Tak henti-hentinya aku merinding jika mendengar kisah hidup anak miskin. Dalam kemiskinannya itu, tersulut semangat yang luar biasa. Semangat untuk mengubah kehidupan nan papa. Sekadar mengubah nasib agar layak disebut manusia. Dan itu tergambar jelas oleh semangat Ni Wayan Mertayani, peraih Juara 1 Lomba Fotografi Internasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Anne Frank di Negeri Belanda.
Wayan terlahir dari keluarga yang teramat miskin. Rumahnya tak layak disebut rumah. Sebuah gubug reot yang digambarkan dalam judul fotonya: “Ayam itu kalau panas kepanasan, hujan kehujanan. Sama seperti saya.” Ya, fotonya memang menampilkan seekor ayam yang bertengger di dahan pohon karena rumahnya memang hanya di sana. Maka, tentu saja ayam akan kepanasan ketika terik dan kehujanan ketika bermusim air. Wayan tegar dalam kepapaan!
Dalam kepiluan atas kehidupannya yang teramat miskin, Wayan teramat sangat berkeinginan mengubah kehidupan keluarganya. Semangat itu kian berkobar usai ayahnya meninggal dunia meskipun ia masih teramat belia. Maka, Wayan pun rela berjualan sekadar jajanan ringan yang dijualnya di sekitar pantai Bali usai pulang sekolah. Ya, Wayan memang bersekolah dan duduk di bangku SMA.
Dirasa hasilnya belum mencukupi kebutuhan dasarnya, Wayan rela mengais sampah alias menjadi pemulung di seputaran pantai Bali. Usai pulang sekolah atau berjualan, Wayan tidak merasa malu memunguti sampah-sampah plastik yang bertebaran di sepanjang pantai. Bahkan, ejekan teman sekolahnya tak dihiraukannya sama sekali. Satu prinsipnya: “Saya tidak mencuri!”
Suatu ketika, Wayan berjumpa seorang turis. Secara iseng, Wayan meminjam kameranya. Dan digunakanlah kamera itu untuk mengambil beberapa foto. Begitu melihat indahnya hasil jepretan Wayan, turis itu menyarankan Wayan agar menjadi peserta Lomba Fotografi Internasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Anne Frank, Belanda. Kebetulan, lomba fotografi itu mengambil tema “Apakah Harapan Terbesarmu?”. Bermodal sekitar 15 foto, Wayan menjadi pesertanya. Juri dari World Press Photo menilai foto milik Wayan adalah foto terbaik dari ribuan foto yang dikirimkan 200 foto 200 fotografer kelas dunia. Foto Wayan ditetapkan sebagai menjadi Juara 1.
Dari lubuk hati terdalam, aku menangis. Ya, aku menangis usai menyaksikan kepolosan kisah Wayan yang disiarkan Metro TV dalam acara Kick Andy sore tadi. Begitu menyayat kisah hidupnya. Begitu memilukan kehidupan keluarganya. Begitu menyayat-nyayat rintihan kemiskinannya.
Sebuah gubug yang tak layak disebut gubug dihuni oleh tiga orang: ibu, Wayan, dan adiknya. Ketika cuaca panas, Wayan dan keluarganya merasakan kepanasan yang luar biasa. Dapat dimaklumi karena gubug itu teramat dekat dengan pantai. Ketika musim hujan tiba, rumahnya tak layak huni. Di sana-sini, air bocoran atap menetes dan memenuhi kaleng-kaleng yang disediakan sebagai penampungnya. Dan kondisi itu diperparah oleh kondisi ibunya yang sering sakit-sakitan. Wayan tak kuasa menahan derai air mata ketika berkisah itu, terlebih diriku yang menyaksikan acara itu.
Sebuah ungkapan sempat menghentakkan hadirin dan juga diriku. Sebuah pertanyaan dilontarkan mas Andy, “Apa cita-cita Wayan?”
Dengan lantang, Wayan menjawab, “Aku ingin jadi penulis dan wartawan. Meskipun aku miskin harta, tetapi aku kaya mimpi. Mimpilah yang akan menuntunku menuju cita-cita!” Dan ratusan hadirin yang memenuhi studio itu sontak meneteskan air mata, tak kuasa lagi menahan haru atas tekad kuat dari seorang putri bernama Wayan.
Pak Mendiknas, apakah Bapak menyaksikan acara itu? Jika Bapak menyaksikan acara itu, pasti Bapak akan menangis dan teramat malu. Rasa malu yang terpantik atas tekad anak yang tetap ingin bersekolah di sela ketiadaan karena kemiskinan yang menderanya. Maka, perkenankanlah aku mengusulkan beberapa hal terkait dengan ini;
- Pak Mendiknas, anak ini masih duduk di bangku SMA. Artinya, anak ini menjadi anak kita, anak dunia pendidikan. Sudah seharusnya anak ini mendapat perhatian ekstra atas prestasinya. Maka, berikanlah beasiswa sepenuhnya kepada Wayan untuk mengejar mimpinya. Instansi pendidikan telah terangkat oleh prestasi dunia: Juara 1 Internasional.
- Pak Mendiknas, anak ini teramat miskin. Bantulah Wayan dan keluarganya agar menjadi “manusia yang layak disebut manusia”. Sungguh kemiskinannya teramat memilukan hati. Ibunya sakit keras dan Wayan masih mempunyai seorang adik. Berikanlah bantuan kepada keluarga itu agar dapat terbangun masa depan yang lebih baik.
- Pak Mendiknas, tegurlah bawahan Bapak (Kepala Dinas Provinsi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, Kepala Sekolah). Mereka layak mendapat teguran atas keteledoran karena ketiadapedulian kepada Wayan. Menurut kisah yang terceritakan, Pemda dan instansi trkait belum mengapresiasi atas prestasi Wayan. Terlalu dan teramat keterlaluan.
- Pak Mendiknas, bangsa kita itu kaya dan teramat kaya dengan anak-anak yang bertalenta luar biasa. Mengapa Bapak tidak berminat untuk memberikan mereka beragam fasilitas agar talenta itu berkembang dan berprestasi. Cobalah Bapak membentuk Talent Hunter Team untuk mencari anak-anak berbakat. Kelak anak-anak inilah yang layak memimpin negeri ini.
- Pak Mendiknas, perkenankanlah aku menyampaikan ucapan Selamat Hari Pendidikan Nasional 2011 dalam suasana penuh keprihatinan. Dunia pendidikan yang kian suram karena mulai memudarnya semangat pengabdian. Aku teramat trenyuh dan prihatin atas kondisi dunia pendidikan yang kian menjauh dari nilai moral dan etika.
Demikian tulisanku malam ini. Tak lupa aku mengucapkan Selamat Atas Prestasi Ananda Wayan. Terima kasih atas dedikasimu untuk persembahan prestasi internasionalmu. Semoga kelak kita dipertemukan Tuhan karena aku teramat sangat ingin berkenalan dengan Ananda Wayan. Amin. Terima kasih.
“Uangku memang terbatas, tetapi mimpiku tidaklah terbatas”
(Ni Wayan Mertayani)
Johan Wahyudi
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar