Di berbagai belahan dunia hak pekerja memang sering menjadi hal yang krusial. Tidak berbeda dengan negara kita. Buruh menjadi sebuah kata yang terus berputar dan berakhir pada kata terpinggirkan. Bagaimana tidak.
Di kancah politik dan ekonomi kita buruh selalu diidentikkan dengan faktor instabilitas, anarkisme, dan kambing hitam kinerja perusahaan. Perubahan nasib buruh seakan tidak menentu. Apalagi dengan adanya krisis global yang sudah terasa di Indonesia.
Meskipun tercatat di pemilihan umum (pemilu) kemarin ada dua partai yang berplatformkan buruh dan banyak aktivis buruh yang merapat ke partai politik. Pada kenyataannya hasilnya belum cukup menggembirakan dan belum bisa menaikkan bendera isu utama buruh bernama kesejahteraan.
Pengkelasan dan perbedaan buruh memang masih diwarnai mitos paham Sosialisme dan Komunisme. Hal yang belum bisa dilepaskan dari pengalaman represif dan marjinalisasi buruh oleh rezim Orde Baru. Suatu anggapan yang harus dihilangkan detik ini juga. Bagaimana tidak.
Esensi buruh sendiri hanya diidentikkan dengan pekerja menengah ke bawah di industri. Padahal dalam kenyataannya orang yang bekerja kepada pemilik modal tetap dinamakan buruh.
Apakah itu dengan bahasa karyawan atau pegawai lainnya karena kemudian terjadi perbedaan perlakuan dan harga yang dinilai oleh upah kerja dan perlakuan itu lebih disebabkan oleh ketidakberpihakan sistem terhadap buruh.
Delegitimasi peran buruh banyak dirasakan dengan diberlakukannya UU No 13 Tahun 2003. Peran outsourching semakin meminggirkan peran buruh yang tidak mempunyai skill dan bargaining yang kuat meskipun memang kompetensilah yang akhirnya dibutuhkan dalam kondisi seperti ini. Dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya buruh memang menolak pengkelasan.
Pengkerdilan perjuangan kaum buruh sudah semestinya tidak lagi terjadi. Buruh sekarang harus benar-benar dihayati sebagai perjuangan kita bersama. Siapa pun anda adalah buruh terkecuali pemilik modal.
Buruh kasar (blue collar labour) dan pekerja berdasi (white collar labour) sama saja nasibnya. Perjuangan buruh untuk melakukan setiap aksinya memang hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana oleh pemerintah dan pengusaha. Bagaimana pun buruh mempunyai peranan yang signifikan dalam proses produksi dan humanisasi sebuah industri.
Teriakan dan benturan kepentingan yang ada dalam setiap perjuangan buruh hanya merupakan akumulasi ketidakberdayaan negara dalam melindungi masyarakatnya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Unjuk rasa dan tekanan terhadap pemerintah memang sering disuarakan. Tapi, kebanyakan perjuangan itu harus kandas dengan alasan keamanan dan ketertiban, dan lebih ironisnya banyak dari kita hanya melihat demonstrasi buruh sebagai pengganggu ketenangan.
Ada banyak hal yang bisa menjadikan kembali buruh sebagai manusia di negaranya sendiri di antaranya:
1. Karena memperjuangkan tujuan yang sama alangkah baiknya semua serikat buruh bersatu. Bagaimana mau kuat apabila serikat buruh atau pekerja masih berjalan individualis.
2. Rasionalisasi dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan strategis Negara demi meningkatkan pelayanan dan kemampuan untuk mendukung pelayanan terhadap publik masyarakat kecil Indonesia termasuk buruh.
3. Berdayakan kampanye bangga terhadap produk dalam negeri sehingga industri dalam negeri dapat memenuhi setiap kebutuhan pembangunan yang ada di Indonesia.
4. Berantas korupsi di BUMN/BUMD, dan bersihkan pungli yang selalu membuat perusahaan atau industri Indonesia dan mensinergikannya dengan berbagai kebijakan ketenagakerjaan dan kebijakan moneter.
5. Mekanisasi mesin-mesin industri untuk meningkatkan produktivitas pekerja atau buruh, dehingga tidak mengurang peran mereka.
Tidak bisa dipungkiri lagi masalah buruh sebetulnya sangat kompleks dan bertalian dengan kondisi nyata yang terjadi di Indonesia. Bangga terhadap Indonesia sebagai sebuah bangsa, mampu menajamkan peran buruh dan pekerja, karena dengan adanya empati dari seluruh masyarakat Indonesia maka roda-roda industri akan kembali berputar, sehingga tidak ada pilihan semua dimensi kehidupan kita harus dibenahi.
Hubungan industrial antara buruh dan pengusaha harus ditata lebih seimbang dan manusiawi, dan hal ini tentu saja tidak mudah. Diharapkan dengan mendorong solidaritas kaum buruh/ pekerja dari berbagai lapisan sosial untuk memperjuangkan hak normatif dan menjamin masa depan yang lebih baik bisa bersinergi dengan perkembangan perekonomian dan perindustrian Indonesia.
Sekarang kita tunggu bagaimana sikap buruh, negara, dan pengusaha untuk kembali berpikir demi kepentingan bersama. Selamat Hari Buruh saudaraku.
Duniadeni
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar