Masih ingat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)? Kurikulum yang diterapkan tahun 2004 sejatinya cukup menjanjikan hasilnya apabila direncanakan dengan cukup matang dan diterapkan dengan penuh perhitungan. Karena anak didik dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTek tanpa meninggalkan kerja sama dan solidaritas, walau sesungguhnya antar anak didik saling berkompetensi. Para guru hanya bertindak sebagai fasilitator. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, namun subjek. Siswa akan mendapat nilai untuk setiap kegiatan yang dilakukannya.
Pelaksanaannya? Jauh Panggang dari api !
Salah satu korbannya adalah anak kedua saya, Iyo. Girang karena diterima di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 (SMPN2) salah satu sekolah favorit di kota Bandung hanya berlangsung kurang lebih satu semester. Selebihnya adalah keluhan, mulai dari buku yang buanyaaaakkk sekali karena sekolah berlangsung dari pukul 07.00 - 14.30 sehingga tasnya menjadi berat. Selain itu setiap 1-2 jam mata pelajaran berganti ditandai dengan moving class. Heboh pastinya, karena anak didik dari 12 kelas saling berlari, berebut tempat duduk. Dan jangan heran apabila anak didik bertubuh “mini” terjepit dan jatuh. Untunglah moving class hanya berlangsung di kelas 7 sedangkan kelas 8 dan kelas 9 masih mengikuti kurikulum lama sehingga tidak menambah heboh.
Tapi masalah utama bukan itu. Sistem pendidikan Kurikulum Berbasis kompetensi ini idealnya diterapkan mulai semenjak Sekolah Dasar (SD). Sehingga anak didik siap ketika menginjak SMP. Tidak demikian halnya dengan Iyo dan teman-temannya. Mereka bukan generasi yang dididik untuk membaca dan dilatih untuk bertanya bagian per bagian. Mereka adalah objek yang diwajibkan untuk menghafal agar mampu menjawab soal-soal ulangan. Ada satu soal PPKn yang membuat saya tertawa sedih :
“Apa manfaatnya belajar rajin hingga mendapat nilai bagus di rapor?”
Anak saya dengan lugu menjawab :
“Agar orang tua merasa senang.”
Jawaban yang tidak terlalu salah menurut saya, karena pertanyaan tersebut jawabannya bisa melebar, tetapi ibu guru rupanya hanya menghendaki jawaban :
“Agar saya menjadi anak yang pintar”
Jadi? Ya dicoretlah jawaban Iyo (ketika itu masih kelas III SD), tanpa ampun, tanpa mau memberi nilai minimal ½ untuk usahanya. Karena yang diinginkan para guru adalah jawaban yang sama persis dengan catatan.
Sistem KBK sebetulnya menjadi pintu penghapus system belajar yang membuat anak menjadi pengekor. Sayangnya anak didik dan guru sebagai pelaku utama pendidikan tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Jadi, di minggu pertama pelajaran anak didik mendapat tugas membaca buku pelajaran yang direferensikan dan pada jam akhir pelajaran anak didik mendapat kesempatan bertanya. Bisa ditebak hampir tidak ada anak didik yang bertanya karena mereka sudah terbiasa mendapat penjelasan isi buku di papan tulis. Bukan dengan membaca sendiri.
Minggu berikutnya guru akan bertanya apakah ada yang mau ditanyakan? Kalau tidak, isilah buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang harus dibeli. Harganya murah sih hanya Rp 5.000/buku, tapi isi LKS dan buku pelajaran sering tidak nyambung sehingga sangat sering saya menemukan buku LKS yang kosong melompong belum diisi. Minggu berikutnya? Ulangan! Tidak lulus? Remedial! Toh ada limit nilai yang harus dilalui yaitu Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Nilai remedial pastinya sebesar KKM. Selesai!
Tahun 2006-2007 diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang merupakan penyempurnaan Kurikulum 2004 (KBK) sesuai PerMenDikNas No 24 tahun 2006 dimana pemberlakuan KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional.
KTSP seolah mengembalikan anak didik pada kondisi awal dimana dia hanya mendapat nilai berdasarkan hasil akhir bukan proses. Berbeda dengan system KBK dimana anak didik mendapat nilai beragam untuk setiap mata pelajaran. Misalnya di mata pelajaran Bahasa Indonesia anak didik akan mendapat nilai untuk : Mendengarkan, Berbicara,Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra. Cara yang adil untuk menilai anak didik karena berdasarkan KTSP anak didik hanya memperoleh nilai untuk pengetahuan dan ketrampilan.
Selesaikah masalah? Belum! Ada Kurikulum Berbasis Lingkungan. Kurikulum kerjasama Departemen Pendidikan Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup ini sesungguhnya sangat bagus. Karena anak didik mendapat pendidikan lingkungan hidup sejak dini. Sehingga seharusnya dia bisa memisah sampah sejak dini, mengetahui bahwa dia dilarang “plung” buang sampah kemasan minuman/makanan dari dalam kendaraan, seolah-olah jalan raya adalah tempat sampah raksasa.!
Apa permasalahannya? Kurangnya persiapan. Khususnya guru Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH). Guru yang ada (Guru Biology, Sejarah atau Kimia) ditunjuk begitu saja menjadi guru PLH tanpa buku pegangan yang memadai dan membumi. Akhirnya anak didik hanya mendapat tugas membawa pot beserta tanamannya. Mempelajari biji yang disemai hingga menjadi bibit dan ditanam. Selesai.
Bagaimana komposting? Apa itu perubahan iklim ekstrim? Global Warming? Diet Plastik? Mereka tidak tahu. Bahkan anak didik sering bingung membedakan tempat sampah organik dan tempat sampah anorganik. Sehingga sebaiknya sekolahan menamai tempat sampahnya dengan tempat sampah yang bisa membusuk dan tempat sampah yang tidak bisa membusuk. Mudah mengingat dan melaksanakannnya.
Mirisnya saya sempat mendapati ibu guru SD yang asyik bermain bola di pelajaran PLH, mungkin dia bingung memberi pelajaran PLH yang menarik dan tidak njlimet. Beruntung Tehnik Lingkungan ITB pernah menerbitkan buku PLH yang berisi stimulasi untuk anak didik sehingga guru tersebut sekarang mendapat copy-annya.
Hasil survey kecil-kecilan saya juga menunjukkan bahwa anak didik umumnya tidak mengetahui bahayanya plastik. Mereka mengklaim bahwa botol beling/gelas lebih berbahaya daripada botol plastik. Mungkin perbandingannya apabila botol beling pecah bisa melukai, tidak demikian halnya dengan botol plastik. Adu argumen baru selesai sesudah saya tunjukkan gambar Sungai Citarum yang berisi botol plastik dan bukan botol gelas.
Indonesia mempunyai banyak konsep bagus. Juga mempunyai banyak tenaga ahli yang berdedikasi. Sayang semuanya tidak bersinergi sehingga mampu menghasilkan anak didik yang sungguh cerdas, tangguh dan berwawasan lingkungan.
Apa yang salah? Mungkin karena semua langkah berarti proyek dan proyek berarti uang mengalir. Tak peduli proyek tersebut berkesinambungan atau tidak dengan proyek lainnya. Karena itu sebagai penutup saya ingin mengutip tulisan Kompasianer Kapitan Joe yang bagus berjudul Ujian Nasional Untuk Apa ? Kualitas Anak Didik di Tanah Air Tetap Rendah sebagai berikut :
Dalam pengamatan saya istilah Ujian Nasional ini mengcopy 100% pola Ujian yang dilakukan di AS, di sini istilah yang saya ketahui adalah State test, artinya ujian persamaan yang dilakukan oleh Negara bagian, bukan oleh Federal (Negara kesatua) bedanya anak-anak disini melakukan states test ini dua kali dalam satu tahun, sehingga bila ujian pertama nilai mereka belum mencapai tingkat yang ditentukan, maka mereka dianjurkan untuk mengikuti test susulan pada bulan berikutnya, sehingga menjelang akhir tahun pendidikan anak-anak tersebut sudah menyelesaikan state test yang dilakukan oleh negara bagian.
State test (Ujian Negara bagian) bukan hal mutlak bagi mereka, sekolah tetap berperan untuk menentukan kelulusan bagi siswa-siswi, dan itu terbukti setelah mereka tammat high school mereka dapat bekerja diberbagai bidang karena keterampilan dan sarana pendidikan disekolah merupakan prioritas bagi anak-anak didik.
Sebaliknya di Indonesia pemerintah ngotot untuk membuat persamaan nilai mulai dari Aceh hingga Irian jaya, padahal sarana pendidikan dan kualitas guru yang mengajar jauh dari apa yang dikatakan standard nasional, jadi jangan heran anak-anak didik ini sangat sulit untuk mengerjakan soal-soal UN ini, dan bagaimana hasil dari siswa-siswa yang lulus UN sejak 8 tahun lalu?
Saya sungguh berharap, pejabat Indonesia khususnya jajaran Kementerian Pendidikan Nasional membaca tulisan tersebut.
Maria Hardayanto
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar