Oleh Amril Taufik Gobel
Kenangan masa remaja itu masih melekat di hati hingga kini.
Ketika baru tamat SMA 25 tahun silam, saya mengunjungi tanah kelahiran kedua orang tua saya di Provinsi Gorontalo. Di sana, saya menyaksikan sebuah tradisi khas masyarakat Gorontalo dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Namanya Tumbilotohe — “tumbilo” artinya menyalakan, “tohe” artinya lampu. Jadi Tumbilotohe, yang berlangsung sejak abad ke-15 ini, adalah tradisi menyalakan lampu sepanjang malam, yang berlangsung pada tiga malam terakhir Ramadan.
Pada awalnya, lampu yang dipakai untuk Tumbilotohe terbuat dari getah pohon damar, yang dapat menyala dalam waktu lama. Damar menyala itu dibungkus janur dan dipasang di atas dudukan kayu. Namun seiring sulitnya memperoleh damar, bahan lampu pun berganti ke minyak kelapa (padamala).
Mengikuti perkembangan zaman, pada 1990-an, minyak tanah menggantikan posisi minyak kelapa.
Beberapa rumah juga sudah memakai lampu listrik berwarna-warni, namun ada juga yang tetap bertahan dengan lampu minyak tanah — seperti kakek dan nenek saya yang meletakkan lampu minyak tanah itu di kerangka dudukan kayu di atas pagar.
Saya masih ingat betul, betapa indahnya cahaya lampu yang bersinar benderang di sepanjang jalan. Tak hanya itu, cahaya lampu juga menerangi halaman masjid, perkantoran, bahkan sawah serta lapangan sepak bola. Saya sendiri memasang lampu Tumbilotohe di sawah kakek-nenek saya di belakang rumah.
Pada malam-malam itu di Gorontalo juga banyak kegiatan dilangsungkan. Misalnya, perlombaan bernuansa keagamaan antarkampung. Atau permainan Bunggo’ (meriam bambu). Dentuman meriam dari ruas bambu yang ujungnya dilubangi sangatlah meriah di malam Tumbilotohe.
Salah satu yang cukup unik juga, adalah hadirnya Alikusu atau gerbang yang terbuat dari bambu kuning — bersama hiasan janur, pohon pisang, tebu dan lampu minyak. Dipasang di pintu kantor, rumah, masjid atau perbatasan daerah, Alikusu menambah semarak Tumbilotohe — yang jadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang ke Gorontalo.
Saya mengenang, pesona kerlap-kerlip lampu pada malam-malam itu membuat saya bagai berada di samudera cahaya di Gorontalo. Begitu memukau. Bila disaksikan dari atas, tentu Gorontalo kemilau sekali.
Sampai kini, tradisi ini tetap dipelihara sebagai kegiatan unik khas daerah (penyelenggaraan Tumbilotohe biasanya dibuka oleh Gubernur Gorontalo). Namun demikian, seiring melambungnya harga minyak tanah dan biaya listrik, Tumbilotohe tak lagi bersemarak seperti yang saya rasakan 25 tahun silam.
Semoga Tumbilotohe bisa tetap lestari dan menjadi khazanah kekayaan budaya bangsa.
Foto: Antara/Wahyu Putro
Sumber: www.yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar