Dia tidak akan menyangka. Tentu dia tak akan menyangka, namanya saja kejutan.
Dia yang kumaksud adalah Teddy. Teddy, kekasihku. Sebenarnya dia “hanya” kekasih mayaku. Kami belum pernah saling bertemu. Tapi kami sudah sangat akrab di dunia maya. Bermula dari pertemuan di sebuah ruang chatting umum, lalu akhirnya kami sering suka mojok sendiri. Ungkapan-ungkapannya, diksi yang digunakannya, aku menyimpulkan kami punya visi yang sama.
Kami sama-sama tertarik pada isu pendidikan. Bagaimana memajukan bangsa ini. Dari diskusi ke diskusi lainnya. Aku guru, dia wartawan dan tentunya masih bujangan. Bujangan yang bisa dikatakan lapuk, karena usianya sudah 34 tahun. Beda 7 tahun dariku yang baru menginjak 27. Aku kebetulan mendapat beasiswa di Inggris. Namun jarak Inggris-Indonesia yang terpisahkan samodera luas tak ada artinya bagi kami.
Kami sudah dua tahun membina komunikasi yang cukup dekat walau hanya di dunia maya, menjadi sangat akrab, sampai akhirnya saling memanggil “sayang”. Aku biasa chatting dengannya di sela-sela kuliah. Dia biasanya di sela-sela melakukan tugas editing koran. Rutinitas itu kami lakukan tiap hari, dan kami seakan tidak bosan. Selalu saja ada yang bisa dibicarakan. Dia adalah orang yang sangat asyik. Aku mabuk kepayang dibuatnya.
Dan kejutan yang kumaksud adalah kedatanganku ke kotanya. Sssst… sebenarnya kepulanganku ke Indonesia juga tak kuberitahukan padanya. Aku ingin ini benar-benar kejutan untuknya.
“Aku tak sabar untuk bertemu denganmu, Vita,” ujar Teddy suatu ketika saat kami chatting.
“Akupun begitu, mas,” ujar dia.
“Kapan ya kita bisa ketemu, kapan aku bisa memelukmu, dan bukan hanya mengirimkan emoticon ‘hug’?” rengeknya. Dan aku pun tersanjung. Melambung.
Teddy sering bercerita tentang sebuah taman di kotanya. Taman yang sangat ideal untuk memadu kasih. Dia bercerita, sering pergi ke taman untuk menulis. Pernah suatu ketika, kami saling menggunakan webcam, dan aku melihat Teddy dengan latar belakang taman yang indah. Ya, taman ini.
Aku tinggal di kota lain di Indonesia. Jadi aku hanya bisa membayangkan saja, atau melihat foto-foto yang dikirimkan Teddy padaku. Namun hari ini aku benar-benar ada di taman itu. Aku sengaja tak menghubunginya dulu. Aku ingin menghubunginya ketika sudah berada di taman. Pertemuan di taman ini tentu akan menjadi momentum yang sangat romantis. Taman ini akan menjadi saksi pertemuan pertamaku dengan kekasih mayaku. Taman ini juga akan menjadi saksi bisu tempat kami melepas rindu, setelah sekian tahun terlibat cinta yang memabukkan di dunia maya.
Huuh betul kata Teddy. Kelemahan taman ini adalah bangku taman yang kurang banyak. Sementara untuk duduk di rerumputan, aku akan berpikir panjang. Jangan-jangan jeans kesayanganku akan basah oleh embun. Maka aku pun mencari lokasi yang nyaman dan sejuk di pinggir danau. Sayang bangku yang kuincar sudah ditempati seorang ibu muda dan anak bayi laki-lakinya yang montok.
Kucoba menyapa mereka, walau sebenarnya dalam hati aku berharap mereka segera pergi, agar aku bisa leluasa menguasai bangku itu. “Halooo… si ganteng, siapa namamu? Boleh tante ikut duduk?”
Sang ibu muda langsung mengembangkan senyum. “Silakan… bangkunya masih luas. Namanya Dante.”
Aku pun menghempaskan bokongku di bangku besi dengan akas kayu itu. Aku bersalaman dengan ibu muda itu, yang kutaksir berumur kira-kira 24 atau 25 tahun tahun, lebih muda beberapa tahun dariku. Dia manis juga.
“Vita.”
“Dania.”
“Tamannya indah ya Mbak?” ujarku berbasa-basi.
“Begitulah, indah sekali. Ini tempat favorit kami dan orang-orang di kota ini,” jelas Dania. “Mbak Vita bukan orang sini?”
“Hehehe saya memang bukan orang sini, Mbak. Tapi sudah banyak mendengar tentang taman ini.”
“Oooh begitu… sedang menunggu teman?”
“Iya… eh enggak. Tepatnya saya sedang mau mengajak teman yang tinggal di kota ini untuk bertemu di sini. Tapi orangnya belum saya hubungi.”
“Oooh mau kasih kejutan ya?” tebak Dania sambil mengedipkan sebelah mata sebelum menyuapi bayinya, suapan terakhir.
“Begitulah,” ujarku tersipu.
“Baiklah… silakan kalau begitu. Kami pamit dulu, tuh ayahnya Dante udah jemput,” ujar Dania sambil beranjak, sembari menunjuk sesosok laki-laki yang menghampiri kami dari arah belakangku.
Aku menoleh. Terkesiap. Jantungku hampir copot. Persendianku lunglai.
Aku melihat samar-samar sosok yang sangat kukenal.
Dia juga terkesiap.
Dia adalah: Teddy.
Niken Satyawati\
Sumber: http://fiksi.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar