Membaca berita tentang banyaknya sekolah yang mengadakan doa bersama menjelang ujian nasional, membuat saya bertanya mengapa? Tidak usah jauh-jauh menengok sekolah lain. SMU saya dulu saja bahkan sampai mengundang para alumni untuk menghadiri doa bersama. Semakin heran saja saya dibuatnya. Sedemikian menakutkannyakah ujian nasional itu?
Ada apa dengan ujian nasional? Mengapa jadi seperti momok atau bahkan setan yang menakutkan, sehingga harus dilawan dengan doa massal di seluruh penjuru negeri? Apakah soal ujiannya yang sulit? Apakah anak-anak itu tidak yakin dapat mengerjakannya dengan baik? Atau ekspektasi kelulusannya yang terlalu tinggi, sehingga membuat mereka ketakutan setengah mati?
Saat media mengekspos langsung pelaksanaan ujian nasional itu, maka terjawablah sudah pertanyaan itu. Sebagai rakyat saya tersinggung ketika polisi mengawal distribusi soal ujian, lebih ketat daripada mengawal uang miliaran. Saya juga marah ketika melihat CCTV yang memata-matai siswa yang sedang ujian. Apa-apaan ini? Apa pengawas yang jumlahnya dua orang itu kurang untuk mengawal dan mengawankan pelaksanaan ujian di setiap kelas?
Sekolah malah membuat siswa semakin stress saja. Mereka harus menjalani kurikulum yang berat, jam pelajaran yang padat ( kalau gurunya masuk terus ) dan standar kelulusan yang tinggi, pengawasan ujian yang begitu ketat dan ketidakpastian masih bisa melanjutkan sekolah atau tidak ( karena masalah biaya ). Untuk mereka yang SMU, tingkat stress mereka lebih tinggi lagi karena mereka tidak tahu dapat melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak. Kalau tidak lanjut, itu artinya mereka harus bersiap mencari pekerjaan dan kalau tidak dapat pekerjaan, berarti harus menganggur. Siapa yang tidak sedih, sudah capek-capek sekolah, berusaha keras untuk lulus, akhirnya hanya jadi pengangguran saja?
Pak Menteri Pendidikan yang terhormat,
Dulu, bagi saya dan kawan-kawan sekolah itu sangat menyenangkan. Sekolah adalah rumah kami yang kedua. Di sana kami mendapat banyak kawan, kami berkompetisi, berprestasi dan menikmatinya. Karena itulah ikatan alumni SMP dan SMA saya begitu kuatnya meski masa itu telah lewat puluhan tahun yang lalu.
Kami ujian dengan ekspetasi mendapat nilai tertinggi dan bukan kelulusan, karena kami semua pasti lulus, karena kami semua di atas rata-rata. Kalau ada yang tidak lulus. Itu mutlak kesalahannya karena tidak belajar. Kami tidak belajar dalam tekanan dan ketakutan. Kami berdoa secara pribadi dan paling hanya bersama keluarga, supaya bisa lulus dengan nilai tertinggi. Bukan seperti anak-anak sekarang, sampai harus melakukan doa massal dan dikoordinir oleh sekolah supaya bisa lulus.
Pak Menteri Pendidikan yang terhormat,
Bapak pasti sudah tahu, banyak peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh pelajar kita, karena kecewa dan frustasi tidak lulus sekolah, padahal mereka pandai dan berprestasi di sekolah. Apakah bapak dan staff bapak mendata berapa jumlah anak yang terpaksa mengakhiri hidupnya karena tidak lulus ujian nasional? Bagaimana perasaan, logika dan nurani bapak ketika mengetahui hal itu? Biasa saja karena menganggap kejadian itu adalah musibah? Atau seperti mendapat pukulan keras?
Pak Menteri yang terhormat,
Saya tidak melihat ujian nasional menentukan kualitas siswa, saya justru melihat sebaliknya. Ujian nasional seperti jurang yang dalam dan terjal yang mematikan siapa saja yang gagal melewatinya. Padahal seharusnya ujian nasional itu hanya batu loncatan untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Itulah perbedaan pandangan antara kami, angkatan dulu dengan angkatan sekarang dalam memaknai ujian. Mengapa bisa terjadi perbedaan pandangan ini? Mengapa ada pergeseran nilai dalam memaknai ujian nasional ini? Mengapa Pak Menteri?
Karena Anda dan semua staff anda menganggap ujian sebagai peristiwa yang sangat genting sehingga harus dikawal oleh polisi. Karena Anda dan staff anda, telah membuat sekolah untuk tidak memercayai siswa mereka sendiri dengan memasang CCTV. Target Anda yang disebut kurikulum itu, adalah beban yang berat untuk semua pelajar kita.
Pak Menteri yang terhormat,
Tahukah Anda apa akibatnya kalau mereka stress? Mereka nongkrong di warnet, buka situs porno, main video game online yang sarat kekerasan dan pornografi, dan lebih parahnya terjebak dalam free seks. Anda tahu bukan bahwa seks adalah pelepas stress yang mujarab? Mereka melakukannya. Ketika mereka stress dan tidak tahu harus curhat kepada siapa, atau minta tolong pada siapa untuk mengeluarkan mereka dari tekanan kurikulum yang begitu berat. Padahal mereka tidak mendapatkan guru yang berkualitas. Apakah Anda peduli dengan kualitas guru-guru yang Anda tempatkan di sekolah, Pak Menteri?
Kalau Anda benar terpanggil untuk duduk di kursi itu Pak Menteri…
Tolong benahi sistem pendidikan nasional kita. Untuk apa sekolah itu, pak Menteri? Untuk siapa sekolah itu? Tolong kembalikan sekolah ke jalan yang benar yang pernah dirintis oleh sang Tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Atau kalau tidak? Lebih baik Anda mundur saja.
Semoga Anda membaca tulisan ini.
Salam hormat dari rakyat yang menginginkan Sekolah jadi lebih baik, bermartabat dan bernurani,
Eva
Sumber: kompasiana.com
Ada apa dengan ujian nasional? Mengapa jadi seperti momok atau bahkan setan yang menakutkan, sehingga harus dilawan dengan doa massal di seluruh penjuru negeri? Apakah soal ujiannya yang sulit? Apakah anak-anak itu tidak yakin dapat mengerjakannya dengan baik? Atau ekspektasi kelulusannya yang terlalu tinggi, sehingga membuat mereka ketakutan setengah mati?
Saat media mengekspos langsung pelaksanaan ujian nasional itu, maka terjawablah sudah pertanyaan itu. Sebagai rakyat saya tersinggung ketika polisi mengawal distribusi soal ujian, lebih ketat daripada mengawal uang miliaran. Saya juga marah ketika melihat CCTV yang memata-matai siswa yang sedang ujian. Apa-apaan ini? Apa pengawas yang jumlahnya dua orang itu kurang untuk mengawal dan mengawankan pelaksanaan ujian di setiap kelas?
Sekolah malah membuat siswa semakin stress saja. Mereka harus menjalani kurikulum yang berat, jam pelajaran yang padat ( kalau gurunya masuk terus ) dan standar kelulusan yang tinggi, pengawasan ujian yang begitu ketat dan ketidakpastian masih bisa melanjutkan sekolah atau tidak ( karena masalah biaya ). Untuk mereka yang SMU, tingkat stress mereka lebih tinggi lagi karena mereka tidak tahu dapat melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak. Kalau tidak lanjut, itu artinya mereka harus bersiap mencari pekerjaan dan kalau tidak dapat pekerjaan, berarti harus menganggur. Siapa yang tidak sedih, sudah capek-capek sekolah, berusaha keras untuk lulus, akhirnya hanya jadi pengangguran saja?
Pak Menteri Pendidikan yang terhormat,
Dulu, bagi saya dan kawan-kawan sekolah itu sangat menyenangkan. Sekolah adalah rumah kami yang kedua. Di sana kami mendapat banyak kawan, kami berkompetisi, berprestasi dan menikmatinya. Karena itulah ikatan alumni SMP dan SMA saya begitu kuatnya meski masa itu telah lewat puluhan tahun yang lalu.
Kami ujian dengan ekspetasi mendapat nilai tertinggi dan bukan kelulusan, karena kami semua pasti lulus, karena kami semua di atas rata-rata. Kalau ada yang tidak lulus. Itu mutlak kesalahannya karena tidak belajar. Kami tidak belajar dalam tekanan dan ketakutan. Kami berdoa secara pribadi dan paling hanya bersama keluarga, supaya bisa lulus dengan nilai tertinggi. Bukan seperti anak-anak sekarang, sampai harus melakukan doa massal dan dikoordinir oleh sekolah supaya bisa lulus.
Pak Menteri Pendidikan yang terhormat,
Bapak pasti sudah tahu, banyak peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh pelajar kita, karena kecewa dan frustasi tidak lulus sekolah, padahal mereka pandai dan berprestasi di sekolah. Apakah bapak dan staff bapak mendata berapa jumlah anak yang terpaksa mengakhiri hidupnya karena tidak lulus ujian nasional? Bagaimana perasaan, logika dan nurani bapak ketika mengetahui hal itu? Biasa saja karena menganggap kejadian itu adalah musibah? Atau seperti mendapat pukulan keras?
Pak Menteri yang terhormat,
Saya tidak melihat ujian nasional menentukan kualitas siswa, saya justru melihat sebaliknya. Ujian nasional seperti jurang yang dalam dan terjal yang mematikan siapa saja yang gagal melewatinya. Padahal seharusnya ujian nasional itu hanya batu loncatan untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Itulah perbedaan pandangan antara kami, angkatan dulu dengan angkatan sekarang dalam memaknai ujian. Mengapa bisa terjadi perbedaan pandangan ini? Mengapa ada pergeseran nilai dalam memaknai ujian nasional ini? Mengapa Pak Menteri?
Karena Anda dan semua staff anda menganggap ujian sebagai peristiwa yang sangat genting sehingga harus dikawal oleh polisi. Karena Anda dan staff anda, telah membuat sekolah untuk tidak memercayai siswa mereka sendiri dengan memasang CCTV. Target Anda yang disebut kurikulum itu, adalah beban yang berat untuk semua pelajar kita.
Pak Menteri yang terhormat,
Tahukah Anda apa akibatnya kalau mereka stress? Mereka nongkrong di warnet, buka situs porno, main video game online yang sarat kekerasan dan pornografi, dan lebih parahnya terjebak dalam free seks. Anda tahu bukan bahwa seks adalah pelepas stress yang mujarab? Mereka melakukannya. Ketika mereka stress dan tidak tahu harus curhat kepada siapa, atau minta tolong pada siapa untuk mengeluarkan mereka dari tekanan kurikulum yang begitu berat. Padahal mereka tidak mendapatkan guru yang berkualitas. Apakah Anda peduli dengan kualitas guru-guru yang Anda tempatkan di sekolah, Pak Menteri?
Kalau Anda benar terpanggil untuk duduk di kursi itu Pak Menteri…
Tolong benahi sistem pendidikan nasional kita. Untuk apa sekolah itu, pak Menteri? Untuk siapa sekolah itu? Tolong kembalikan sekolah ke jalan yang benar yang pernah dirintis oleh sang Tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Atau kalau tidak? Lebih baik Anda mundur saja.
Semoga Anda membaca tulisan ini.
Salam hormat dari rakyat yang menginginkan Sekolah jadi lebih baik, bermartabat dan bernurani,
Eva
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar