Warga
Yogyakarta biasa menyebutnya angkringan. Sementar warga Solo lebih
akrab menyebutnya sebagai Hik. Apapun namanya, keduanya merupakan usaha
untuk memperbaiki kesejahteraan hidup lapis bawah masyarakat.
Namun, pernahkah terpikir, dari mana asal warung dengan gerobak bertenda yang biasa menyajikan menu khas nasi kucing dan wedang jahe ini? Ngerangen adalah jawabannya. Salah satu desa di Kecamatan Bayat, Klaten yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunungkidul ini adalah wilayah asal para pengelola warung angkringan.
Kering berbukit
Tekstur tanah Ngerangen, kering berbukit. Pertanian di desa itu mengandalkan air tadah hujan. Jika musim kemarau, tanah di desa ini kekeringan. Bahkan, para petani selalu mengalami gagal panen karena lahan pertaniannya kekurangan air.
“Tanah kami kering. Tanaman padi kami selalu puso. Untuk itu, kami memilih sebagai pedagang angkringan atau Hik di kota. Hasilnya, tidak ada cerita pedagang angkringan bangkrut. Mereka semuanya sukses dan banyak yang menjadi juragan. Sesuatu yang tidak akan kami dapatkan jika masih tetap bertani,” papar Samson, 72, salah seorang pengelola warung angkringan yang menggelar dagangan di halaman rumahnya, Dukuh Sidorejo Desa Ngerangan Kecamatan Bayat, Klaten, Sabtu (16/1).
Sambil mengipasi cakar ayam yang dibakarnya di atas bara, Samson berkisah. Sejak membuka usaha sebagai pedagang angkringan pada tahun 1973, perekonomiannya terangkat. Dia tidak menyangka, dengan modal Rp 20.000 kala itu, kini dia bisa membangunkan empat rumah bagi anak-anaknya, satu unit toko kelontong serta memiliki jutaan rupiah tabungan di bank.
Kepala Desa Ngerangan, Sri Hardoko, mengatakan pedagang angkringan di Desa Ngerangan dipelopori oleh tiga orang warga bernama Wiryo, Kromo, dan Samto Miyo. Sekitar tahun 1950-an, ketiganya menjajakkan hidangan berkeliling keluar masuk kampung dengan cara dipanggul. Lampu teplok serta suara pedagang menawarkan dagangannya menjadi ciri yang paling khas. Kota Solo menjadi tujuan pertama mereka sebelum akhirnya memperluas daerah sasaran ke Yogyakarta pada tahun 1970-an.
“Kemandirian usaha warga Ngerangen cukup tinggi. Saat ini, hampir 80% warga Ngerangan berprofesi sebagai pedagang angkringan di kota-kota besar. Sebagian besar mereka adalah tamatan SLTA. Mereka memilih menetap di luar kota dengan berjualan angkringan.”
Seiring berjalannya waktu. Kini, pedagang angkringan di Kota Solo maupun Yogyakarta telah menjamur. Pedagangnya tidak hanya berasal dari Desa Ngerangan, tetapi juga warga “pribumi”. Mereka telah mempelajari kemandirian usaha warga Ngerangan tersebut. Sudah sepantasnya mereka berterima kasih kepada para pelopor warung jenis ini.
Moh Khodiq Duhri
Sumber: http://klatenonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar