Pertambangan
Freeport sudah tak asing bagi orang Indonesia, karena keberadaan
Freeport di Indonesia sudah lebih dari empat dekade. Dalam periode
penambangan di Papua, Freeport kerap kali mendapat kritik terkait
penerimaan Indonesia dari Freeport yang tidak berimbang, permasalahan
lingkungan, serta konflik sosial yang sering terjadi di wilayah sekitar
pertambangan. Tulisan ini bertujuan mengungkap fakta praktek
pertambangan Freeport, kemudian menjadi refleksi bersama agar
pemnafaatan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat
terwujud.
Saat ini potensi tambang Freeport tersimpan di dua wilayah, yakni
Erstberg dan Grasberg, Timikia. Kedua wilayah ini terutama menghasilkan
tiga jenis mineral, yaitu tembaga, emas dan perak, disamping beberapa
jenis mineral lain yang tidak tercatat resmi sebagai produk tambang.
Potensi tambang telah dieksploitasi selama empat dekade mengikuti pola
Kontrak Karya (KK) yang pertama kali ditandatangani pada tahun 1967.
Berdasarkan kajian atas data-data keuangan ditemukan bahwa penerimaan
negara, termasuk penerimaan pemda Papua, dari tambang Freeport masih
belum optimal. Faktanya, dari tahun ke tahun penerimaan negara selalu
lebih kecil dari keuntungan yang diperoleh Freeport dan rakyat di
sekitar tambang masih banyak yang hidup miskin.
Potensi Ertsberg dan Grasberg
Pada tahun 1936, sebuah tim yang dipimpin geolog Belanda,
Jean-Jacques Dozy, melakukan ekspedisi ke tanah Papua. Tim Dozy sampai
ke puncak pegunungan, dimana dijumpai adanya singkapan batuan yang
ditengarai mengandung mineral berharga. Penemuan lokasi itu kemudian
mengantarkannya ke “Ertsberg” atau Gunung Bijih, sebuah cadangan mineral
yang terletak di kaki pegunungan bersalju. Laporan Dozy ini dimuat
dalam majalah geologi di Leiden, Belanda tahun 1939. Laporan ini
mengilhami seorang manajer eksplorasi Freeport Minerals Company, Forbes
Wilson, bersama Del Flint pada tahun 1960 melakukan ekspedisi ke Papua.
Keduanya meyakini dan belakangan terbukti bahwa cadangan mineral
Ertsberg menjadi cadangan tembaga terbesar yang pernah ditemukan pada
saat itu.
Analisis laboratorium menunjukkan terdapat kandungan tembaga sebesar
“13 acres”, suatu kode yang dibuat oleh Wilson untuk menyatakan 13 juta
ton bijih. Jauh lebih ke dalam tanah, diperkirakan terdapat 14 juta ton
bijih untuk setiap kedalaman 100 meter. Dari informasi yang kami
kumpulkan diperoleh bahwa potensi kandungan mineral Ertsberg mencapai 50
juta ton bijih mineral. Dinas Pertambangan Papua menyebutkan cadangan
Ertsberg sebanyak 35 juta ton, dengan kadar Cu 2,5%. Jika diasumsikan
harga rata-rata tembaga dan emas selama sekitar 20 tahun periode
penambangan di Ertsberg masing-masing US$ 2000/ton dan US$ 200/ons,
maka pendapatan yang dapat diraih dari potensi mineral tambang Ertsbegr
adalah (35 juta ton x 2000 US$ /ton + 15 juta ons x US$ 200/ons) = US$
100 miliar. Dari potensi US$ 100 miliar ini, tidak diketahui secara
akurat berapa pendapatan yang telah diterima negara.
Terlepas dari nilai US$ 100 miliar sebagai potensi pendapatan di
atas, kita tidak mempunyai data yang akurat tentang berapa besar produk
tambang yang sudah dihasilkan dari Ertsberg. Dalam perencanaan dan
kesepakatan awal sesuai KK, tampaknya disetujui bahwa wilayah tambang
hanya akan memproduksi tembaga. Ternyata tambang Ertsberg juga
menghasilkan emas sebagai
by product. Namun tidak diketahui berapa besar emas yang telah dihasilkan, dan berapa pendapatan Freeport dari produk emas sebagai
by product ini.
Pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian
konsentrat secara seksama. Disamping itu, pada periode awal
penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di
Jepang, Spanyol maupun di Amerika.
Disamping tembaga sebagai produk utama, sejak semula Freeport memang
telah menghasilkan emas dan perak, tetapi hal ini tampaknya tidak
dideklarasikan. Selain itu, selama periode penambangan wilayah Ertsberg,
Freeport adalah perusahaan tertutup, sehingga berbagai aspek finansial
perusahaan dapat saja tersembunyi dari akses pemerintah dan publik.
Dengan demikian, penerimaan negara dari Ertsberg menjadi tidak optimal.
Namun disisi lain, Freeport telah menjelma menjadi perusahaan tambang
raksasa kelas dunia (menambang di Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika
Selatan dan Indonesia), yang saat ini mempunyai total aset sekitar US$
26 miliar (www.fcx.com).
Setelah menambang di Ertsberg hingga akhir tahun 1980-an, Freeport
berpindah menambang di Grasberg, sesuai KK (KK Generasi V) yang
ditandangani pada tahun 1991. Penambangan di Grasberg dilakukan secara
terbuka (lubang terbuka,
open pit) dan juga melalui
deep ore zone (DOZ), penambangan gua blok bawah tanah (
underground block cave). Penambangan
open pit
mengahasilkan biji sekitar 57 juta metrik ton pada tahun 2009 dan akan
berlangsung hingga 2016. Sedangkan DOZ pada tahun 2009 menghasilkan biji
mineral sekitar 26 juta metrik ton dan akan berlangsung hingga tahun
2020. Total produksi Freeport dari Grasberg pada tahun 2009 adalah 1,4
miliar
pound tembaga dan 2,6 juta
ounces emas.
Berdasarkan laporan keuangan Freeport tahun 2009, disebutkan bahwa
cadangan emas, tembaga dan perak tambang Grasberg masing-masing sebesar
38,5 juta ons, 56,6 miliar pound dan 180,8 juta ons. Dengan harga
rata-rata harga emas, tembaga dan perak selama periode penambangan
diasumsikan masing-masing sebesar US$ 1000/ons, US$ 3,5/pound dan US$
0,96/ons, maka total potensi yang dapat diperoleh dari tambang Grasberg
adalah sekitar (38,5 juta ons x US$ 1000/ons + 56,6 miliar pound x US$
3,5/pound + 180,8 juta ons x US$ 0,96/ons = US$ 236,77 miliar (sekitar
Rp 2200 triliun!). Kita sangat yakin akan diperolehnya pendapatan
tambahan karena konsentrat yang dihasilkan juga mengandung sejumlah
mineral lain seperti cobalt, seng, platina, dsb.
Aspek Kontraktual
Freeport (PT Freeport Indonesia, PTFI) memperoleh kesempatan
menambang di Papua sesuai Kontrak Karya (KK Generasi I) yang
ditandatangani pada tahun 1967. KK memuat sejumlah ketentuan seperti
yang tercantum dalam UU No.11/1967 tentang PMA, antara lain kesepakatan
menyangkut pajak, pengawasan, repatriasi, royalti, dsb. KK juga berisi
ketentuan bahwa Indonesia tidak akan menasionalisasi Freeport dan setiap
perselisihan akan diselesaikan melalui arbitrase internasional.
Berdasarkan KK I tahun 1967 ini, Freport memperoleh konsesi penambangan
di lokasi yang disebut
“Blok A” yang mencakup wilayah Ertsberg dan Grasberg, dengan luas sekitar 24,700 hektar.
Pada tahun 1991 pemerintah menandatangani KK baru (Generasi V) dengan
Freeport, yang antara lain berisi kesepakatan perpanjangan kontrak (“2 x
10 tahun”) dari tahun 2021 menjadi tahun 2041, dan perluasan wilayah
penambangan dari “Blok A” menjadi
“Blok A dan Blok B”. Dalam KK V tahun 1991 ini ditetapkan bahwa tambahan luas wilayah tambang yang diperoleh Freeport (Blok B) adalah
6,5 juta hektar! Di Blok B, Freeport telah mulai melakukan kegiatan eksplorasi dalam kawasan seluas 500.000 hektar. Patut dicatat bahwa
dalam
KK V tahun 1991 ini tercantum ketentuan bahwa perpanjangan kontrak
“2×10 tahun” akan efektif jika telah mendapat persetujuan (approval) dari pemerintah Indonesia.
KK I menetapkan bahwa besarnya royalti tembaga yang harus dibayar adalah 1,5% (dari pendapatan bersih,
net revenue)
jika harga tembaga
US$1,1/pound. Sedang royalti emas adalah 1% dari pendapatan bersih.
Pada tahun 1998 disepakati royalti tembaga naik menjadi 2 kali lipat (3%
& 7%) dan royalti emas menjadi 3 kali lipat (3%), jika fasilitas milling
Freeport beroperasi melebihi 200.000 metrik ton/hari. Tambahan royalti
tersebut terutama diperuntukkan bagi pendapatan pemerintah dan rakyat
Papua.
Penerimaan Negara
Indonesia melalui produksi Freeport tercatat sebagai sepuluh produsen
tembaga terbesar di dunia. Produksi tembaga Indonesia menunjukan
peningkatan yang kontinu, misalnya dari 928.2000 ton pada tahun 1993
hingga 1, 06 juta ton pada tahun 1994, 1,52 juta ton pada tahun 1995 dan
2,8 juta ton pada tahun 2009. Dengan permintaan dunia yang terus
meningkat dapat diartikan bahwa ke depan Freeport memiliki peluang besar
untuk memperoleh keuntungan yang berlipat. Sampai saat ini produksi
ketiga jenis barang tambang di Indonesia didominasi oleh Freeport.
Selain tembaga, emas merupakan salah satu produk utama Freeport. Hal
ini disebabkan semakin tingginya konsentrasi emas dan perak dalam bahan
galian/deposit yang ditemukan. Sejak menemukan deposit emas terbesar di
dunia, Freeport berubah menjadi tambang emas raksasa skala dunia.
Berdasarkan Annual Report of Freeport McMoran to Security Exchange
Commision (form 10-K) 2009 produksi emas FCX/Freeport di Indonesia untuk
tahun 2007, 2008 dan 2009 masing-masing 2,185 juta ons, 1,182 juta ons
dan 2,543 juta ons. Perlu dicactat bahwa
99% emas yang diproduksi FCX secara internasional berasal dari tambang Grasberg. Sedang total aset PTFI pada akhir tahun 2009 adalah US$ 2,7 miliar.
Tabel 1. Produksi dan Pendapatan PT FI dan Penerimaan Indonesia
Thn. |
Produksi |
Pndapatan (juta US$) |
Gross Profit
(juta US$) |
Pajak
(US$) |
Royalti
(US$) |
Emas
(ribu ons) |
Tembaga (juta pon) |
2004 |
1.456,2 |
996,5 |
1.980 |
804 |
266,4 |
43,5 |
2005 |
2.789,4 |
1.455,9 |
4.012 |
2.380 |
781 |
103,7 |
2006 |
1.732 |
1.201 |
4.883 |
2.929 |
950 |
126 |
2007 |
2.198 |
1.151 |
5.315 |
3.234 |
1.326 |
133 |
2008 |
1.163 |
1.094 |
3.703 |
1.415 |
612 |
113 |
Total |
7.280, 6 |
|
17.893 |
10.762 |
3935,4 |
475.7 |
Selama berpuluh tahun menambang Freeport telah memperoleh keuntungan
finasial yang sangat besar dari Ertsberg dan Grasberg. Keuntungan yang
diperoleh Freeport setiap tahun senantiasa lebih besar dari kewajiban
pajak dan royalti yang dibayarkan kepada negara RI. Hal ini juga tak
lepas dari rendahnya saham yang dimiliki pemerintah di Freeport sehingga
deviden yang diterima setiap tahun juga kecil. Namun kerugian pihak
Indonesia juga disebabkan karena tidak ikut mengelola perusahaan,
sehingga kehilangan kesempatan bisnis untuk memperoleh keuntungan dari
belanja-belanja operasional dan kapital Freeport setiap tahun.
Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat bahwa setiap tahun keuntungan
Freeport jauh lebih tinggi dibanding penerimaan Indonesia sebagai
pemilik sumberdaya alam. Total keuntungan Freeport Indonesia (PTFI)
tahun 2004-2008 adalah US$ 10,762 miliar sedangkan total penerimaan
negara dari pajak dan royalti hanya US$ 4,411 miliar. Berdasarkan
laporan keuangan tahun 2008, total pendapatan Freeport (FCX) adalah US$
3,703 juta. Dari pendapatan tersebut, Freeport memperoleh keuntungan
total sebesar US$ 1,415 juta. Sedangkan pemerintah Indonesia, melalui
pajak dan royalti hanya mendapat total penerimaan sebesar US$ 725. Pada
tahun 2009, laporan keuangan FCX menyatakan keuntungan PTFI adalah US$
4,074 miliar, sedang penerimaan negara melalui pajak dan royalti adalah
sekitar US$ 1,7 miliar.
Dengan harga emas yang berpotensi terus naik (saat ini lebih dari US$
1100/ons), maka keuntungan FCX/PTFI juga akan terus meningkat (lihat
Gambar 2). Namun penerimaan yang seharusnya diperoleh negara tidak
sebanding dengan tingkat keuntungan yang diperoleh Freeport. Kecilnya
penerimaan negara berpangkal dari kebijakan dan kontrak yang salah dan
tidak adil. Oleh sebab itu sangat wajar jika pemerintah, bersama BUMN
dan BUMD Papua, meningkatkan nilai sahamnya di Freeport. Namun harga
saham yang harus dibayar bukanlah berdasarkan harga pasar FCX, tetapi
harga yang telah dikoreksi akibat berbagai praktek KKN yang terjadi
sebelumnya. Termasuk yang harus dilakukan adalah menuntut adanya
kompensasi akibat kerusakan lingkungan yang timbul selama penambangan di
wilayah Grasberg.
Sumber: http://iress.web.id