Ibu Pertiwi yang kita diami ini lagi berwajah muram akibat di cekam oleh sejumlah paradoks. Betapa tidak, rasionalitas di jungkirbalikan dengan irasionalitas, kebenaran ditikam dengan keserbapura-puraan, lakon negara yang membiarkan kekerasan tumbuh-subur, hingga kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibuat sesuai dengan kehendak elit yang berkuasa.
Rakyat dianggap sekadar gerombolan yang bisa digembala sesuka hati dan dijadikan komoditas pada perhelatan pemilu untuk melanggengkan tahta kekuasaan para elit. Bahkan demokrasi hanya sekadar slogan yang begitu melangit dari jangkauan rakyat. Demokrasi dipraktekan sekadar pemupuk citra yang konsisten membenamkan rakyat dalam paradoks kolektif. Demokrasi tidak betul-betul dijalankan untuk kebaikan umum (bonum comunie), namun sekadar kamuflase untuk menutupi borok para elit yang berkuasa.
Janji bukan lagi sebagai amanah yang mesti dijalankan dengan sepenuh hati, tapi sekadar lipstick untuk memoles keluguan rakyat. Pendidikan politik hanya sekadar formalitas dalam statuta organisasi partai politik (parpol), karena kalau betul-betul dilakukan secara benar maka rakyat akan tahu belang para elit parpol, sehingga rakyat tidak lagi menaruh kepercayaan. Akibatnya, rakyat terbelenggu dalam “keluguan” kolektif. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh para elit tersebut untuk menjanjikan segala bentuk perubahan, padahal kenyataanya tak lebih sebagai make-up manipulatif.
Media yang diharapkan menjadi institusi mencerahkan malah ada sebagaian larut dalam “pasar demokrasi” yang serba artifisial. Celakanya lagi, media yang kritis menyuarakan kebenaran dan kebaikan umum dibungkam dengan cara yang sangat murahan oleh para mafioso. Bahkan ditengarai melibatkan institusi yang mestinya menjadi pengayom semua warga negara.
Di tengah carut-marut persoalan tersebut, sebagaian cerdik-pandai bukanya hadir membawa keteduhan dan solusi, namun memanfaatkan intelektualitasnya untuk menutup kejahatan yang seharusnya dipertanggungjawabkan. Spirit nasionalisme yang diwariskan oleh para pendiri republik (founding fathers) pun, hari ini sudah ditelikung dan direduksi keluhuranya menjadi “nasonalisme perut.” Sehingga kebaikan dan kearifan menjadi sumir karena sudah tercekik oleh syahwat pragmatisme. Bahkan kecerdasan bukan lagi menjadi instrumen dalam melakukan perubahan, tapi tak lebih sebagai modal untuk melakukan bargaining keserakahan.
Para politisi (wakil rakyat) pun sibuk dengan saling menuding yang ujung-ujungnya duit. Nalar kritis tidak lebih sebagai kail untuk menjerat fulus sebanyak-banyaknya. Semuanya dalam rangka melanggengkan status quo. Sehingga tidak heran kalau banyak politisi kita yang kekritisanya dalam menyikapi persoalan hanya berlaku secara insidental. Setelah fulus atau deal-deal politik masuk dalam kantong, maka sirna sudah kekritisan tersebut. Hal ini bisa kita lihat dengan gambalang pada mega skandal Century yang berakhir tragis di rumah wakil rakyat. Bahkan yang lebih ironis, moral di perdagangkan untuk mentanak citra.
Seturut dengan para politisi yang gemar “bersolek” diri ini, institusi hukum pun terdegradasi dalam berbagai persoalan hukum yang ditengarai melibatkan oknum institusi itu sendiri. Akibatnya, cukup banyak persoalan di Republik ini yang tidak terselesaikan secara tuntas, bahkan menimbulkan persoalan baru. Dan ironisnya, ketika persoalan tersebut ditanyakan penyelesaianya oleh publik, maka alibi pun menyeruak dengan tanpa malu, bahkan tiba-tiba pandai mencari kambing hitam. Sehingga jangan heran kalau seorang Gayus bisa dengan mudah membeli idealisme oknum aparat penegak hukum dan memporak-porandakan pranata hukum negeri ini.
Kenestapaan yang mendera rakyat pun dijadikan sebagai komoditas untuk mendongkrak citra, bukanya dengan sigap mencari jalan keluar yang efektif. Rakyat pun semakin lelah dengan teorisasi ekonomi yang semakin menjulang, namun tidak menyentuh kebutuhan dasar rakyat. Karena memang teorisasi-teorisasi yang kelihatan sistematik dan ilmiah tersebut, tidak lebih sebagai media pensahian untuk melegitimasi kepentingan para tengkulak neolib dan kelompok elit di Republik ini.
Memori publik kian tercekam paradoks ketika negara membiarkan Republik ini tercabik-cabik oleh ulah gerombolan warga yang berubah menjadi binatang jalang dan “memangsa” warga yang lain, hanya karena mengambil jalan yang berbeda dengan apa yang mereka pahami. Padahal konstitusi sudah jelas-jelas memberikan ruang bagi keberbedaan, dan negara di beri tanggung jawab oleh konstitusi untuk menjaga dan memastikan keberbedaan tersebut tidak tercederai oleh ulah siapapun.
Bahkan negara lebih peka dengan data-data kemiskinan yang di sajikan statistik, daripada tohokan realitas yang memilukan hati. Mestinya negara bisa melihat dengan jernih kondisi rakyatnya yang semakin pilu dalam sekam kemelaratan. Bocah yang busung lapar di Maluku, rakyat di pedalaman NTT sana yang terseok-seok mengais umbi hutan, hingga warga Papua yang terisak dalam ketidakberdayaan karena warisan leluhurnya di angkut semena-mena ke luar negeri, sementara mereka masih hidup dalam keperihatinan. Ironisnya lagi, pemerintah – meminjam bahasa Umbu Pariangu – malah sibuk membangun citra, propaganda dan selaksa pesona dari bilik istana.
Langkah Nyata dan Sikap Tegas
Saat ini rakyat Indonesia butuh langkah nyata dan sikap tegas negara, bukan sekadar retorika politik ataupun kilauan teori dalam gundukan statement yang tidak berkesudahan. Karena rakyat tak memahami gelimangan teori dan retorika politik yang disampaikan tersebut. Yang ada dalam benak mereka, negara harus berbuat sesuatu agar mereka bisa makan dengan gizi yang cukup, tidur dengan perumahan yang layak, hidup dalam kedamaian, dan penerangan listrik yang memadai sehingga anak-anak mereka bisa belajar dengan baik.
Untuk itu, harus dan sudah saatnya pemerintah negeri ini memikirkan secara serius dan sungguh-sungguh persoalan rakyat di seantero negeri. Karena boleh jadi kealpaan negara dalam memberikan kesejahteraan dan menjaga keamanan warganya akan menggelapkan mata dan hati rakyat dengan melakukan gerakan pembangkangan (civil disobedience) sebagai bentuk kekecewaan terhadap sikap “bisu” negara.
Muhammad Hamka
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar