuk membuka warung soto di
depan asrama Brimob di Jalan Ambengan. Saya terima
tawaran itu," kata Sadi. Ia berjualan dengan
menggunakan gerobak, yang diparkir di halaman sebuah
rumah di Jalan Ambengan, Surabaya.
Dalam berjualan, ia dibantu istrinya, Ny Djaijah, yang
saat itu masih menyusui anak mereka yang pertama. Jika
Sadi melayani tamu, istrinya membersihkan
piring-piring bekas makan tamu. Sementara anaknya
ditidurkan di kolong gerobak soto.
"Setiap kali mengingat kejadian itu, saya pasti
mengeluarkan air mata. Kasihan, anak itu seharusnya
tidur di rumah, di tempat tidur. Bukan di kolong
gerobak," kenangnya.
Pertama kali berjualan, Sadi memakai nama warung
sotonya itu "Soto Ayam Cita Rasa". Pembeli pertamanya
adalah penghuni asrama Brimob itu. Lama kelamaan
warung sotonya makin dikenal orang. Namanya bukan lagi
Soto Ayam Cita Rasa, tetapi Soto Ayam Ambengan, sesuai
dengan nama jalannya.
Pembelinya tidak lagi sebatas penghuni asrama, tetapi
meluas hingga karyawan kantor, pegawai Kotamadya
Surabaya hingga orang-orang yang kebetulan melintas.
Sadi jadi semakin repot.
"Begitu repotnya, sampai merokok saja tidak sempat.
Akhirnya saya berhenti merokok gara-gara jualan soto.
Sampai sekarang," tukas Sadi.
Walau repot, Sadi akhirnya bisa merasakan hasil dari
kerja kerasnya. Dia bisa membeli sebuah rumah di Jalan
Ambengan 3A, dan mendirikan sebuah warung soto yang
lebih permanen di sana. "Soto saya sudah dikenal orang Surabaya. Setiap
kali ada tamu dari luar Surabaya, mereka selalu membawanya ke sini.
Katanya kalau datang ke Surabaya belum makan soto Ambengan, belum
mantap," katanya sambil mengklaim 70 persen orang Surabaya mengenal
sotonya.
Menurut Sadi, soto ayamnya tidak berbeda dengan soto
ayam yang banyak beredar di Surabaya, dengan kuah yang
berwarna kuning kental. Isinya hanya soun putih,
potongan daging dan kulit ayam, seiris telur, dan
poya. Poya adalah kerupuk udang dan bawang putih yang
digiling menjadi bubuk.
"Kuncinya di poya karena poya yang membuat soto
menjadi gurih. Sayangnya pedagang soto lain tidak
begitu memperhatikan poya. Mereka membuat poya dengan perbandingan 5:1,
lima kilogram kerupuk udang dicampur satu kilogram bawang putih.
Sedangkan saya perbandingannya 5:5. Mungkin ini yang membuat soto saya
digemari orang," ungkap Sadi.
TAHUN 1989, Sadi membuka cabang di Jakarta, berkat
tawaran kerja sama dari pemilik sebuah rumah di Jalan Woltermonginsidi,
Kebayoran Baru.
Ketika sampai di Jakarta, Sadi sempat heran karena
ternyata di Jakarta banyak rumah makan soto ayam
cabang Ambengan, padahal dialah satu-satunya pemilik
soto ayam Ambengan. "Di jalan Ambengan sendiri cuma
ada satu soto, yakni soto saya. Yang ada di Jakarta
ini soto Ambengan yang mana?" tanyanya.
Sadi mengaku sempat marah. Namun dia tahu bahwa nama
jalan tidak bisa dipatenkan sebagai nama rumah makan.
Akhirnya dia hanya menambahkan namanya di belakang
tulisan soto Ambengan, menjadi Soto Ayam Ambengan Pak
Sadi (Asli).
"Pemalsuan ini juga membuktikan bahwa soto saya juga
dikenal oleh orang Jakarta. Ketika saya mengiklankan
akan membuka rumah makan di Jakarta, puluhan telepon
berdering menanyakan kapan tepatnya akan dibuka. Di
hari-hari pembukaan, soto saya selalu habis pukul
12.00 siang," tutur Sadi.
Kerja sama dengan orang Jakarta tersebut ternyata
hanya bisa dipertahankan selama satu tahun. Rekan
bisnis tersebut akhirnya tertarik untuk membuka rumah
makan sendiri. "Ya sudah, saya pindah. Saya sempat
kontrak beberapa tahun sampai akhirnya saya membeli
tanah dan menjadikannya rumah makan, juga di jalan Woltermonginsidi,"
kata Sadi.
Sekarang rumah makan Soto Ayam Ambengan Pak Sadi
(Asli) baik di Surabaya maupun di Jakarta tidak lagi
berbentuk warung. Di Jakarta bahkan berupa gedung baru bertingkat tiga.
Semua karyawan diperbolehkan tinggal di lantai 2 dan lantai 3 rumah
makan. "Yang sudah berkeluarga di lantai 2, yang belum di lantai 3.
Gratis. Selain itu mereka masing-masing juga mendapat makan, odol, sabun
mandi dua batang sebulan, dan detergen. Mereka juga saya beri seragam.
Jadi gaji mereka utuh hanya untuk ditabung atau mengirim keluarga di
kampung," kata Sadi yang banyak mengambil karyawan dari pedesaan di
Jatim dan Jateng.
Sadi sendiri saat ini tidak lagi memiliki pekerjaan.
Dia nyaris tidak turun ke dapur untuk memasak, atau
menjadi kasir menerima uang pelanggan. "Kegiatan saya
hanya mengontrol kualitas masakan. Kalau ada tawaran
untuk membuka cabang, baru saya datang bernegosiasi.
Setelah itu, ya menikmati hidup. Walau begitu, saya
tetap tidak doyan merokok lagi. Soto benar-benar
membuat saya melupakan rokok," katanya.
salam kenal,
BalasHapuswah sungguh laporan yang lengkap.
minta ijin nanti blognya saya buat link.
Salam kenal utk waroengsurabaya,
BalasHapusDengan sengan hati, diperkenankan.
Semoga bermanfaat untuk semua.